Serangan Masjidil Haram dan Pengaruhnya pada Gerakan Jihad Modern
Ka'bah (YouTube/KJ Vids)

Bagikan:

JAKARTA - Akhir tahun 1979 adalah catatan penting dalam sejarah dunia Islam modern. Sejak 20 November hingga 4 Desember, kelompok gerakan teror dari kalangan internal Islam dan penduduk Arab Saudi melakukan upaya menguasai Ka'bah dan Masjidil Haram. Peristiwa ini sejatinya amat penting diketahui untuk memahami gerakan Al Qaida dan pergerakan lain yang selama ini menodai wajah Islam modern. Sayang, rincian peristiwa ini cenderung ditutup-tutupi hingga hari ini.

Pagi hari, 20 November, 40 tahun lalu, ratusan jemaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia mencair jadi lautan manusia. Di antara mereka, ratusan pemberontak yang didominasi orang Arab keturunan Badui membaur. Keterasingan dan kecemburuan sosial melatarbelakangi gerakan mereka. Lainnya adalah orang-orang Afrika-Amerika. Mereka pindah agama lantaran terinspirasi keyakinan baru yang mengeras oleh kerusuhan ras di sebagian belahan dunia. Beberapa di antara para pemberontak bahkan telah berada di dalam Masjidil Haram. Berhari-hari, mereka mengintip kelokan jalan penghubung antargedung hingga jalan-jalan terusan di sekitar.

Pukul 05.18 pagi, selepas Imam menutup Salat Subuh dengan doa, rentetan suara senjata menyalak. Kepanikan terpantik di antara jemaah ketika seorang pemuda sambil menenteng senjata terlihat melangkah menuju Ka'bah. Kepanikan makin jadi ketika pemberontak lain mulai mengangkat senjata. Polisi sekitar Masjidil Haram yang bersenjatakan tongkat berupaya melawan para pemberontak. Akibatnya, dua orang polisi tewas. Sisanya, jadi tawanan. Di tengah kekacauan, Juhaiman Al-Utaibi muncul. Bersama tiga militan bersenjata senapan, pistol, dan belati, ia menerobos kerumunan dan menghampiri Imam. 

Kekacauan itu mulai menemukan sumbernya. Sang imam mengidentifikasi Juhaiman sebagai pemimpin pemberontak. Imam juga menyadari anggota pemberontak di bawahnya adalah orang-orang yang pernah mengikuti kajian agama dari Juhaiman di Makkah. Selanjutnya, Juhaiman tanpa rasa hormat, mendorong Imam ke samping seraya merebut mikrofon. Ketika Imam mencoba mempertahankan mikrofon, seorang anak buah Juhaiman mencabut belati dan berteriak memperingatkan setiap orang bahwa ia siap menikam dan membunuh siapa pun penghalang.

Adegan itu membuat kepanikan makin parah. Ribuan orang berhamburan ke arah tembok pagar untuk melarikan diri, meninggalkan 51 yang terkurung di area Masjidil Haram. Anggota kelompok bersenjata itu makin beringas. Moncong senjata diarahkan ke kerumunan, menghalangi semua jalan keluar. Sejumlah jemaah mulai menggemakan takbir. Tak diduga, kelompok bersenjata itu juga meneriakkan kalimat kebesaran yang sama. Di tengah gemuruh takbir, Juhaiman meneriakkan seruan militer lewat mikrofon.

 

Segera, anak buahnya memasang senapan mesin di puncak tujuh menara Masjidil Haram. Jemaah yang terperangkap dipaksa membantu pemberontakan Juhaiman. Beberapa diperintahkan menggulung ribuan karpet, ada juga yang dipaksa dengan todongan pistol untuk naik ke puncak menara, membawa air serta peti-peti berisi amunisi. Penguasaan tujuh menara memberi ruang bagi para penembak jitu untuk mengawasi keadaan di luar Ka'bah.

"Jika kalian melihat tentara pemerintah hendak melawan, apa boleh buat, tembaklah, karena ia ingin membunuhmu! ... Jangan ragu!" seru Juhaiman kepada para penembak jitu dengan aksen paraunya, dikutip dari buku The Siege of Mecca karya Yaroslav Trofimov.

Suasana mencekam penuh tangis perempuan dan anak terdengar lantang, bercampur dengan suara batuk para manula. Kepanikan terpelihara sempurna. Ribuan sandera yang tak mampu berbahasa Arab mulai kebingungan. Juhaiman rupanya telah mempersiapkan cara untuk mengatasi persoalan bahasa. Segera, ia memerintahkan untuk mengelompokkan jemaah Pakistan dan India di satu sudut bersama pemberontak kelahiran Pakistan. Anak buahnya kemudian menerjemahkan isi pengumuman ke dalam bahasa Urdu. Sementara, kelompok orang Afrika diberi juru bicara dalam bahasa Inggris.

Sit down, sit down and listen!” seru kelompok bersenjata memberi aba-aba sembari mengarahkan moncong senjata. “Makkah, Madinah, dan Jeddah sekarang ada dalam genggaman kami,” para pemberontak mendeklarasikan penguasaan mereka lewat sistem komunikasi publik di sekitar Masjidil Haram.

Saking kerasnya, seruan itu terdengar sampai ke tengah Kota Makkah. Juhaiman kemudian menyerahkan mikrofon kepada seorang bernama Sayid yang menguasai kemampuan bahasa Arab klasik untuk menjelaskan tujuan gerakan gila itu.

Meledak-ledak, Sayid menjelaskan berbagai kejahatan Istana Saud. Pangeran Fawaz, saudara raja sekaligus Gubernur Makkah, disebut. Skandal seks dan korupsi Fawaz serta kebiasaannya berpesta pora dianggap memalukan. Selain itu, pencemaran pikiran Barat lewat televisi serta berbagai kebijakan liberal macam mengizinkan perempuan beraktivitas di ruang publik dinilai sebagai bahaya. Apalagi, keputusan kerajaan bekerja sama dengan pihak yang mereka sebut kafir. Bagi mereka, sumpah setia rakyat Saudi kepada kerajaan tak lagi sah lantaran penyimpangan yang dilakukan kerajaan terhadap hukum Islam.

Kemunculan Imam Mahdi

Kebingungan semakin jadi ketika Juhaiman mengundang Muhammad Abdullah ke hadapan jemaah. Kepada para jemaah, Juhaiman memperkenalkan Muhammad Abdullah sebagai Imam Mahdi. Ramalan telah terpenuhi, katanya. Masa perhitungan telah dimulai, tuturnya. Teori soal kemunculan Imam Mahdi pun dituturkan Juhaiman, termasuk tahi lalat merah di pipi Muhammad Abdullah. Sejenak, Juhaiman menghentikan ocehannya untuk memberi pengaruh sekaligus menambah efek dramatis dalam penuturannya.

“Laki-laki baik itu sekarang ada di sini bersama kita, dan dia akan membawa keadilan ke dunia, setelah dipenuhi ketidakadilan. Jika ada yang meragukan, silakan ke sini memeriksa. Kami semua adalah saudara kalian!” seru Juhaiman.

Imam Mahdi yang digadang-gadang kelompok bersenjata ini mendekat ke tengah Masjidil Haram dengan menenteng senjata mesin. Ia kemudian berdiri di bawah bayangan Ka'bah, di antara pusara Ismail dan Hajar serta sebuah batu besar di mana terdapat jejak kaki Nabi Ibrahim. Situasi itu disusun sesuai dengan penggambaran hadis Nabi Muhammad.

“Atas nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, inilah Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu,” seru Juhaiman. “Bersumpah setialah kepada saudara Muhammad Abdullah Al-Quraisy,” lanjutnya.

Satu per satu orang-orang bersenjata Juhaiman membungkuk mencium tangan Muhammad Abdullah dan memberi baiat dengan ucapan: Kami akan taat kepadamu, dalam suka dan duka, dalam kemudahan dan kesusahan, bahkan dalam bahaya, kecuali dalam apa yang tidak diridhoi Allah.

Sembari menjabat tangan mereka, para sandera mengikuti dan membuat janji yang sama. Ketika pengucapan janji masih berlangsung, saudara sang Mahdi, Sayid, berujar dengan nada apologis. “Kita semua yang ada di sini, tanpa kecuali, harus meminta masyarakat untuk kembali ke jalan Al-Qur'an dan Sunnah, sekalipun ini bertentangan dengan apa yang dikatakan pemerintah dan ulama kepadamu.”

Dengan baiat, berarti secara formal telah mengalihkan dukungan para jemaah Saudi dari keluarga kerajaan kepada Imam Mahdi. Setelah prosesi baiat, kelompok Juhaiman menyita kartu identitas Saudi dari jemaah. Mereka merobek identitas dan memukul para jemaah. Pengikut Juhaiman bertambah marah saat mereka melihat tasbih-tasbih yang dipakai banyak jamaah karena dianggap bidah. Seorang bersenjata datang mendekat ke para pemilik tasbih dan mendorong mereka ke lantai lalu menembaki. 

Tak sanggup berdiam melihat tindakan Juhaiman dan pengikutnya yang makin brutal, Imam Masjidil Haram, Syekh Muhammad bin Subail, lari ke sebuah ruangan untuk melaporkan peristiwa ini. Ia menghubungi Syekh Nasir bin Rasyid, melaporkan keadaan dan meminta pertolongan. Dari ruangan itu, Imam Subail melihat ke jendela dan menyaksikan tembakan pelaku pemberontakan ke arah jemaah.

Ia lalu berusaha keluar area Masjidil Haram melalui sebuah kantor polisi penjaga. Kepada seorang petugas yang berjaga, Imam bertanya: Apakah kalian sudah menghubungi pimpinan? Namun jawaban petugas itu justru mengejutkannya. Petugas yang telah terhasut cerita yang dibawa Juhaiman itu menjawab: Kami menyampaikan bahwa Imam Mahdi telah datang!

Kisah Imam Mahdi ala kelompok Juhaiman mulai terbangun sejak ia dan sejumlah pengikutnya mengalami mimpi yang sama tentang kedatangan Imam Hamdi. Mereka meyakini sosok Muhammad Abdullah Al-Qahtani sebagai Imam Mahdi. Dalam mimpi itu, mereka konon melihat Muhammad Abdullah berdiri di samping Ka'bah dan menerima baiat sebagai Imam Mahdi. Keseragaman mimpi ini dianggap ajaib lantaran tak hanya dialami pengikut Juhaiman di Arab Saudi, tapi juga mereka yang berada di Lebanon, yang bahkan tak pernah berjumpa dengan Muhammad Abdullah.

Mulanya, Muhammad Abdullah tak menanggapi mimpi itu secara serius, meski ia juga mengaku mengalami mimpi yang sama. Muhammad Abdullah yang saat itu baru menginjak usia 25 tahun tidak mau memperpanjang tafsiran mimpi itu. Namun, Juhaiman terus berupaya meyakinkan Muhammad Abdullah bahwa ia adalah orang terpilih yang ditakdirkan sebagai Imam Mahdi, sang penyelamat dunia Islam. Untuk memperluas dukungan, Juhaiman meminta tanggapan gurunya, Ibn Baz.

Saat di Riyadh, ulama itu mendengarkan argumen teologis tentang kemunculan Imam Mahdi yang diyakini adalah Muhammad Abdullah. Saat itu juga, Ibn Baz menolaknya. Sederhana. Muhammad Abdullah tidak memenuhi kualifikasi teologis sebagai Imam Mahdi. Namun, Juhaiman kepalang tenggelam dengan keyakinannya. Ia terus membisikkan kepada Muhammad Abdullah bahwa ia adalah Imam Mahdi. Lambat laun, Abdullah turut tenggelam dalam keyakinan tersebut.

Kebencian pada kerajaan

Berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada 23 September 1932 oleh Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud membuat kota Makkah masuk ke dalam wilayah kerajaan. Otomatis, seluruh pengelolaannya jadi hajat kerajaan. Di masa kepemimpinan Raja Abdul Aziz, Arab Saudi yang semula adalah wilayah yang kerap dianggap sebelah mata karena tak memiliki potensi sumber daya alam, tiba-tiba menjadi negeri kaya raya. Temuan minyak bumi 1938 di wilayah itu jadi pendorongnya. Potensinya tak main-main. Minyak bumi Arab Saudi disebut mampu memasok seperempat kebutuhan minyak dunia.

Dengan bantuan Amerika Serikat, proyek penambangan minyak di Arab Saudi resmi dijalankan oleh Aramco (The Arabian American Oil Company). Perjanjian aliansi strategis Arab Saudi-Amerika Serikat yang disepakati Raja Abdul Aziz dan Presiden Roosevelt dalam jamuan makan malam di Kapal Quincy jadi tanda dimulainya eksplorasi minyak bumi di Arab Saudi. Kesepakatan itu memancing datangnya ribuan ahli dan insinyur konstruksi Amerika Serikat ke Tanah Arab. Jalan modern, lapangan udara, hingga benteng-benteng perkantoran dibangun untuk melancarkan hajat eksplorasi yang belakangan merugikan Arab Saudi di bawah monopoli Amerika Serikat atas Aramco.

Kehadiran orang-orang asing itu dikritik kaum Agamawan. Salah satunya adalah Abdul Aziz Ibn Baz. Dalam pidatonya tahun 1940, Ibn Baz menyampaikan penolakan kedatangan orang Barat ke Arab Saudi. Dikutip dari tulisan Gilles Kepel dalam The War for Muslim Minds, Ibn Baz mengatakan: Kehadiran orang-orang kafir, laki-laki atau perempuan, berbahaya bagi orang Muslim. Kepercayaannya, moralitasnya, dan pendidikan anak-anaknya. Tersinggung oleh pidato tersebut, Raja Abdul Aziz memenjarakan Ibn Baz.

Munculnya industri pesawat komersial di dunia mendongkrak naiknya jumlah jemaah haji ke Arab Saudi setiap tahunnya. Masjidil Haram mengalami perluasan dan renovasi besar-besaran. Proyek tersebut dijalankan oleh pegawai setia kerajaan sekaligus penasihat kepercayaan dalam urusan pembangunan, yakni Muhammad Bin Laden, ayah dari Osama Bin Laden. Ia merenovasi Masjidil Haram, menyulapnya dengan penuh kemewahan. Muhammad Bin Laden adalah kontraktor kepercayaan istana yang melanjutkan renovasi hingga medio 1956-1970.

Modernisasi Arab Saudi dilakukan diberbagai lini. Pembangunan mal hingga masuknya film-film barat ke televisi menyempurnakan sikap liberal masyarakat Arab Saudi hari itu. Belum lagi ide-ide yang dibawa pulang ribuan pelajar dan sarjana Arab Saudi dari Amerika Serikat dan Eropa. Dikutip dari tulisan Holden dan Johns dalam buku The House of Saud, liberisasi juga terlihat dari kalangan keluarga kerajaan, Pangeran Mahkota Fahd yang reputasinya dikenal sebagai playboy dan pro Amerika semakin membebaskan Arab Saudi. Munculnya lokalisasi dan legalisasi casino serta masuknya produk minuman beralkohol memicu protes keras dari kalangan ulama, terutama Ibn Baz yang kala itu sudah bebas dari penjara. Protesnya bahkan lebih keras dari tahun 1940 lalu.

Kendati menenghormatinya sebagai ulama, pihak kerajaan cenderung mengabaikan protesnya. Ibn Baz mencoba melakukan perubahan dari bawah. Memanfaatkan posisinya sebagai dekan Universitas Madinah, ia mengembangkan gerakan dakwah baru yang berseberangan dengan kerajaan. Gerakan itu bernama Dakwah Salafiyah Al-Muhtasiba yang berarti “Gerakan Islam yang mengikuti cara hidup para Sahabat dan yang dilakukan dengan cita-cita mulia”.

Jaringan dakwah yang dipimpin Ibn Baz ini segera meluas ke seluruh penjuru negeri. Kritik terhadap kebijakan kerajaan, kebencian terhadap non-Muslim yang bekerja di Aramco dan semua perubahan sosial selama ini terus didengungkan di ruang-ruang belajar Universitas Islam Riyadh dan Madinah. Juhaiman bin Saif Al-Utaibi jadi salah satu anggota gerakan dakwah ini. Juhaiman bergabung pada tahun 1973 setelah mengundurkan diri Tentara Garda Nasional Saudi, pasukan khusus rezim Saudi yang bertugas menjaga keluarga Al-Saud dari potensi kudeta, baik internal maupun eksternal.

Dikutip dari buku The Siege of Mecca karya Yaroslav Trofimov, tak butuh waktu lama bagi Juhaiman untuk menduduki posisi penting dalam organisasi dakwah Al-Muhtasiba. Pada tahun 1976, ia menjadi koordinator gerakan dalam rekrutmen dan mengawasi kamp-kamp para tokoh Al-Muhtasiba saat melaksanakan ibadah haji tiap tahun. Pada tahun 1977, kesetiaan Juhaiman kepada Ibn Baz dan ulama senior dalam gerakan tersebut mulai terkikis. Menurutnya, gerakan perubahan tidak bisa dilakukan hanya dengan dakwah ke masyarakat saja. Ia menghendaki cara yang lebih keras. Tentu saja pendapatnya menemui pertentangan.

Pengaruhi gerakan jihad modern

Juhaiman lalu mulai menulis untuk menyampaikan kritik. Sebuah buku berjudul Zilzal Juhaiman Fi Makkah terbit sebagai buah pemikirannya. Pemikiran yang kelak akan diikuti oleh ratusan pengikut yang turut serta dalam serangan di Masjidil Haram. Bahkan, pemikirannya juga diyakini banyak pihak turut menginspirasi generasi jihad di masa-masa setelahnya. Tulisan Juhaiman merangkum kontradiksi dan sepak terjang kerajaan Arab Saudi yang merusak keyakinan Islam.

"Penyembahan Rial terjadi, film-film diimpor, dan buku-buku meracuni pikiran anak-anak muda," tulisnya dalam buku itu. . Ia juga mengkritik Komisi Penjaga Moral dan Pencegah Asusila, lembaga negara yang menjaga kesusilaan Islam yang dinilai tidak berjalan. "Apa artinya komisi itu jika kita tetap memiliki bioskop-bioskop, klub-klub, dan pertunjukan-pertunjukan seni?"

Tulisan itu diterbitkan Juhaiman awal tahun 1978. Tulisan itu ia kirim kepada aktivis Ikhwanul Muslimin Kuwait. Juhaiman menyadari ketatnya kontrol Kerajaan Arab Saudi ketika itu. Di Kuwait, penerbit Dar Al-Talia bersedia mencetak tulisannya kedalam bentuk buku. Juhaiman pun hanya perlu membayar ongkos cetak lantaran penerbit ini berafiliasi dengan para penentang Arab Saudi di Kuwait yang didukung Partai Sosialis Islam Baath dari Irak.

Buku itu berhasil memengaruhi banyak pengikut Juhaiman yang ikut dalam serangan Masjidil Haram. Musim Haji tahun 1979, serangan itu dilakukan. Serangan itu direncanakan matang. Kelompok Juhaiman bahkan lebih dulu dilatih untuk menyempurnakan kemampuan menembak. Pelatihan diberikan oleh para anggota veteran Garda Nasional Saudi. Gerakan dimulai dengan memanfaatkan perhatian kerajaan yang kala itu terpusat pada eskalasi konflik di Teluk Persia, Iran setelah terjadinya serangan ke kedutaan Amerika Serikat di negeri itu.

Para pengikut Juhaiman mulai memasuki Makkah. Mereka menyelundupkan senjata dan logistik lewat Gerbang Fatah di bagian utara Makkah yang mengarah ke lorong berliku bagian bawah ruangan Masjid al-Haram, Qabu. Juhaiman menyogok pekerja konstruksi dari perusahaan Bin Laden yang masih merenovasi Masjidil Haram sebanyak 40.000 Real, karena hanya pekerja perusahaan ini yang memiliki akses masuk ke gerbang. Juhaiman dan pengikutnya masuk membawa tiga mobil bak terbuka Toyota, Datsun dan GMC yang diparkir di lantai dasar Masjidil Haram. Ketiga mobil itu dipenuhi dengan senjata, amunisi dan pasokan makanan.

Dua pekan pertempuran

Kembali pada serangan di Masjidil Haram. Sekitar pukul 08.00 pagi, polisi Makkah akhirnya merespons situasi genting ini. Sebuah jip polisi dikirim untuk memantau kekacauan yang menumpuk di gerbang. Kendaraan itu dihujani tembakan. Peluru-peluru yang ditembakkan penembak jitu Juhaiman dari salah satu menara menghancurkan kaca depan mobil, menyebabkan pengemudi mobil terluka dan bersimbah darah.

Setelah jip pertama gagal, sebuah konvoi polisi dalam skala besar bergerak lamban ke arah sisi lain tempat suci tersebut. Tak lama kemudian, para pemberontak menembaki rombongan polisi dengan hujanan peluru dari menara-menara dan jendela-jendela bagian atas. Berita tentang kedatangan Imam Mahdi segera meluas, penduduk Makkah terpecah. Beberapa mulai mempercayai kisah yang dibawah Juhaiman.

Di Riyadh, Raja Khalid yang saat itu sedang sakit mendengar kabar dari Syekh Nasir bin Rasyid, ulama senior yang bertugas di dua tempat tersuci Mekkah dan Madinah. Raja Khalid kebingungan, bagaimana harus bereaksi terhadap serangan ini. Ia kebingungan lantaran keluarga kerajaan yang memiliki posisi penting sedang tidak berada di Arab Saudi. Komandan Garda Nasional, Pangeran Abdullah saat itu berada di Maroko. Pangeran Faisal yang merupakan Ketua Direktorat Intelijen Umum (GID) juga tengah berkunjung ke Tunisia.

Pembatasan informasi pun dilakukan. Arab Saudi ditutup untuk turis dan wartawan mancanegara. Televisi dan radio setempat pun dilarang menyiarkan pemberitaan. Raja Khalid kemudian memanggil Ibn Baz dan 29 ulama senior lain ke Istana. Ia meminta saran untuk mengatasi kejadian ini. Bagaimanapun, Masjidil Haram adalah area yang terlarang dari segala bentuk peperangan. Sementara, Garda Nasional Saudi terus mencoba merangsek untuk mengambil alih dan memulihkan keadaan di Makkah.

Pertempuran antara tentara Arab Saudi dengan kelompok Juhaiman berlangsung dua pekan. Dimulai sejak 20 November hingga 4 Desember 1979. Pemberontakan Juhaiman dan seluruh pengikutnya berakhir pada dinihari pukul 01.30. Dalam keterangan yang digali, Juhaiman menyebut pemberontakan yang ia lakukan sebagai kehendak Tuhan. Dalam konferensi pers hari itu, Pangeran Nayif tersenyum lebar. Betapa bangganya ia melihat pasukan Arab Saudi menyudahi penyerangan dengan konsekuensi jumlah korban yang ia sebut "luar biasa rendah."

Menurut informasi yang ia sampaikan, 60 orang dinyatakan meninggal. 200 lainnya luka-luka. “(Kematian mereka) Lebih baik dari kita semua karena mereka meninggal sebagai Syuhada dalam rangka pengabdian pada Tuhan dan mempertahankan tempat suci-Nya,” kata Pangeran Nayif. Dari sisi pemberontak, 75 dikabarkan tewas di Masjidil Haram. 170 lainnya ditangkap, termasuk 23 perempuan dan anak yang merupakan istri Juhaiman serta beberapa saudara perempuan dari Muhammad Abdullah yang disebut tewas dalam serangan hari kedua.

Figur paling penting di antara para tahanan itu muncul di layar. Juhaiman yang berwajah kelam dan basah kuyup duduk di atas ranjang rumah sakit. Kedua tangannya diborgol ke belakang. Juhaiman diperlihatkan kepada publik dibarengi suara keras bernada marah seorang pembawa berita TV Saudi. “Di hadapan Anda adalah Juhaiman bin Saif al-Utaibi!"

Menurut hitung-hitungan pemerintah Saudi, Juhaiman dan para pemberontaknya telah membunuh 12 perwira Saudi serta 115 orang jamaah. Sekitar 450 lebih prajurit dilarikan ke rumah sakit karena serangan yang dilancarkan para pemberontak. Keterangan resmi pemerintah yang menghimpun jumlah 270 orang sebagai korban meninggal pemberontakan Makkah disambut skeptis para diplomat barat dan pengamat independen. Mereka yakin, pemerintah Saudi menutupi jumlah korban sesungguhnya yang sejatinya lebih banyak. Menurut amatan mereka, setidaknya seribu lebih orang tewas dalam peristiwa berdarah itu.

Pagi hari, 9 Januari 1980, 63 tahanan yang memberontak dibius. Dengan kondisi terikat, mereka dibawa ke hadapan pedang baja panjang para algojo. Hukum penggal menanti. Mengikuti kebiasaan Arab Saudi, hukuman itu dilakukan depan umum, untuk memastikan pesan ketegasan pemerintah terdengar jauh dan luas. Kepala Juhaiman adalah yang pertama menggelinding ke pasir di Kota Suci Makkah, tempat ia melakukan perbuatan kriminalnya.