Yasonna Laoly dan Segudang Masalah yang Tak Kunjung Ia Selesaikan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (Instagram/@kemenkumham)

Bagikan:

JAKARTA - Masih ingat pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly yang ingin membebaskan napi korupsi demi menekan angka penyebaran virus corona di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas)? Pernyataan itu cukup untuk membuat masyarakat gaduh berhari-hari. Apa jadinya kegaduhan itu jika masyarakat ingat, Yasonna sejatinya masih punya pekerjaan yang tak juga diselesaikannya sejak lama: overcapacity di penjara-penjara.

Dalam wacana yang ia lempar, Yasonna mengajukan pembebasan maling-maling uang rakyat yang telah menjalani 2/3 massa hukuman dan mereka koruptor tua yang telah berusia 60 tahun ke atas. Rencana itu niatnya direalisasikan Yasonna dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 90 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Yasonna pada tanggung jawabnya membereskan masalah kelebihan kapasitas di lapas-lapas atau pun di rumah tahanan negara (rutan) di Indonesia. Plt. Juru Bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan, tanggung jawab itu telah diembankan kepada Yasonna lewat rekomendasi yang dikeluarkan KPK kepada Kemenkum HAM dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

"Tindak lanjut yang direkomendasikan KPK adalah agar Kemenkum HAM bekerja sama dengan BNN. Dan sampai saat ini, rekomendasi ini belum dilaksanakan," kata Ipi lewat keterangan yang dikutip VOI, Rabu, 8 April.

Ketimbang repot-repot merevisi peraturan atau membuat mekanisme baru untuk membebaskan koruptor, rekomendasi KPK sejatinya lebih siap untuk dieksekusi. Lewat rekomendasi itu, Yasonna dan kementeriannya tinggal menjalani mekanisme diversi --pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke luar pidana-- untuk kasus pidana ringan dan pengguna narkoba.

Dalam rekomendasi itu, Kemenkum HAM juga diwajibkan mengoptimalisasi peran Badan Pemasyarakatan (Bapas). Rekomendasi ini pun masuk lebih masuk akal untuk dieksekusi, mengingat saat ini ada 40 ribu napi pengguna narkoba yang harusnya direhabilitasi, bukan dijebloskan ke penjara. Yasonna barangkali lupa, Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan agar pengguna narkoba diselamatkan lewat rehabilitasi.

Menkum HAM Yasonna Laoly (Instagram/@kemenkumham)

Sekilas mengenai UU 35/2009. Dalam kasus narkoba, para pengguna biasanya diancam dengan setidaknya tiga pasal, yakni pasal 111 ayat 1 tentang penyalahgunaan narkoba Golongan I berbentuk tanaman atay pasal 112 ayat 1 tentang penyalahgunaan narkoba Golongan I berbentuk bukan tanaman. Ancaman dalam kedua pasal ini sama, yakni penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.

Pasal lainnya adalah pasal 127 ayat 1 yang berbunyi: Setiap pelaku penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Sedangkan untuk pernyalah guna narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.

BACA JUGA:


Namun, ada pasal lain yang terkait, yaitu pasal 127 ayat 2 yang banyak hilang dari proses penanganan perkara penyalahgunaan narkoba. Pasal ini penting jadi pegangan para penegak hukum karena menegaskan perspektif pengguna sebagai korban penyalahgunaan yang wajib disembuhkan oleh negara. 

"Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55, dan pasal 103 UU Narkotika," termaktub. Ketiga pasal, baik 54, 55, dan 103 UU 35/2009 mewajibkan para hakim menempatkan pengguna narkoba ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial, bukan penjara. Pasal ini juga terang menegaskan posisinya sebagai pedoman yang harus digunakan oleh para hakim dalam peradilan terhadap korban penyalahgunaan narkoba.

Alasan lain

Masih banyak alasan lain tentang kenapa Yasonna tak perlu repot-repot membebaskan para koruptor. Plt. Juru Bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding melanjutkan paparan rekomendasi yang tak dipenuhi Yasonna hingga kini. Soal pemberlakuan remisi berbasis sistem, misalnya.

Lewat sistem, pemberlakuan remisi diharapkan dapat berjalan secara otomatis tanpa melalui pengajuan. "Artinya, remisi diberikan secara otomatis dan bukan melalui permohonan. Dengan catatan, napi tidak memiliki kelakuan buruk selama menjalani masa tahanan," katanya.

Rekomendasi terkait remisi itu amat penting dijalankan Yasonna karena terkait dengan permasalahan tahanan yang overstay alias menetap lebih lama. Ipi menyebut, overstay adalah salah satu masalah utama kenapa banyak penumpukan tahanan di dalam penjara. 

Ilustrasi foto di sebuah penjara (Benjamin Gremier/Unsplash)

Dalam kaitan dengan pembebasan napi korupsi sebagai langkah meminimalisir penyebaran COVID-19, sederhana saja. Jika segala rekomendasi di atas dijalankan oleh kementerian Yasonna, maka pemerintah tak akan pontang-panting menghadapi potensi penularan pandemi COVID-19 di dalam penjara.

Apalagi sampai membebaskan maling-maling macam Setya Novanto atau Suryadharma Ali, bekas menteri agama yang menilap dana pengadaan kitab suci Alquran. Bayangkan, di tahun 2018, Ipi mencatat ada 30 ribu napi yang overstay. Rahasia umum, bahwa kasus overstay biasanya terjadi karena permasalah administratif di dalam penjara.

Koruptor kasus eKTP Setya Novanto (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Dalam hitungan penuh, membereskan overstay akan mengurangi setidaknya 30 persen atau 261 ribu narapidana kepadatan di dalam penjara. Lalu, berapa jumlah napi koruptor? "Jumlahnya (napi korupsi) hanya sekitar lima ribu narapidana," kata Ipi.

Negara pun nampaknya sadar, gagasan Yasonna jauh dari masuk akal. Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung angkat bicara, mengatakan tak akan merevisi PP 90 Tahun 2012, sebagaimana rencana Yasonna. Jokowi bahkan mengatakan mengatakan, "soal napi koruptor tidak pernah kita bicarakan dalam rapat-rapat kita," kata Jokowi sebelum memimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Senin, 6 April.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD senada dengan Presiden. "Tidak ada rencana memberi remisi atau pembebasan bersyarat kepada pelaku atau kepada narapidana korupsi juga terhadap teroris. Juga tidak terhadap bandar narkoba," tutur Mahfud dalam keterangan, Minggu, 5 April.