Tak Ada Alasan untuk Menolak Jenazah Penderita COVID-19
Ilustrasi. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah sengkarut penanganan COVID-19 di Indonesia yang dinilai lamban hingga mengakibatkan banyaknya pasien positif COVID-19, kini, fenomena penolakan terhadap jenazah pasien positif corona maupun pasien dalam pengawasan (PDP) terus terjadi di beberapa wilayah.

Di Sulawesi Selatan misalnya, warga di sekitar pemakaman Pannara, Manggala, Makassar menghadang mobil ambulans yang membawa jenazah. Mobil ini dihadang setelah warga curiga dengan supir ambulans yang menggunakan alat pelindung diri (APD).

Kemudian di Jawa Tengah, warga di empat kecamatan yaitu Purwokerto Timur, Purwokerto Selatan, Kecamatan Patikraja dan Kecamatan Wangon menolak pemakaman jenazah hingga akhirnya jenazah ini dimakamkan di lahan milik Pemkab tepatnya di Desa Tumiyang, Kabupaten Banyumas.

Namun, setelah pemakanan dilangsungkan, penolakan kembali muncul dari warga. Mereka minta agar jenazah dipindahkan dengan alasan mereka khawatir dengan dampak kesehatan di tengah warga. Selanjutnya, makam ini dibongkar dan pembongkarannya dipimpin oleh Bupati Banyumas Achmad Husein.

Banyaknya penolakan jenazah ini membuat Sekretaris Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Soleh angkat bicara. Kata dia, jika protokol pengurusan jenazah sudah dilaksanakan dengan baik maka tak perlu ada kekhawatiran jenazah PDP maupun positif COVID-19 bisa menularkan penyakit mereka.

Dia juga mengingatkan, jangan sampai kekhawatiran kemudian membuat masyarakat berdosa karena tidak menunaikan kewajiban terhadap hak jenazah untuk mendapatkan pemakaman yang layak.

"Jangan sampai akibat kekhawatiran kita yang minus pengetahuan, kemudian kita berdosa karena tidak menunaikan hal kewajiban atas hak jenazah," kata Asrorun dalam konferensi pers secara virtual yang ditayangkan di akun YouTube BNPB, Sabtu, 4 April.

"Dengan melakukan penolakan pemakaman inj, berarti dosa dua kali. Dosa yang pertama tidak menunaikan kewajiban atas jenazah dan kemudian, yang kedua, menghalang-halangi pelaksanaan penunaian kewajiban terhadap jenazah," imbuhnya.

Dari sisi medis, Dirut RSI Jakarta Sukapura, Umi Sjarqiah menjelaskan tak ada yang perlu dikhawatirkan dari jenazah mereka yang positif COVID-19 selama pengurusannya sejak mereka dinyatakan meninggal dunia sampai dimakamkan dilakukan dengan standar protokol kesehatan yang sudah ada.

"Jenazah yang telah dilakukan penanganannya dengan baik, aman untuk dikuburkan karena virus hanya hidup di sel yang masih hidup. Sehingga, jenazah yang telah dikubur tidak menularkan virus," ungkap Umi dalam konferensi pers yang sama.

"Sekali lagi, jenazah yang sudah dikubur tidak menularkan virus," imbuh dia.

Selain itu, penguburan jenazah yang positif COVID-19 biasanya dilakukan dengan membungkus jenazah dengan plastik sebelum dililitkan kain kafan. "Kemudian dengan plastik lagi, kantong jenazah, lalu peti. Begitu susunannya," jelas Umi.

Para petugas, kata Umi, juga selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) dalam pelaksanaan pemakaman tersebut. Setelah pemakaman, petugas juga akan mendisinfeksi tubuh mereka agar terbebas dari virus.

Sehingga menurut Umi, daripada melakukan penolakan jenazah, masyarakat harusnya berfokus pada minimalisir risiko penularan virus dengan meminimalkan kontak dengan jenazah. Salah satu caranya adalah mengganti salat jenazah dengan salat gaib dan melakukan takziah secara daring.

"Karena itu jangan khawatir dan jangan panik apalagi sampai melakukan penolakan pemakaman. Lakukan perlindungan yang benar dan tanya kepada ahlinya," tegasnya.

Sama Seperti Tolak Jenazah Mati Syahid

Dalam konferensi pers tersebut, MUI, melalui Sekretaris Komisi Fatwa, Asrorun Niam juga mengatakan mereka yang meninggal dunia karena COVID-19 memiliki kemuliaan dan kehormatan. Bahkan, mereka dinilai mati secara syahid.

"Setiap muslim yang menjadi korban adalah syahid fil akhirat. Memiliki kemuliaan dan kehormatan di hadapan Allah," kata Asrorun sambil menambahkan jenazah yang beragama Islam harus diperlakukan sesuai dengan syariat tanpa mengesampingkan protokol kesehatan.

Jika tak bisa dimandikan, maka jenazah itu ditayamumkan atau langsung dikafani dan dilapisi plastik agar tak ada penularan penyakit lewat cairan.

Dengan syahidnya para korban meninggal COVID-19, maka menurut Ketua Satgas Tugas NU Peduli COVID-19, Muhammad Makky Zamzam harusnya sudah tak ada lagi penolakan terhadap jenazah tersebut.

"Ketika jenazah itu meninggal ya, dan sudah kategori syahid masyarakat harusnya berempati dan menerima jenazah. Karena jenazah itu syahid, jangan juga terjadi penolakan atau stigma terhadap petugas kesehatan atau petugas yang membawa jenazah," kata Makky.

Kalaupun ada stigma negatif, menurutnya bisa ditujukan terhadap masyarakat yang secara jelas keluarganya meninggal akibat COVID-19 tapi memaksa untuk membawa pulang ke rumah dan membuat penyebaran virus itu malah terjadi di tengah mereka.

Sedangkan bagi keluarga yang secara disiplin mengikuti aturan pemerintah dan protokol kesehatan dalam mengurusi jenazah, kata Makky, harus diberikan semangat dan motivasi.

"Karena dari proses jenazah atau pasien ini menjalani sakaratul maut, itu tidak bisa didampingi oleh keluarga. Ketika proses memandikan jenazah, bahkan disalatkan tidak didampingi keluarga. Mereka hanya mengantar dalam jarak yang cukup jauh dari pemakaman," jelasnya.

"Jangan beri stigma negatif. Sehingga keluarga juga merasa tenang, tentram dan jangan dijauhi," tutupnya.