<i>Nganter:</i> Tradisi Khas Lebaran yang Jadi Antitesis Individualisme Orang Jakarta
Ilustrasi foto parcel (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Bulan Ramadan adalah momen yang sangat istimewa bagi orang Betawi. Beberapa di antaranya ada yang memanfaatkan Ramadan untuk menjaring berkah dari Sang Pencinta. Sebagian lagi menjadikan Ramadan sebagai waktu untuk bersilaturahmi kepada sesama dari awal bulan sampai menjelang tibanya Hari Raya Idulfitri.

Salah satu budaya Betawi yang mendukung kegiatan silaturahmi tak lain ialah tradisi "nganter". Secara harfiah, tradisi ini diartikan sebagai mengantar sesuatu kepada orang lain. Tradisi ini dapat menarik minat siapa saja untuk terlibat. Imej masyarakat Jakarta sebagai individualis akan runtuh saat melihat tradisi ini begitu mengakar dilakukan secara turun-temurun oleh orang Betawi.

Untuk memudahkan pemahaman, secara sederhana tradisi nganter bisa dilihat dari seseorang yang secara sengaja melebihkan porsi makanan saat memasak. Otomatis, kelebihan makanan tersebut menjadi dasar bagi dirinya untuk berbagi kepada sesama sebagai bentuk dari rasa hormat. Misalnya, antartetangga, anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, maupun murid kepada guru.

Sebaliknya, mereka yang menerima "anteran" pun merasa memiliki tanggung jawab moral untuk segera mengirimkan balesan berupa makanan yang dibuatnya. Alhasil, disini lah terjadi aksi saling mengantar makanan yang intensitasnya akan meningkat kala bulan Ramadan tiba. Bahkan, akan semakin semarak tepat sehari sebelum Lebaran.

Abdul Chaer, dalam buku Betawi Tempo Doeloe (2015) menjelaskan, tradisi nganter akan semakin semarak terjadi pada sehari sebelum Lebaran. Sebab, ibu-ibu Betawi biasanya telah disibukkan dengan aktivitas memasak makanan istimewa untuk Lebaran, yakni ketupat, semur daging, sayur sambel godok, atau sayur laksa.

"Setelah masakan matang, para tetangga saling mengantarkan masakan yang dibuatnya, sehingga semua orang merasakan masakan yang dibuat para tetangganya. Begitu pun pada Lebaran. Orang yang berkunjung ke rumah orang lain tentu akan membawa gegawan –berupa kue-kue dan sebagainya— dan ia juga akan menerima balesan dari orang yang dikunjunginya.”

Gambaran terkait nganter pun sering diperlihatkan dalam sinetron klasik Si Doel Anak Sekolahan (1994-2006). Dalam salah satu episode, keluarga Si Doel yang sedang melakukan selamatan mulai mengundang orang-orang untuk melakukan kunjungan ke rumahnya.

Atas dasar itu, semua tamu yang datang dijamu dengan ragam makanan dan minuman. Selebihnya, secara sengaja Mak Nyak –orang tua Si Doel yang diperankan oleh Aminah Cendrakasih-- melebihkan makanan untuk diantarkan oleh Mandra ke rumah calon mertuanya.

“Mandra, ambil berkat deh untuk babenya si Munaroh,” begitulah ucap Mak Nyak yang disambut dengan gerak cepat Mandra dalam nganter makanan.

Kiranya, begitulah kelihaian Si Doel Anak Sekolahan menyelipkan muatan budaya dalam tayangannya. Pada saat itu, serial tersebut memang dikenal sebagai salah satu karya televisi paling nyata. Apalagi bagi anak betawi. Diperankan oleh nama-nama besar, seperti Benyamin Sueb, Mandra, Aminah Cendrakasih, Maudy Kusnaedi, hingga Cornelia Agatha, Si Doel Anak Sekolahan acap kali memperlihat tradisi nganter yang masih lestari hingga kini.

Nilai sosial dan rasa hormat

Menariknya, lewat tradisi nganter, fitrah manusia sebagai mahluk sosial seakan kembali. Setiap tradisi nganter dilangsungkan, setidaknya ada muatan interaksi yang dapat dinikmati. Karenanya, hubungan bermasyarakat pun jadi harmonis. "Misalnya, seseorang yang baru ngalap (memetik) buah dari kebun akan mengantarkan sedikit buah itu kepada tetangga yang tahu bahwa ia mempunyai pohon itu,” ujar Abdul.

Saking pentingnya tradisi nganter, secara sosiologis, tradisi ini mempunyai nilai sosial yang tinggi. Alasannya tak lain karena melalui tradisi tersebut tali kekeluargaan dan persahabatan menjadi terjaga. Tak hanya itu, nuansa gotong royong tanpa pandang bulu turut diperlihatkan. Sampai-sampai, pegiat budaya sekalipun tak jarang melabeli aktivitas ini sebagai bentuk luhur suatu penghormatan kepada orang tua maupun guru.

Konon, momentum anteran juga kerap dimanfaatkan sebagai ajang pamer. Anteran kerap jadi ajang unjuk gigi bagi seseorang bahwa ia pandai memasak. Konon, calon menantu memamerkan kemampuan itu pada calon mertuanya. Namun, pendapat ini dibantah oleh tokoh muda Betawi, Masykur Isnan. Ia menjelaskan, pandangan itu hanya cerita rakyat alias folklore.

“Ini salah satu bentuk folklore yang berkembang. Sebab, jika ditelaah lebih jauh, hal ini merupakan perwujudan rasa hormat dan sayangnya menantu kepada mertua,” ucapnya saat dihubungi VOI, 22 Mei.

Meski begitu, tradisi nganter yang berkembang hari ini dan dahulu sungguh berbeda. Dahulu, jika seseorang memiliki niatan untuk nganter. Maka sudah pasti mereka akan melalui proses yang panjang. Mulai dari masak sendiri, hingga mengemas makanan dengan wadah kusus untuk diantarkan.

“Jadi, dulu memang nganter ini punya nilai khusus, baik bagi yang ingin memberi maupun yang menerima. Tetapi, jika melihat kondisi kekinian, maka ada banyak perubahan dari tradisi ini. Kini, semuanya bisa dilaksanakan dengan lebih cepat dan praktis berkat kemajuan teknologi yang mengakomodasi layanan pesan-antar. Tak salah memang. Cuma, perihal kepuasaan akan dirasa sedikit berbeda," tutupnya.