Usulan Masa Jabatan Presiden Tiga Periode Ibarat Menampar Wajah Jokowi
Presiden Joko Widodo (Twitter @Jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Polemik soal penambahan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode lewat amandemen UUD 1945 akhirnya dijawab oleh Presiden Joko Widodo. Dirinya mengaku tak setuju dengan adanya penambahan masa jabatan tersebut.

Tak hanya itu, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut merasa siapa pun yang mengusulkan hal tersebut sama saja menampar wajahnya secara tidak langsung.

"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin, 2 Desember.

Sejak awal, Jokowi mengatakan dia sudah meminta agar amandemen UUD 1945 yang akan dilakukan hanya fokus pada masalah GBHN. Hanya saja, belakangan wacana itu melebar ke masalah pemilihan dan masa jabatan presiden. Termasuk, pengusulan masa jabatan hingga 15 tahun.

Selain itu, ada juga usulan agar presiden kembali dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan usulan agar satu periode jabatan presiden bukan lagi lima tahun, melainkan delapan tahun.

Berkaca dari usulan-usulan yang melenceng tersebut, Jokowi lantas memutuskan agar amandemen UUD 1945 tak perlu dilakukan. "Kan ke mana-mana seperti yang saya sampaikan. Jadi lebih baik, tidak usah amandemen," tegasnya.

"Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang bukan sesuatu mudah untuk diselesaikan," imbuhnya.

Sementara di lokasi berbeda, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan polemik soal amandemen UUD 1945 yang menyangkut soal jabatan presiden merupakan domain MPR.

Hanya saja, sebagai Menkopolhukam dia akan terus menjaga stabilitas dalam negeri. Untuk itu, masalah substansi dia tak ingin terlibat di dalamnya.

"Tak boleh menteri bicara dua periode, tiga periode. Kan itu keputusan partai politik dan MPR," tegas Mahfud kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 2 Desember.

Sebelumnya, wacana penambahan masa jabatan presiden menghangat di publik. Wacana ini muncul seiring dengan rencana amendemen terbatas UUD 1945, hanya tentang menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). 

PDI Perjuangan menjadi yang paling ingin menghidupkan kembali GBHN, sedangkan yang mewacanakan soal masa jabatan adalah Partai NasDem. Partai yang dipimpin Surya Paloh ini ingin masa jabatan presiden jadi tiga periode.

Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR Saat Mustofa mengatakan, wacana ini adalah usulan dari akar rumput mereka setelah bertanya evaluasi tentang Pemilu 2019 yang menyatukan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Namun, usulan ini masih dalam tahapan masukan dari masyarakat, bukan sikap resmi partai.

"Jadi misalnya gini, kalau kita punya seorang presiden yang baik, yang hebat, ternyata misalnya programnya belum selesai. Tiba-tiba masa jabatannya habis, kan sayang. Ketika berganti akan ganti kebijakan, kesinambungannya kan terhenti," kata Saat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 26 November.

PDI Perjuangan selaku partai yang memperjuangkan amendemen terbatas UUD 1945, tak sepakat dengan usulan Partai NasDem. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengatakan, wacana penambahan masa jabatan presiden itu akan berpotensi mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru, saat negara ini dipimpin oleh Presiden Kedua Suharto. 

"Kalau menurut saya sih itu membahayakan ya. Kembali lagi nanti kayak Pak Harto (Soeharto)," tutur Djarot yang menambahkan usulan penambahan masa jabatan presiden belum pernah dibahas di forum kerja MPR.

"MPR hanya ingin menghadirkan pokok-pokok haluan negara, yang lain-lain itu enggak ada," tambah Ketua Badan Pengkajian MPR itu.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Arsul Sani (PPP) menambahkan, pembahasan penataan sistem presiden yang sedang dilakukan di MPR, sama sekali tak membahas wacana penambahan masa jabatan presiden. 

Sekjen PPP ini menambahkan, partainya dan sembilan fraksi partai politik yang ada di MPR, justru tidak ada yang setuju dengan penambahan masa jabatan presiden. Mereka tetap mendukung sistem yang selama ini sudah berjalan, yaitu presiden dipilih maskimal dua periode, dengan lama masa jabatan selama lima tahun