PSBB Beri Opsi Lebih Longgar Bagi Pemerintah Pusat Tangani COVID-19
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mempercepat penanganan COVID-19.

Aturan ini dibuat oleh Presiden Jokowi agar pemerintah daerah bisa menetapkan PSBB di wilayah mereka guna memutus rantai penyebaran virus tersebut. 

Sejumlah kalangan menganggap kebijakan ini belum maksimal dibandingkan dengan karantina wilayah yang juga diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Keluarnya kebijakan PSBB ini juga dianggap sebagai upaya tak bertanggungjawabnya pemerintah pusat terhadap pemenuhan kebutuhan pokok saat penerapan PSBB, malah menyerahkannya kepada pemerintah daerah.

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meluruskan anggapan itu. Menurutnya, pemerintah pusat serius dalam penanganan COVID-19 dengan mengeluarkan kebijakan tersebut apalagi dengan mengeluarkan program jaring pengaman sosial.

"Pemerintah pusat akan menangani dengan sangat serius. Pemerintah pusat kan mengalokasikan Rp110 triliun untuk program JPS (Jaring Pengamanan Sosial)," kata Muhadjir saat dihubungi wartawan, Rabu, 1 April.

Dia menjelaskan, penetapan PSBB ditujukan karena pemerintah jadi punya pilihan yang lebih longgar dalam memberikan bantuan selama status itu berjalan. Ini berbeda dengan karantina wilayah yang pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pokok hingga kebutuhan ternak.

"Pemerintah memiliki opsi yang lebih longgar yaitu lewat skema JPS, jaring pengaman sosial atau bansos," tegas dia.

Setelah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menunjang kebijakan PSBB.

Dalam Pasal 1 PP tersebut disebutkan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19.

Selanjutnya pada Pasal 2 PP Nomor 21 Tahun 2020 ini dijelaskan masing-masing pemerintah daerah bisa menerapkan PSBB di wilayah mereka. Dengan catatan, penerapannya harus disetujui oleh Menteri Kesehatan.

Adapun kriteria untuk melaksanakan PSBB diatur dalam Pasal 3 PP tersebut. Pembatasan bisa dilaksanakan jika dua syarat yang ada dipenuhi seperti jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Selanjutnya, Pasal 4 menjelaskan penerapan PSBB ini meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Pada Pasal 4 Ayat 2 PP ini tertulis pembatasan kegiatan yang sudah dijelaskan harus mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja dan ibadah penduduk.

Kemudian pada Pasal 4 Ayat 3 menjelaskan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum harus memperhatikan pemenuhan dasar.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta pemerintah tetap memastikan dan memberikan jaminan meski dalam Pasal 4 Ayat 3 PP Nomor 21 kata yang tertulis hanya 'memperhatikan'. Apalagi, akibat penyebaran virus ini banyak masyarakat yang terdampak secara ekonomi.

"Kami berharap, walaupun digunakan frasa 'memperhatikan' dalam PP tersebut namun dimaknai sebagai jaminan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat," tegas Choirul lewat keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.

Dia menilai, berhasil atau tidaknya kebijakan PSBB yang ditetapkan pemerintah tergantung dari pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

"Jika pembatasan ini tidak dapat memenuhi jaminan kebutuhan pokok masyarakat, dikhawatirkan kebijakan pembatasan tersebut tidak akan maksimal."