Melihat Enam "Kewenangan Baru" Bank Indonesia untuk Atasi Dampak Ekonomi COVID-19
Gedung Bank Indonesia. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus mencari cara untuk memerangi pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia. Tak hanya memberikan stimulus insentif untuk sektor-sektor terdampak, namun menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, sebagai langkah antisipatif bersama untuk meredam dampak COVID-19, maka diperlukan Perppu. Sebab, terdapat kebijakan yang belum diatur atau melebihi kewenangan UU yang ada.

Dari Perppu tersebut, terdapat enam kewenangan baru yang diberikan kepada BI. Pertama, BI diizinkan untuk membiayai defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana.

Sebelum Perppu tersebut terbit, bank sentral tidak diperbolehkan untuk membiayai defisit fiskal yang merupakan domain pemerintah.

"Ini kan kalau normal dan selama ini kami seperti itu. Tapi sekarang tidak normal. Bahwa COVID-19 memerlukan defisit fiskal lebih besar. Maka dari itu pasar tidak semuanya bisa menyerap seluruh defisit fiskal," katanya, dalam video conference bersama wartawan, di Jakarta, Rabu, 1 April.

Namun, Perry menegaskan peran BI di pasar perdana bukan sebagai first lender namun last lender. Artinya, BI hanya bisa masuk ke pasar ketika ternyata pasar sudah tidak bisa menyerap kebutuhan penerbitan SUN/SBSN, dan menyebabkan suku bunga menjadi terlalu tinggi atau tidak rasional.

Aturan mengenai pembelian pembelian surat utang oleh BI terdapat di dalam Perppu bagian kedua kewenangan dan pelaksanaan kebijakan oleh Bank Indonesia Pasal 16 ayat (1) huruf c yang berbunyi:

"Membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara danf atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)".

"Kalau menyebabkan suku bunga terlalu tinggi, di sinilah kami bisa beli SBSN dan lain-lain. Kami akan mengawal bahwa BI sebagai last resort agar menjaga stabilitas makro ekenomi termasuk inflasi," tutur Perry.

Kedua, BI juga diberikan kewenangan untuk melakukan melakukan bailout atau memberikan dana talangan bank-bank sistemik lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Ini antisipatif, belum tentu terjadi. Untuk itu, BI diperbolehkan membeli repo surat berharga LPS. Supaya LPS bisa melakukan fungsinya," ucapnya.

Sebagai informasi, sebelumnya BI bisa memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Namun, sejak adanya kasus bailout Bank Century, opsi tersebut dihilangkan dan skema yang berlaku saat ini yakni lewat LPS dengan membeli repo surat utang LPS.

Namun, dalam kondisi pandemi saat ini, pemerintah menilai perlu ada upaya luar biasa untuk mengantisipasi potensi pemburukan di sektor keuangan.

Ketiga, memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada bank sistemik atau bank selain bank sistemik.

Kempat, memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Kelima, mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa bagi penduduk termasuk ketentuan mengenai penyerahan, repatriasi, dan konversi devisa dalam rangka menjaga kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.

"Misalnya, kewajiban bagi eksportir dalam negeri untuk kita minta mengkonversikan devisanya ke rupiah, jika memang diperlukan," ucapnya.

Perry mengatakan, ketentuan mengenai kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa tersebut akan diatur melalui Peraturan Bank Indonesia.

Terakhir, kata Perry, memberikan akses pendanaan kepada korporasi dan swasta dengan cara repo SUN atau SBSN yang dimiliki korporasi atau swasta melalui perbankan.