Setelah Pandemi COVID-19 Berakhir, Ekonomi Indonesia Diperkirakan Kembali Pulih Tahun 2022
Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Selain menyebabkan mandeknya berbagai bidang usaha, wabah COVID-19 juga berpotensi mengubah tatanan ekonomi dunia yang ditandai dengan berubahnya peta perdagangan dunia. Kinerja perdagangan global dipastikan akan terganggu akibat lambatnya perbaikan kinerja manufaktur, khususnya di China hingga menjelang semester pertama tahun ini.

Ditambah dengan jalur distribusi logistik yang juga terganggu, dampak negatif mau tak mau akan menerpa ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Kesimpulan ini didapatkan Pusat Kajian Visi Teliti Saksama (VTS) melalui riset kajian berjudul ‘Limbung Roda Terpasak Corona’.

Menurut uji simulasi pandemi dengan model sistem dinamik oleh peneliti Visi Teliti Saksama, M. Widyar Rahman, pandemi corona virus di Indonesia diperkirakan akan reda pada awal Juni 2020. Lantas, jika wabah COVID-19 di Indonesia diperkirakan baru bisa mereda pada Juni 2020, bagaimana dengan pemulihan ekonomi Indonesia? 

"Tentunya proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, setidaknya sampai akhir 2021," kata Widyar, dalam keterangan tertulisnya, Senin 27 April. 

Menurut analisis Widyar, pandemi tidak akan bertahan bertahun-tahun di Indonesia. Melalui peran aktif seluruh warga negara, penurunan jumlah kasus COVID-19, seharusnya dapat lebih cepat dari perkiraan model tersebut. Namun, hal ini tetap dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil pemerintah dalam upaya menekan penyebarannya.

"Kami memperkirakan, peningkatan permintaan barang dan jasa akan terjadi di bulan Ramadan dan Idulfitri, meski tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, sedikit kenaikan permintaan ini belum cukup untuk mengkompensasi cedera pada industri," tuturnya. 

Pasalnya, pemenuhan stok yang seharusnya dilakukan dua sampai tiga bulan jelang Ramadan tidak bisa terpenuhi akibat impor yang mandek. Melihat dampaknya yang masif, kerugian yang ditimbulkan pandemi COVID-19 tentu tidak main-main. 

"Jika dibandingkan wabah SARS 2002-2003 yang juga berasal dari China, dampak negatif dari merebaknya COVID-19 terhadap perekonomian akan jauh lebih luas," lanjutnya.

Dalam kaitan analisa dampak ini, Visi mengumpulkan berbagai informasi untuk memperkirakan dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Adapun studi dilakukan di bulan Februari hingga awal Maret. Analisa yang dilakukan berawal dengan melihat hubungan ekonomi antara Indonesia dengan China, sebagai episentrum awal penyebaran virus.

Dalam lima tahun terakhir, China selalu menempati tiga besar mitra dagang utama Indonesia. Malahan, sejak tahun 2014, China merupakan negara asal impor dengan nilai terbesar bagi Indonesia.

Berdasar kategori barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal sepanjang Januari hingga Desember 2019, makin kentara ketergantungan Indonesia terhadap China. Dari ketiga kategori barang yang diimpor oleh negara ini, sebanyak 37 persen barang konsumsi, 25 persen bahan baku penolong, dan 44 persen barang modal jelas diimpor dari China.

Dalam hal investasi langsung, selama rentang lima tahun terakhir (2016-2019), Indonesia menerima aliran investasi China sebesar 13,2 miliar dolar AS atau peringkat ketiga terbesar bagi Indonesia.

Selain di bidang investasi, China juga memiliki peran besar dalam sektor pariwisata di Indonesia. Dalam kurun 8 tahun, turis China meningkat jumlahnya sebanyak 309 persen, yaitu dari 511 ribu pada tahun 2010 menjadi 2,14 juta pada tahun 2017.

Stok Bahan Baku

Peneliti Senior Visi, Sita Wardhani menuturkan, dari sisi produksi, rata-rata produsen dalam negeri memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pada bulan-bulan tersebut belum juga ada pasokan dari China atau hanya terpenuhi sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terhambat. 

"Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif di bulan April," kata Sita.

Ada sedikit harapan dari rilis Biro Statistik Nasional (NBS) China soal Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Manager Index/PMI) resmi China yang naik menjadi 52 pada Maret 2020. Pada bulan Februari, ketika pandemi meninggi, PMI China hanya 35,7, rekor terendah yang pernah dialami China. Untuk informasi, angka di atas 50 menunjukkan, industri mengalami ekspansi. Sebaliknya, angka di bawah 50 menggambarkan kondisi kontraksi.

Masih menurut NBS, industri China memperoleh pemasukan 370,66 miliar yuan atau 52,43 miliar dolar AS pada Maret 2020. Nilai tersebut turun 34,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan melanjutkan tren di Januari-Februari yang tercatat turun 38,3 persen.

Setidaknya, menurut NBS ada delapan dari 41 sektor industri yang disurvei mencatat kenaikan laba pada Maret. Kondisi ini lebih baik dibandingkan Januari-Februari yang mencatat hanya empat sektor mengalami kenaikan laba.

Tapi, hal ini diyakini belum menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi. Pasalnya, di tengah biaya produksi yang makin tinggi karena terganggunya jalur distribusi, permintaan pasar juga belum sembuh sepenuhnya. Apalagi, ada penurunan permintaan impor dari negara lain, termasuk Indonesia.

"Namun jika masa pemulihan yang dialami China lebih lama lagi, asumsi China baru berproduksi kembali di bulan Juni, artinya proses impor baru bisa dilakukan di bulan Juli. Dengan begitu, dampak resesi yang dihadapi Indonesia akan lebih dalam lagi," cetusnya.

Selain dialami industri mamin, lanjutnya, gangguan lebih dalam juga bakal dialami industri manufaktur lain. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini akan membawa inflasi yang lebih tinggi karena industri manufaktur tidak mampu memenuhi permintaan dan memicu terjadinya shortage ataukelebihan permintaan.

Di sisi lain, dengan inflasi yang tinggi, tentu rumah tangga akan menurunkan konsumsinya. Padahal kontribusi terbesar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini adalah konsumsi rumah tangga.

"Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk lebih jauh," tutur Sita.