Masih Ada 1,3 Juta Orang Nekat Mudik, Daerah Bisa Terancam Jadi Episentrum Baru COVID-19
Suasana orang berangkat mudik di Stasiun Pasar Senen. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah daerah terancam jadi episentrum baru penyebaran virus corona atau COVID-19. Ancaman itu sudah di depan mata, jika arus mudik pada Lebaran 2020 ini tidak bisa terbendung.

Karena itu, pemerintah diminta untuk menahan masyarakat yang ingin mudik. Sebab, tercatat ada 1,3 juta orang yang bersikeras nekat melakukan kegiatan rutin kala menjelang lebaran tersebut.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono menjelaskan, transportasi dan mobilisasi itu berpotensi menyebarkan wabah COVID-19. Sebab, jika dilihat, asal muasal dari penyebaran virus tersebut, tak lain tak bukan menurutnya berawal dari transportasi.

"Sektor transportasi dianggap sebagai penyebab prima dari penularan virus COVID-19," tuturnya, dalam video conference bersama wartawan, di Jakarta, Selasa, 14 April.

Agus mengatakan, ancaman penyebaran COVID-19 ini dapat bisa dilihat dari asal dan tujuan mudik. Khusus untuk calon pemudik dari Jabodetabek, ada beberapa daerah tujuan dengan porsi terbesar.

Calon pemudik asal Jabodetabek, diprediksi 13 persen akan mudik ke Jawa Barat (Jabar), 41 persen ke Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), serta 20 persen ke Jawa Timur (Jatim). Adapun yang ke luar Jawa, ia menyebut setidaknya 8 persen calon pemudik bakal ke Sumatera meliputi Lampung dan Sumatera Selatan.

"Inilah yang perlu dilihat dampak dari mudik, itu terutama di Jateng, DIY, Jatim, Jabar. Ini nanti sebagai daerah-daerah ODP atau penularan-penularan baru, daerah wabah baru kalau mudik ini tidak ditangani pemerintah. Ini gambarannya," tuturnya.

Berdasarkan hasil polling Kementerian Perhubungan (Kemenhub), sudah ada 900 ribu warga Jabodetabek yang mudik lebih awal. Sisanya, yang masih berada di Jakarta menjadi 2,6 juta calon pemudik. Dari jumlah itu, sebagian memang terikat aturan dan dimungkinkan besar tidak akan mudik.

"Dengan adanya inpres bahwa TNI polri BUMN maupun BUMD, PNS/ASN, dan semuanya yang jadi aparatur negara yang terikat dengan aturan itu dilarang mudik. Dari data jumlahnya separuh dari 2,6 juta. Saat ini ada 1,3 juta masih berpotensi ingin mudik, atau belum memutuskan," tuturnya.

Agus menyatakan, banyak masyarakat yang nekat mudik di tengah wabah virus COVID-19 lantaran hal tersebut merupakan budaya tahunan. "Kemudian ada yang nekat mudik gara-gara tidak ada masukan biaya hidup, ini pasti nekat mudik," katanya.

"Lalu ada juga yang bersikeras mudik karena permintaan orang tua dan keluarga. Orang-orang ini yang ada di dalam 1,3 juta itu," sambungnya.

Solusi yang Harus Diambil

Agus mengatakan, untuk mencegah nekat mudik, solusi yang bisa diambil adalah pembatasan angkutan umum beroperasi. "Karena dalam transportasi umum, orang akan bersalaman, ngobrol, dan melakukan kontak fisik lainnya," tuturnya.

"Dari hal-hal kecil mulai dari kita bertemu bersalaman, kita melakukan mobilisasi, naik sarana transportasi, berlama-lama di dalam, berkerumum, turun di pelabuhan, terminal, dan bandara. Ini adalah satu siklus yang sulit dideteksi penularannya tapi itu terjadi," lanjutnya.

Karena itu, Agus meminta calon pemudik untuk rela menunda perjalanan mudik di tengah pandemi COVID-19. Tentunya itu dilakukan dalam rangka memutus mata rantai penularan virus corona yang semakin meluas di wilayah Indonesia.

Menurut Agus, untuk menghadapi masyarakat yang ingin mudik karena tidak ada biaya untuk hidup di Jabodetabek, pemerintah dapat membantu dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) atau uang tunai.

Sementara itu, untuk yang bersikeras mudik dapat juga diberikan solusi dengan memberikan kompensasi untuk berkomunikasi virtual dengan tidak tatap muka.

Suasana di dalam kereta Bandara Soetta. (Angga Nugraha/VOI)

"Itu bisa dilakukan dengan voucher komunikasi, itu kompensasi kangen mudik. Itu lebih mudah dilakukan karena bisa dideteksi oleh teknologi, siapa saja orang yang ingin mudik dari nomor handphone-nya," jelasnya.

Selain itu, menurut Agus, perlu juga dilakukan kampanye mengingatkan masyakarat untuk jangan mau menjadi ODP demi keselamatan keluarga di kampung. Kemudian, dapat juga dijelaskan dampak jika mereka tetap nekat untuk mudik.

Menurut Agus, calon pemudik harus mengetahui kondisi di kampungnya. Sebab, di sebagian daerah sudah melarang pendatang dari daerah lain. Namun, tidak memutup kemungkinan meski mudik dilarang tapi karena ada sifat sosial yang tinggi calon pemudik masih bisa diterima di daerah tujuannya.

Jadi ODP, Fasilitas Kesehatan Belum Siap

Lebih lanjut, Agus mengatakan, jika calon pemudik sudah berhasil sampai di daerah tujuan, maka akan muncul persoalan lain yakni mereka akan menjadi ODP COVID-19.

"Kalau orang sudah capek ke wilayahnya, maka begitu pulang diberlakukan sebagai ODP, karantina 14 hari. Di mana tempatnya? Apakah setiap wilayah sudah siap? Sekarang satgas-satgas itu sudah sampai tingkat RT, apakah RT siap menerima ODP?," ucapnya.

"Kemudian, keterbatasan pelayanan, perawatan korban COVID-19 di wilayah daerah tujuan. Karena RSUD dan puskesmas itu tidak memadai peralatannya, dokternya, petugasnya, itu fakta," lanjutnya.

Agus mengatakan, jika melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut Pemda harus menyiapkan tempat isolasi untuk ODP, pemberdayaan kesiapan RT/RW, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.

Selain itu, kata Agus, Pemda meningkatkan pelayanan RSUD dan puskesmas karena kalau sudah sampai di wilayah masing-masing itu tanggung jawab bergeser, oleh Pemda.

Tak hanya itu, menurut Agus, untuk menghindari bersikeras mudik pemerintah dapat menginstruksikan SPBU untuk tidak melayani kendaraan pribadi atau kendaran dinas.

"Jadi selama nanti ditentukan pemerintah boleh mudik atau tidak, ketika diputuskan tidak mudik lebih baik SPBU tidak melayani," ucapnya.

Agus menyatakan, untuk mengatur pemberhentian ini tak cukup hanya lewat aturan yang sudah ada. Perlu aturan baru yang di dalamnya harus ada sanksi yang tegas bagi yang melanggar.

"Jika nanti diputuskan seluruh media transportasi dihentikan apakah cukup PSBB atau aturan lain. Kalau sudah gerakan nasional seperti ini perlu regulasi baru ditetapkan presiden. Ini enggak bisa kelas menteri. DPR juga enggak bisa diam saja. Ini tanggung jawab bersama," katanya.