Tak Ada yang Salah dengan Pelarungan Jenazah ABK, Perbudakanlah yang Harus Diusut
Monumen peringatan perbudakan di Pelabuhan Rotterdam, Belanda (Kaatjem/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menanggapi viralnya video pelarungan jenazah anak buah kapal (ABK) Indonesia di Korea Selatan. Video ini diunggah pertama kali oleh media asal Negeri Ginseng, MBC News.

Edhy menjelaskan, pelarungan atau burial at sea diperbolehkan karena diatur dalam aturan kelautan Organisasi Buruh Internasional atau ILO. Namun, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi. Dalam peraturan ILO "Seafarer’s Service Regulations", prosesi pelarungan jenazah di laut diatur dalam Pasal 30.

"Pelarungan di laut boleh dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat," kata Edhy dalam keterangan yang diterima VOI, Kamis, 7 Mei.

Syarat pertama, kapal berlayar di perairan internasional. Kedua, ABK telah meninggal lebih dari 24 jam atau kematiannya disebabkan penyakit menular dan jasad telah disterilkan. 

Syarat ketiga, kapal tidak mampu menyimpan jenazah karena alasan higienitas atau pelabuhan melarang kapal menyimpan jenazah, atau alasan sah lainnya. Kemudian, keempat, ada sertifikat kematian yang telah dikeluarkan oleh dokter kapal.

"Pelarungan juga tak bisa begitu saja dilakukan. Berdasarkan pasal 30, ketika melakukan pelarungan kapten kapal harus memperlakukan jenazah dengan hormat. Salah satunya dengan melakukan upacara kematian," ucap Edhy.

Tak hanya itu. Pelarungan dilakukan dengan cara seksama sehingga jenazah tidak mengambang di atas air. Salah satu cara yang banyak digunakan adalah menggunakan peti atau pemberat agar jenazah tenggelam. Upacara dan pelarungan juga harus didokumentasikan, baik dengan rekaman video atau foto sedetail mungkin.

Dugaan perbudakan

Edhy menyatakan KKP akan fokus pada dugaan adanya eksploitasi tenaga kerja atau perbudakan yang tidak sesuai hak asasi manusia. Oleh karenanya, ia akan menyampaikan laporan dugaan eksploitasi ke otoritas pengelolaan perikanan di laut lepas.

“KKP akan segera mengirimkan notifikasi ke RFMO (Regional Fisheries Management Organization) untuk kemungkinan perusahaan atau kapal mereka diberi sanksi,” ungkap dia.

Hal ini, kata Edhy, didasari atas dugaan perusahaan yang mengirimkan ABK Indonesia tersebut telah melakukan kegiatan yang sama beberapa kali. Perusahaan itu juga terdaftar sebagai authorized vessel di 2 RFMO yaitu Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). 

Mengenai ABK yang selamat dan kini berada di Korea Selatan, Edhy memastikan pemerintah akan meminta pertanggungjawaban perusahaan yang merekrut dan menempatkan mereka. Bentuk pertanggungjawaban tersebut antara lain, menjamin gaji dibayar sesuai kontrak kerja serta pemulangan ke Indonesia. 

"Kami juga akan mengkaji dokumen-dokumen para ABK kita. Termasuk kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani,” sebutnya.

Sebelumnya, MBC News memberitakan terdapat tiga WNI yang merupakan anak buah kapal (ABK) meninggal dunia di kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604 milik China. Penyebab meninggalnya ABK di kapal nelayan milik China tersebut karena perbudakan. Para anak buah kapal asal Indonesia ini diduga diwajibkan bekerja yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia.

Kasus yang dilaporkan oleh stasiun televisi MBC ini ramai diketahui oleh masyarakat Indonesia, setelah seorang Youtuber bernama Jang Hansol yang fasih berbahasa Indonesia, dalam akun Korea Reomit, menjelaskan kronologi pemberitaan tersebut.

Setelah menonton tayangan berita MBC, Hansol menyatakan ada eksploitasi kepada pekerja termasuk ABK WNI tersebut. Mereka, kata Hansol, diwajibkan bekerja selama 18 jam per hari. 

Kemudian, mereka hanya mendapat enam jam untuk istirahat sekaligus jam untuk makan. Selama berada di dalam kapal, para ABK tak mendapatkan air minum yang layak. Mereka hanya dapat meminum air laut yang difiltrasi.

Paspor para ABK disita, sehingga tidak bisa melarikan diri. Tak hanya itu, ABK yang bekerja di laut selama 13 bulan ini hanya menerima gaji 140 ribu won atau sekitar Rp1,7 juta. 

Akibatnya, tiga nyawa ABK melayang karena terserang penyakit dalam kapal di tengah lautan tersebut. Mereka adalah Ari (24 tahun), Al Fatah (19 tahun), dan Sepri (24 tahun). Jenazah ketiga ABK ini tak dibawa menuju daratan, melainkan dilarung ke lautan lepas. 

Hal ini terekam dalam video yang ditayangkan MBC dengan keterangan video diambil pada 30 Maret 2020 di Samudera Pasifik bagian barat.