Setitik Harapan Trump untuk Menekan Jumlah Pasien COVID-19 di Amerika
Presiden Amerika Donald Trump (tangkapan layar Twitter @WhiteHouse)

Bagikan:

JAKARTA - Amerika Serikat kini menduduki peringkat pertama, dalam jumlah pasien positif COVID-19 yang berada di luar China. Terdapat 337.274 kasus COVID-19 yang tercatat, sebanyak 9.619 dilaporkan meninggal dunia dan 17.977 berhasil disembuhkan. 

Tingginya angka kasus virus ini terjadi hanya dalam hitungan hari, sejak virus corona diidentifikasi di Pesisir Timur Amerika. Belum lagi rumah sakit yang kini penuh sesak dengan pasien yang mengeluhkan berbagai gejala COVID-19. 

Dalam masa tanggap darurat itu, Presiden AS Donald Trump meyakini jika krisis COVID-19 akan segera berakhir. "Kami mulai melihat cahaya dari ujung terowongan. Kami mulai melihat secercah kemajuan," kata Trump.

Trump menggambarkan akan adanya penurunan jumlah infeksi pasien dan kematian yang diakibatkan COVID-19 di AS. Hal ini diyakininya setelah meminta warganya untuk mempraktikan langkah-langkah social distancing untuk menekan angka penyebaran virus corona.

Meski begitu, Trump tak bisa mengelak jika akan lebih banyak jumlah kematian ketika pandemi mendekati "puncaknya" di AS. Berdasarkan data yang dipaparkan Universitas John Hopkins, Negeri 'Paman Sam' ini mencatatkan lebih dari 1.200 korban meninggal dalam 24 jam terakhir.

"Dalam beberapa hari ke depan, Amerika akan menanggung puncak pandemi ini," kata Presiden 73 tahun itu menuturkan, saat ini pihaknya sudah menerima hasil tes virus corona dari sekitar 1,67 juta orang seantero negara.

Kegelisahan Tenaga Medis di Rumah Sakit

Di sisi lain, banyak Unit Gawat Darurat (UGD) yang kewalahan karena membludaknya jumlah pasien positif corona. Melansir dari laporan eksklusif CNN, menunjukkan ada penurunan jumlah pasien yang datang ke UGD University Hospital of Brooklyn, New York, sebelum virus COVID-19 merebak. 

Kemungkinan besar, hal tersebut terjadi karena kebanyakan negara bagian di AS, kini sudah menerapkan aturan shelter-in-place (tinggal di rumah). Meski begitu jumlah pasien kritis akibat COVID-19 terus meningkat seiring dengan bertambahnya korban meninggal yang dirawat di rumah sakit.

Bahkan dokter dan perawat jaga dari praktek umum pun mulai kewalahan, karena harus menangani pasien COVID-19. Situasi ini membuat, para dokter dan perawat tidak lagi memiliki waktu jeda untuk sekedar beristirahat.

Kondisi ini diperparah dengan jumlah korban meninggal yang terus bertambah tiap jamnya. Setidaknya dalam 30 menit, para dokter harus siap untuk mengevakuasi atau mensterilkan ruangan serta peralatan medis sebelum menangani pasien selanjutnya.

Kurang lebih ada 400 orang yang harus mendapat perawatan COVID-19 di rumah sakit. 90 persen di antaranya merupakan pasien lansia, berusia di atas 65 tahun. 

"Kami juga memiliki beberapa pasien muda di usia 20-an. Jelas kami tidak terbiasa melihat hal ini dan beberapa orang menatap seribu mil, hanya menangis," kata Lorenzo Paladino, dokter UGD di University Hospital of Brooklyn, melansir CNN

Para dokter, perawat, terapis dan staf rumah sakit harus tetap bersikap tenang sembari berjuang menyelamatkan nyawa pasien. Mereka dipaksa untuk tetap terjaga, sewaktu-waktu "Kode 99" diumumkan lewat speaker rumah sakit. 

Jika mendengar pengumuman itu, mereka harus segera bergegas untuk menangani pasien COVID-19 yang sedang kritis. Biasanya kondisi pasien akan sangat memburuk saat mereka harus berjuang untuk bernapas, sekali pun dengan alat ventilator. 

Tetapi alat ventilator, bukanlah mesin ajaib yang bisa menyembuhkan pasien COVID-19. Data menunjukkan kemungkinan bertahan hidup untuk pasien COVID-19 menggunakan alat ini pun terbilang masih rendah.

"Cara itu dimaksudkan sebagai jembatan sementara selama berjam-jam, 12 jam, sampai rumah sakit dapat memberikan kita lebih banyak ventilator atau sampai persediaan datang," kata dokter Paladino di RS Broklyn.

Belum lagi jumlah alat ventilator yang tidak sebanding dengan pasien kritis COVID-19. "Kami khawatir, bagaimana jika hari itu tiba di mana kami tidak memiliki cukup ventilator. Kami tidak ingin membuat keputusan antara dua pasien yang layak mendapatkan ventilator atau menentukannya dengan koin," tukasnya.