Pemerintah yang Dinilai Tuna Empati karena Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan
Presiden RI, Joko Widodo. (Foto: Setkab)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II. Keputusan ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, tak terkecuali Komisi IX DPR. Pemerintah dinilai tuna empati dengan kondisi rakyat yang sedang sulit karena pandemi virus corona atau COVID-19. Karena itu, dasar hukum kenaikan iuran ini diminta untuk dicabut.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar meminta, Peraturan Presiden (Perpres) 64 tahun 2020 tentang revisi perubahan perpres 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang isinya menaikkan kembali iuran BPJS kesehatan untuk dicabut.

"Saya Ansory Siregar Wakil ketua komisi IX DPR dari Fraksi PKS meminta untuk mencabut Perpres nomor 64 tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan," katanya, di Jakarta, Kamis, 14 Mei.

Menurut Ansory, pemerintah seharunya empati dengan kondisi sulit yang dihadapi masyarakat Indonesia akibat pandemi COVID-19. Apalagi, karena wabah ini banyak yang terpaksa dirumahkan, dan bahkan kehilangan mata pencaharian karena adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

"Pemerintah tidak peka dan terbukti tuna empati dengan situasi masyarakat yang sedang dilanda pandemi wabah COVID-19, di mana masyarakat sedang susah dan menderita. Namun justru menaikan iuran BPJS Kesehatan," tuturnya.

Tak Taat Hukum

Tak hanya itu, menurut Ansory, dengan naiknya iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II ini, pemerintah terbukti abai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) dan tak memberikan contoh ketaatan hukum kepada rakyat.

"Pemerintah juga tidak memberikan contoh atau tauladan yang baik dalam ketaatan hukum, padahal keputusan MA sudah sah dan mengikat agar Iuran BPJS dikembalikan seperti sedia kala," tuturnya.

Menurut Ansory, kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II ini pun tidak melalui rapat kerja dengan Komisi IX sebagai mitra kerja BPJS Kesehatan.

"Ironisnya, kebijakan kenaikannya disampaikan ketika DPR sedang reses sehingga tidak bisa melakukan rapat kerja dengan pemerintah," ucapnya.

Maju mundur besaran iuran BPJS Kesehatan ini juga menjadi perhatian Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Mereka mengecam langkah pemerintah yang kembali menaikkan besaran iuran.

Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir mengatakan, pemerintah terbukti abai dengan putusan MA yang telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, per 6 Mei.

Tony merasa, aneh dengan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini akan berlaku bertahap dimulai pada 1 Juli 2020. Sebab, keputusan MA bersifat mengikat secara hukum untuk semua, tak terkecuali presiden.

"Kami menilai pemerintah seolah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal," tutur Tony, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, Rabu, 13 Mei.

Sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari silam, kata Tony, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas.

Lebih lanjut, Tony mengatakan, seharusnya Pemerintah tetap teguh berpegang pada prinsip pedoman hak atas kesehatan, salah satunya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga.

"Aksi protes turun kelas tersebut jelas mengabarkan bahwa warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial. Sayangnya, pemerintah tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran," jelasnya.

Bagi KPCDI, sebagai pihak yang sebelumnya menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung, kabar Pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi COVID-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi.

"Ini mengancam keselamatan pasien penyakit kronis seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisa/cuci darah) demi kelanjutan hidup. Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan; April, Mei, Juni," katanya.

Buka Hasil Audit BPKP

Sementara itu, Peneliti Lokataru Fian Alaydrus menilai, pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga.

Menurut Fian, Lokataru Foundation sejak awal menilai kebijakan menaikkan iuran untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan bahwa di kemudian hari BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit lagi.

"Kita tidak bisa menutup mata atas carut-marut tata kelola BPJS Kesehatan. Semrawutnya data kepesertaan, absennya tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar dan menjamin tenaga kerjanya hingga minimnya pengawasan dan pemberian sanksi bagi tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum pasien, penyedia pelayanan kesehatan dan juga BPJS Kesehatan sendiri," katanya.

Apalagi, kata Fian, hingga hari ini, BPJS Kesehatan masih belum membuka hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan secara publik. Padahal Maret lalu Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memutuskan bahwa dokumen audit tersebut adalah dokumen publik.

"Selama dokumen tersebut masih ditutup-tutupi, kami tidak bisa menerima penjelasan resmi pemerintah yang menyalahkan defisit kepada para peserta BPJS. Demikian pula, sampai penyebab defisit belum bisa dijelaskan secara memuaskan oleh pemerintah maka kami akan terus menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan," tuturnya.

Fian mengatakan, Lokataru Foundation dan KPCDI menuntut kepada Presiden Jokowi agar teguh pada komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas jaminan kesehatan warga, terutama di tengah pandemi COVID-19.

"Terkait dengan aturan baru yang diterbitkan presiden, tidak ada jalan lain, kami akan lakukan upaya hukum," jelasnya.

Sekadar informasi, melalui kebijakan Perpres terbaru ini, besaran iuran BPJS Kesehatan memang lebih rendah dari Perpres yang dibatalkan oleh MA. Dalam Pasal 34 Ayat 1 dari Perpres Nomor 64 Tahun 2020 menyebutkan, pada 2020, iuran peserta kelas III naik menjadi Rp42.000. Namun, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp16.500 sehingga masyarakat hanya perlu Rp25.500.

Namun, kebijakan itu hanya berlaku pada tahun 2020, sementara pada tahun 2021 besarannya akan naik menjadi Rp35.000 dengan Rp7.000 dibayarkan pemerintah.

Bagi kelas II PBPU dan BP/kelas mandiri besaran iurannya menjadi Rp100.000, lebih rendah Rp10.000 dari Perpres yang telah dibatalkan oleh MA sebelumnya. Sedangkan untuk kelas I jumlah besaran iuran menjadi Rp150.000, lagi-lagi selisih Rp10.000 dari Perpres sebelumnya.