Gelagar Riwayat Petasan di Bulan Ramadan
Manusia petasan (Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sulit memisahkan bulan suci Ramadan dan tradisi menyalakan petasan. Keduanya saling berkaitan. Hal itu dapat dilirik dari aktivitas menyalakan petasan sebagai opsi yang dipilih oleh anak-anak muda seluruh Indonesia guna menyemarakkan bulan yang penuh berkah ini. Sehingga, wajar saat Ramadan tiba, petasan mulai dijual oleh pedagang kaki lama pinggir jalan, hingga memenuhi etalase pertokoan.

Setali itu, semangat kebanyakan generasi muda yang dikenal menggebu-gebu, tak jarang menyemarakkan masuknya bulan suci tersebut lewat dar-der-dor suara petasan. Bagaimana tidak, alangkah sepinya Ramadan jikalau tanpa kehadiran gelagar suara petasan.

Entah diperuntukkan guna membangunkan orang-orang untuk lekas sahur, menanti beduk magrib tiba, hingga sebagai selebrasi penyambutan hari Lebaran. Karenanya, sekalipun tradisi ini terhitung berbahaya dan bukan berasal dari syariat Islam, nyatanya tradisi ini dapat dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia dan telah hadir semenjak dulu kala.

Salah satu bukti terkait gambaran pengalaman bermain petasan zaman kolonial, turut dihadirkan oleh jurnalis lawas Indonesia, Muhamad Radjab dalam otobiografinya berjudul Semasa Kecil di Kampung 1913–1928 (1950). Baginya, bulan puasa akan terasa istimewa jika terdapat tradisi menyalakan petasan.

“Petama-tama tidak usah ke sekolah lagi sebulan itu; setiap hari boleh bermain-main sesuka kami, siang dan malam, memasang petasan dan meriam betung. Di kampung-kampung sudah jadi kebiasaan petasan bulan puasa saja dipasang orang-orang.”

Dirinya juga menuturkan, jikalau pada awal-awal bulan Ramadan penjual petasan biasanya masih sedikit. Namun, lama-kelamaan berkembang seiring semakin dekatnya hari Lebaran. “… Makin dekat Lebaran semakin banyak orang menjual petasan," tertulis.

"Inilah yang menghiburkan dan meramaikan. Uang saku yang diperoleh dari orang tua dibelikan petasan, yang dipasang dengan hemat, atau dibelikan minyak tanah untuk pemasangan meriam betung.”

Beda Radjab, beda pula pengalaman yang terucap oleh bocah kecil bernama Kusno di Mojokerto. Saat itu, menjelang lebaran tiba, Kusno hanya dapat mengintip orang-orang bermain petasan lewat lubang kecil dari dinding bambu di kamarnya.

Alhasil, hatinya menjadi sedih sehingga Kusno berucap: Ini tidak adil. Mengapa kawan-kawanku bisa membeli petasan, sedangkan aku tidak?

Tambah pilu lagi hati Kusno, ketika dari tahun ke tahun, ia tak bisa bermain petasan --mercon--bersama teman-temannya. Namun, giranglah Kusno saat salah seorang kenalan bapaknya memberikan hadiah kepada petasan kepadanya. Itulah hadiah yang sangat bermakna, yang pernah diterimanya semasa hidup. Sampai-sampai, dirinya tak bisa melupakan hadiah petasan itu.

Saat ini, orang-orang mengenal bocah kecil bernama Kusno, tak lain adalah Soekarno, seorang proklamator dan Presiden Pertama Indonesia. Pangalaman masa kecil Bung Karno bermain petasan ialah cerita yang telah diabadikan oleh S. Kusbiono dalam Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia (2003).

Oleh sebab itu, cerita Bung Karno menjadi bukti otentik betapa petasan telah menjadi permainan yang lazim dimainkan oleh anak-anak selama Ramadan dan Lebaran. Sebab, hingga kini tradisi tersebut masih terjaga, sekalipun sering kali membuat orang kaget.

Eksistensi petasan

Zeffri Alkatiri dalam bukunya berjudul Jakarta Punya Cara (2012) menuturkan terkait tradisi petasan yang awalnya dibawa oleh orang China ke Batavia. Buktinya, sampai hari ini tradisi menyalakan petasan masih melenggang langgeng digunakan dalam berbagai ritual orang China, seperti Sin Cia dan Cap Go Meh.

Walau kini di berbagai daerah telah banyak melarang tradisi bermain petasan karena masuk dalam kategori hal yang membawa seribu kemubaziran. Justru, hal berbeda akan didapat kala melihat eksistensi petasan pada era kolonial yang menyakini tradisi tersebut dapat menunjukkan nilai atau kekayaan seseorang.

“Di zaman kolonial tradisi membakar petasan juga ramai dilakukan, khususnya dibakar pada hari Natal, tahun baru, Lebaran dan di beberapa hari ritual masyarakat China Betawi. Tradisi membakar petasan juga dapat menunjukkan gengsi seseorang. Sebab, semakin banyak sampah bekas bakaran petasan di rumahnya, semakin dianggap kaya atau semakin menunjukkan kemampuan modal mereka,” tutur Zeffry.

Atas dasar itu, petasan yang awalnya dikenalkan oleh orang China, perlahan tapi pasti mulai digemari juga oleh masyarakat Betawi pinggiran guna merayakan momen-momen bersejarah dalam kehidupan. “… Betawi pinggiran melakukannya untuk keperluan khinatan, perkawinan, dan terkadang untuk juga memberangkatkan haji,” sambungnya.

Hal itu dibenarkan oleh Tokoh Muda Betawi, Masykur Isnan. Menurutnya tradisi petasan dalam masyarakat Betawi telah mengadopsi konteks asal muasal petasan dari China dalam hal untuk mengusir hal-hal tidak baik. Oleh masyarakat Betawi, makna petasan di modifikasi menjadi suatu bentuk dari rasa syukur.

“Dalam masyarat Jakarta –Betawi-- petasan punya arti tersendiri sebagai perwujudan rasa syukur dan simbol dari status sosial. Perihal dampak positif maupun negatif dari petasan sendiri sangat kasuistik, artinya sangat situasional, asalkan bertanggung jawab maka tradisi tersebut akan tetap lestari di mata masyarakat Betawi umumnya,” Ucap Masykur Isnan kepada VOI, Selasa 28 April.

Meski begitu, perbedaan pandangan tetap hadir antara generasi tua dan muda. Generasi tua sering kali menganggap suara petasan mengganggu karena merusak hakikat Ramadan yang berarti ketenangan. Sementara, generasi muda menganggap hal itu merupakan aktivitas yang seru nan menantang.

Melihat Fenomena tersebut, Rektor Institut Sosial dan Budaya (IISBUD) Sumbawa Besar Miftahul Arzak, yang dihubungi VOI beberapa waktu lalu, mengungkap hal itu sebagai perbedaan sudut pandang saja antara anak muda yang jiwanya masih mencari hiburan. Sementara generasi tua selalu mengedepankan khusyuknya beribadah.

“Pada bulan Ramadan, kegiatan menyalakan petasan kadang dikaitkan dengan anak muda, sementara kegiatan ibadah telah menjadi label orangtua. Atas kemarahan para orang tua terhadap anak muda yang menyalakan petasan, dapat disimpulkan bahwa orang tua tak mau khusyuknya ibadah Ramadan menjadi terganggu,” tutup Miftahul.