Senin di Pasar Senen
Pasar Senen tempo dulu (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Membahas pasar-pasar di Jakarta, tentu kurang lengkap jika tak menyertakan Pasar Senen sebagai salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Tanah Air. Sebab, bukan perkara aktivitas jual-beli saja yang membuat perniagaan hidup, melainkan sejarah yang dikandung oleh Pasar Senen pun telah menjadi pembeda dari pasar-pasar yang lainnya.

Pembeda itu terletak dari posisi Pasar Senen yang menjadi saksi perjalanan Ibu Kota Republik Indonesia dari bernama Batavia, hingga berganti nama menjadi Jakarta. Hal itu diawali dari ketertarikan seorang konglomerat kaya raya di Batavia bernama Yustinus Vinck. Dirinya terbuai dengan sebuah kawasan yang dipenuhi tanah pertanian nan subur milik anggota dewan Hindia, Cornelis Chastelein.

Atas ketertarikan itu, singkat cerita, Vinck membeli kawasan tersebut seharga 39.000 ringgit pada 1733. Setelahnya, Vinck kemudian terpikir untuk menjadikan sebagian tanahnya tersebut menjadi dua buah pasar --Pasar Tanah Abang d Pasar Senen-- yang dibangun pada 1735.

Seperti yang diungkap oleh Zaenuddin HM dalam bukunya berjudul Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe (2018). Pada perkembangannya, orang-orang Belanda di Batavia menyebut Pasar Senen dahulu sebagai Vinckpasser (Pasar Vinck). Sedangkan, karena pelafalan yang agak sulit, masyarakat pribumi malah lebih mengenal pasar ini sebagai Pasar Senen karena bukanya hanya setiap hari Senin.

Hal itu sesuai dengan banyaknya sejarah pasar di Jakarta yang hanya buka pada hari tertentu. Semisal, hari Senin jatah Pasar Senen, hari Selasa miliki pasar yang sekarang dikenal sebagai Pasar Koja, Rabu untuk Pasar Rebo --kini menjadi Pasar Induk Kramatjati, Kamis jatah Mester Passer --kini Pasar Jatinegara, hari Jumat jatah Pasar di Lebak Bulus, Pasar Klender, dan Pasar CImanggis, hari Sabtu jatah Pasar Tanah Abang, serta hari Minggu untuk pasar di tanah partikelir Tanjung Osst yang kini dikenal sebagai Pasar Minggu.

Pasar Senen tempo dulu (Wikimedia Commons)

Terkenal sejak dulu

Masyhurnya Pasar Senen pun sempat diungkap oleh Jurnalis Senior Alwi Shahab dalam bukunya berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006). Saking menariknya Pasar Senen sebagai pusat perniagaan baru yang buka hanya pada hari Senin, Alwi mengajak khalayak menikmati lukisan dari prajurit VOC, Johannes Rach pada tahun 1770 berjudul Pasar Snees.

“Tak ada yang mengira, inilah situasi Pasar Senen pada 236 tahun yang lalu. Pasar Senen yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Tanah Air, bangunannya masih merupakan dari bambu beratapkan rumbia. Pelukis Rach memberi judul pasar Snees,” tulis Alwi.

Asal kata Snees merupakan sebutan orang Belanda terhadap orang China pada masa itu. Bagaimana tidak, kebanyakan orang yang berjualan pada saat itu pun memang orang keturunan China. Bahkan sampai tahun-tahun berikutnya, mereka juga yang paling banyak memiliki kios di dalam pasar.

Seorang pedagang di Pasar Senen (Wikimedia Commons)

Saat pasar tersebut sudah diambil alih oleh Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus Van der Parra yang memerintah dari 1761 hingga 1775, jumlah kios dan bangunan di dalam pasar sudah berjumlah 228 bangunan yang terbuat dari bambu. Sisanya, terbuat dari atap rumbia dengan jumlah 139 bangunan.

Pasar Senen yang awalnya buka hanya pada hari Senin, atas permintaan banyak orang, akhirnya jadi dibuka pula pada hari Jumat. Hingga, sampai pada tahun 1766, Pasar Senen mulai buka setiap hari yang bertahan hingga era kekinian.

Tempat kumpul pesohor negeri

Pada akhir 1930-an, Pasar Senen tak hanya dikenal sebagai pusat perniagaan, melainkan sudah menjadi titik temunya para intelektual muda atau pejuang bawah tanah, seperti A.K. Gani dan Chairul Saleh. Hal itu diungkap oleh Misbach Yusa Biran yang menulis buku Keajaiban di Pasar Senen (1971).

“Pada mulanya, para mahasiswa pejuang itu datang ke Senen untuk menjual buku ke toko buku loak ‘Nasution’ di belakang Bioskop Grand atau membeli buku di situ. Maklum, keuangan mereka menjadi minim akibat banyak dipakai untuk membiayai berbagai pertemuan dan kegiatan perjuangan lainnya. Akhirnya, sekitar toko buku itu menjadi rendezvous mereka,” tertulis.

“Di masa pendudukan Jepang, 1942–1945, Pasar Senen juga menjadi tempat persinggahan para seniman, karena penyair Chairil Anwar sering muncul disitu,” tambah Biran.

Benar saja, kemunculan Chairil Anwar turut diabadikan oleh Sergius Sutanto dalam novel berjudul Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta (2017). Dalam buku yang mengulas perjalanan seniman yang dikenal dengan puisi Binatang Jalang itu merekam kembali masa-masa di mana pelopor angkatan 45 masih mengakrabi Pasar Senen.

“Matahari hampir tenggelam. Jalanan di timur Harmonie sudah mulai lengang. Langkahku menyusuri Waterlooplein (Lapangan Banteng) menuju ke Jalan Gunung Sahari dan akhirnya tiba di Pasar Senen, sebuah kawasan yang cukup kuakrabi semenjak berumah tak jauh dari situ. Daerah ini merupakan hunian kaum pendatang, termasuk dari Sumatra Barat, kampung ibuku. Toko-toko dan deretan rumah bergaya kolonial dan pecinan berjajar di kiri-kanan. Banyak penjual makanan di pinggir jalan,” ditulis Sergius Sutanto.

Setali dengan itu, ketenaran Pasar Senen menjadi inspirasi dalam beberapa cerpen dari sastrawan S.M. Ardan yang dikumpulkannya dalam buku berjudul "Terang Bulan Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta" (2007). Salah satunya terdapat dalam cerpen berjudul Bulan Menyaksikan.

“Di langit, bulan penuh. Awan tipis di sana-sini. Senen mulai dengan lalu lalang manusia dan kesibukan kendaraan. Di seberang Bioskop Grand berderet becak-becak dengan sopir-sopirnya yang menanti muatan. Tak jauh dari deretan itu, Masenun menghadapi dagangannya; sebuah peti kecil, botol-botol, sebuah bekas kaleng mentega; yang semuanya penuh minyak. Juga tangan Masenum,” tutup Ardan.