Dilema Masyarakat di Tengah Upaya Pemberantasan Narkoba
Ilustrasi lembaga pemasyarakatan atau Penjara (ErikaWittlieb/PIxabay)

Bagikan:

JAKARTA - Narkotika tidak hanya menjadi momok menakutkan untuk masyarakat. Namun, juga menjadi masalah yang pelik bagi pemerintah dalam memberantas peredarannya di bumi pertiwi ini. Salah satu kendalanya adalah over capacity lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Kementerian hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dalam rapat kerja dengan komisi III beberapa waktu lalu, mengusulkan untuk menganti kurungan badan bagi narapidana narkotika dengan rehabilitasi. Salah satu tujuannya untuk mengurangi over capacity lembaga pemasyarakatan (Lapas). Sebab, 47 persen penghuni lapas karena kasus narkotika.

Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir menilai, upaya pemerintah mengurangi over capacity lapas dengan merehabilitasi napi narkotika merupakan suatu dilema.

"Ini dilema. Nanti kalau semua direhabilitasi penuh lagi lapas dan rutan. Seharusnya pencegahannya yang diperkuat. Operasi lah terus, jangan angin-anginan seperti mau tidak mau," ucapnya, saat dihubungi VOI, Senin, 2 Desember.

Menurut Mudzakir, dengan terus melakukan razia akan memperkecil ruang gerak para bandar untuk mengedarkan barang haram tersebut. Secara otomatis pemakai pun akan kesulitan mencari mendapatkan barang tersebut.

"Jangan beri ruang sedikit pun. Lakukan terus, setiap hari. Sehari mungkin tiga kali, agar tidak ada juga jual beli informasi. Penegak hukum di sini harus sungguh-sungguh niat untuk memberantas peredaran narkotika," tuturnya.

Bagi Mudzakir, tidak akan efektif pemberantasan narkotika jika peredarannya tidak dihentikan. "Semuanya sudah dicegah, tetapi pasarannya masih ada. Katakan lah masih mudah didapat ya sulit," jelasnya.

"Lakukan operasi, berantas pasarannya. Maka pengadilan dan penjara akan sepi. Jadi yang harus diperhatikan mencegah bagaimana peredaran itu. Jangan bangga aparat penegak hukum jika berhasil menangkap, harusnya malu. Barang tersebut bisa masuk ke negara kita," sambungnya.

Masalah narkotika tidak bisa hanya ditangani oleh satu kementerian. Setidaknya, kata Mudzakir, kementerian terkait harus ikut turun. Seperti Kemenpora dan Kemendikbud.

"Kemeterian pemuda harus bisa mengalihkan orang jualan (narkotika), buat lah sesuatu program untuk mengalihkan pikir pemuda dari narkotika. Kemudian kementerian pendidikan sosialisaikan lagi bahayanya," katanya.

Pemerintah, kata dia, juga bisa membuat suatu tempat untuk menyembuhkan kecanduan narkotika. Jadi tidak harus dengan mengirimkan mereka pada rumah sakit untuk menjalani rehabilitasi.

"Buat lah panti rehabilitasi. Harus gratis. Sehingga orang yang terkena narkotika tidak harus berhadapan dengan kepolisian cukup saja berhadapan dengan panti tersebut," tuturnya.

"Syaratnya jangan diberi label-label tertentu sehingga mereka tidak mau ke sana. Dulu pernah ada pesantren untuk rehabilitasi. Jadi kan orang masuk sana image-nya bagus. Jadi santri, padahal di dalam mereka menjalankan rehabilitasi," jelasnya.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi NasDem, Taufik Basari menilai saat ini terdapat kebutuhan untuk mengedepankan pendekatan harm reduction dalam menangani kasus narkotika.

Pendekatan ini, kata dia, untuk mengurangi dampak buruk penggunaan narkotika dengan memperkecil ketergantungan para pengguna narkotika melalui pengobatan atau rehabilitasi bukan dengan dengan pemidanaan badan.

"Sudah saatnya pemerintah berani mengambil pilihan politik hukum untuk menjadikan persoalan pengguna atau pecandu narkotika sebagai masalah health problem, tidak lagi semata criminal problem," ujar Taufik.

Menurut dia, para pecandu yang sudah terlanjur menjalani pidana badan bisa mendapatkan amnesti massal untuk diubah hukumannya menjadi rehabilitasi. Jika hal tersebut dilakukan, jumlah penghuni Lapas dan Rutan dapat berkurang dan sebagian permasalahan kelebihan kapasitas dapat tertangani.

"Persoalan kelebihan kapasitas lapas dan rutan merupakan persoalan yang sudah menahun tanpa penyelesaian, perlu terobosan dan strategi baru," jelasnya.

MenkumHAM Yasonna Laoly (Mery Handayani/VOI)

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam rapat kerja dengan Komisi III membahas kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang sudah terlalu penuh, pada Kamis, 28 November. Berdasarkan pemaparannya, pertumbuhan penghuni dengan kapasitas data overcrowding tahun 2015-2019 mencapai 105 persen.

Artinya ada sekitar 268.361 narapidana dalam satu lokasi lembaga pemasyarakatan. Padahal penambahan hunian pertahun sekitar 2.700 hunian dengan perbandingannya adalah 7.5:1.

Dari jumlah tersebut, Yasonna menerangkan, 47 persen penghuni lapas berasal dari kasus narkotika. Dari 123.337 penghuni Lapas yang berasal dari kasus Narkotika, sejumlah 44.707 penghuni atau 33 persennya merupakan kasus pengguna narkotika.

Yasonna menjelaskan bahwa di beberapa negara sudah terdapat pandangan bahwa persoalan pengguna narkotika sudah dijadikan health problem, bukan lagi criminal problem.

"Karena itu ada gagasan untuk mengeluarkan kebijakan amnesti massal terhadap pengguna narkotika yang telah menjalani pidana selama waktu tertentu dan mengirimkannya ke pusat rehabilitasi," ujar Yasonna.

Selain itu, kata dia, ini juga sebagai bentuk keadilan terhadap masyarakat kecil. "Artis kena kasus narkotika langsung direhab. Contohnya Nunung. Jadi kita mau ini juga berlaku untuk semua mayarakat," tuturnya.