Ada Ratusan Aduan ke Ombudsman Terkait Bansos di Tengah Pandemi COVID-19
Ilustrasi (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menerima 387 aduan terkait layanan publik di tengah pandemi COVID-19. Laporan itu terdata melalui Posko Pengaduan Daring COVID-19 yang disediakan Ombudsman. 

"Laporan pengaduan total yang masuk sampai dengan tanggal 12 Mei pukul 18.00 WIB itu ada 387 laporan," kata Ketua Ombudsman Amzulian Rifai dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 13 Mei.

Dari jumlah tersebut, sekitar 72 persen atau 278 laporan yang berkaitan dengan bantuan sosial terkait pandemi COVID-19. Selanjutnya, sebanyak 23 persen atau 89 pengaduan masyarakat ditujukan terkait pelayanan publik pada aspek keuangan. Kemudian, ada 2 persen atau 8 pengaduan terkait transportasi dan pelayanan kesehatan serta satu persen atau empat pengaduan terkait keamanan.

Adapun lokasi pengaduan paling banyak berasal dari Wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi yaitu sebesar 47 pengaduan atau sebesar 12 persen.

Pengaduan soal bantuan sosial di tengah pandemi ini, kata Rifai paling banyak karena penyaluran bantuan tidak merata, serta prosedur dan persyaratan penerima bantuan yang tidak jelas. 

"Prosedur dan persyaratan penerima bantuan tidak jelas, masyarakat kondisinya darurat tapi tak terdaftar dan sebaliknya, ada juga terdaftar tapi tak menerima bantuan, tidak dapat menerima bantuan karena KTP pendatang," ungkap dia.

Data yang tidak akurat, kata Rifai, menjadi salah satu masalah dalam pemberian bansos ini. Padahal, sebelum adanya pandemi ini, Ombudsman telah mengingatkan pemerintah soal akurasi data.

Sedangkan pengaduan dalam aspek keuangan kebanyakan terkait dengan relaksasi atau keringanan kredit yang dianggap belum maksimal.

Selain itu, anjuran bekerja dari rumah ternyata membuat konsumsi listrik dan kuota internet semakin meningkat. Atas kondisi tersebut, menurutnya, membuat masyarakat menjual asetnya, meminjam uang secara online, atau terpaksa ke luar rumah di tengah pandemi.

Ilustrasi (Angga Nugraha/VOI)

Mengkhawatirkan bansos yang salah sasaran 

Beberapa waktu yang lalu, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis survei terkait efektivitas bantuan sosial. Dari 1.235 responden yang mengikuti survei ini, 49 persen menyatakan bansos di masa pandemi COVID-19 belum tepat sasaran dan hal ini dinilai mengkhawatirkan.

"Ini mengkhawatirkan mengingat besarnya dana yang dikucurkan pemerintah hanya akan berarti ketika (bansos) bisa menjangkau masyarakat yang membutuhkan dan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan," kata Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas lewat keterangan tertulisnya.

Dari survei ini, bantuan itu dianggap tak tepat sasaran karena sebanyak 60 persen responden melihat ada warga lain yang berhak tapi belum menerima bansos. Selain itu, ada juga 29 persen responden yang tahu jika bansos diberikan kepada yang tidak berhak menerima.

Ilustrasi (Angga Nugraha/VOI)

SMRC mencatat, baru ada 21 persen warga yang menyatakan telah menerima bantuan di tengah pandemi. Jika merujuk dari data Susenas BPS 2019 yang menyatakan penerima bantuan sosial jumlahnya mencapai 34 persen, maka ada 13 persen warga yang belum mendapatkan bantuan. 

Ketika dihitung dari jumlah populasi nasional yang berkisar 271 juta jiwa, maka ada 35 juta orang yang belum mendapat bantuan sosial dan ini menjadi persoalan serius.

"Ini persoalan serius, karena mereka yang tak menerima bantuan bisa kelaparan, tak mampu berobat, tak mampu bayar kontrakan, dan persoalan-persoalan mendesak lainnya," kata Abbas.