RUU Minerba Disahkan Jadi Undang-undang, Faisal Basri: Di Mana Moralnya?
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Indonesia Faisal Basri menilai, langkah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Revisi Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 adalah untuk menyelamatkan para pengusaha. Seharusnya, UU ini tidak terburu-buru disahkan.

"Rakyat susah, elit pesta pora. Di tengah kondisi seperti ini, yang diselamatkan terlebih dahulu adalah bandar batu bara dengan UU Minerba," tuturnya, dalam diskusi daring dengan tema 'COVID-19 dan Stimulus Ekonomi', Rabu, 13 Mei.

Menurut Faisal, langkah terburu-buru tersebut tujuannya adalah untuk menyelamatkan kontrak karya bernilai besar yang konsesinya akan segera berakhir. Sejumlah nama pun disebut olehnya.

"Itu yang diselamatkan dulu karena di situ ada Luhut, Aburizal Bakrie, Erick Tohir, selamatkan itu dulu. Mereka tidak sempat menunggu omnibus law lagi. Omnibus ini kan agak beku maka secara nekat diundangkan lah ini (UU Minerba). Saya tidak tahu lagi moralnya ada di mana," katanya.

Seperti diketahui, RUU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) disahkan dalam rapat paripurna DPR, kemarin siang. Secara keseluruhan, dalam UU ini terdapat penambahan 2 bab baru sehingga terdapat 28 bab, terjadi perubahan 83 pasal, terdapat 52 pasal baru, dan 18 pasal yang dihapus. Sehingga total jumlah pasal menjadi 209 pasal.

UU Minerba Untungkan Elit

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menyayangkan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba oleh DPR dan pemerintah yang terkesan buru-buru dan tidak transparan.

Egi menilai, UU Minerba tak berpihak pada lingkungan hidup dan hanya menguntungkan para elit kaya. Satu dari sekian permasalahan RUU Minerba yaitu jaminan perpanjangan bagi perusahaan mineral dan batu bara dengan lisensi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B).

"Perusahaan batu bara dengan lisensi PKP2B banyak terafiliasi dengan para elit yang memiliki kekayaan luar biasa," tuturnya, dalam keterangan tertulis.

Perpanjangan lisensi KK dan PKP2B telah menjadi polemik berkepanjangan. Egi berujar, para pemegang lisensi tidak mendapat jaminan untuk mendapat perpanjangan kontrak dalam UU Minerba, dan dianggap mempersempit ruang gerak pebisnis batu bara. Sehingga sejumlah upaya dilakukan guna mendapatkan kepastian perpanjangan, yang di antaranya tercermin melalui RUU Cipta Kerja dan RUU Minerba.

"Kini melalui revisi UU Minerba mereka mendapat jaminan untuk mendapat untung dengan cara mengeruk pertambangan batu bara. Kuat terlihat bahwa revisi UU Minerba kental akan kepentingan elit kaya penguasa batu bara," katanya.

Egi mengatakan, industri batu bara dikuasai oleh elit-elit kaya. Perusahaan-perusahaan besar batu bara dimiliki oleh individu yang merupakan orang terkaya se-Indonesia, terafiliasi dengan pejabat publik, atau diketahui terafiliasi dengan perusahaan yang terdaftar di negara surga pajak. Apabila RUU Minerba disahkan, maka mereka akan diuntungkan.

Banyak dari para pebisnis batu bara memiliki perusahaan dengan lisensi PKP2B. Jaminan perpanjangan akan menguntungkan mereka. Dalam waktu singkat, terdapat tujuh perusahaan PKP2B generasi pertama yang akan habis masa waktu lisensinya.

"Perusahaan tersebut yaitu, PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal," katanya.

Hasil penelusuran ICW, kata Egi, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut terafiliasi dengan elit-elit kaya. Sejumlah nama diketahui sebagai beneficial owner (penerima manfaat/pemilik sebenarnya), pemegang saham, pengurus, atau terafiliasi sebagai rekan bisnis/keluarga.

"Negara dirugikan, elit-elit kaya diuntungkan. Patut diduga terjadi jenis korupsi pembajakan negara atau state capture," katanya.