Membaca Dampak dari Penundaan Pilkada 2020 Akibat COVID-19
Kantor KPU (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri, DPR RI, KPU, Bawaslu, dan DKPP menyepakati penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 ditunda. 

Pesta demokrasi di 270 daerah tersebut batal digelar 23 September mendatang. Sebab, pemerintah harus memprioritaskan penanganan pandemi virus corona atau COVID-19. 

Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaga menyatakan, semua pihak memahami kondisi saat ini dan tak memungkinkan KPU melakukan tahapan-tahapan Pilkada.

"Khusus menyangkut tahapan teknis pilkada seperti coklit data pemilih, kampanye, dan pemungutan suara, semua itu dipastikan bakal bertabrakan dengan protokol pencegahan COVID-19 tentang physical distancing dan pembatasan sosial lainnya," kata Kastorius kepada wartawan, Selasa, 31 Maret. 

Kastorius bilang, Mendagri Tito Karnavian memerintahkan jajarannya untuk segera berkordinasi dengan kementerian terkait, utamanya dengan Sekretariat Negara, untuk mulai menyusun Perppu Pilkada 2020 sebagai perubahan atas UU 10/2016 yang mengatur Pilkada 2020. 

Terkait jadwal kelanjutan pelaksanaan Pilkada, hal ini sangat tergantung pada kondisi perkembangan pandemi COVID-19 di Indonesia. Pemerintah dan DPR masih melihat situasi selanjutnya. Ketika COVID-19 mereda, mereka akan kembali rapat membahas jadwal kelanjutan Pilkada 2020.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya tiga pilihan tanggal yang bisa digunakan sebagai hari pemungutan suara. Opsi pertama pada 9 Desember 2020 dengan masa penundaan selama 3 bulan. Opsi kedua 17 Maret 2021 dengan penundaan 6 bulan. Opsi ketiga 29 September 2021 dengan penundaan 1 tahun lamanya. 

Ketua KPU Arief Budiman menyebut, penundaan masa pemungutan suara tak begitu memberatkan kerja KPU. Sebab, tahapan yang sudah dilakukan tak dibatalkan begitu saja. Hanya ditunda. 

Namun, tentu ada dampak konsekuensi dari penundaan pilkada serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tersebut. Penundaan bakal berimbas kepada anggaran yang telah digelontorkan dan kondisi sumber daya manusia (SDM) dari penyelenggara. 

"Ada konsekuensi anggaran dan SDM. Apa yang sudah dikerjakan (dananya) sudah habis, sudah dipakai anggarannya. Kalau SDM, suatu saat dia bisa terjadi apa-apa kan, bisa meninggal. Jadi harus kita ganti lagi. Apa yang sekarang ada tahun depan, kan belum tentu ada," jelas Arief saat dikonfirmasi. 

Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Ketika pilkada ditunda, berdampak juga pada masa jabatan pimpinan daerah, sebab jabatan ini boleh lowong. Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mewanti-wanti dampak tersebut.

Status pemimpin suatu daerah yang ikut pilkada, akan berakhir pada Februari 2021. Karenanya, pemerintah harus mempersiapkan opsi pelaksana tugas (plt) atau justru memperpanjang masa jabatan kepala daerah tersebut, selagi menunggu pelantikan kepala daerah yang baru. 

"Status plt memang diperdebatkan. Kita tahu, selama ini pertimbangannya politis, mencabut orang yang sedang menjabat kemudian diganti dengan plt. Ada yang mengusulkan (pemerintah) coba dipelajari aturannya, apa diperpanjang saja (masa jabatan)," tutur Doli. 

Selain itu, perubahan tanggal pemungutan suara juga berdampak pada daftar pemilih. Dalam aturan perundang-undangan, orang yang berusia 17 tahun saat hari pemungutan suara berhak menggunakan suaranya. 

Ketika hari pemungutan suara ditunda dan dilanjutkan dalam beberapa bulan ke depan, otomatis banyak warga yang masuk dalam kriteria daftar pemilih karena penambahan usia selama masa penundaan tersebut. Doli meminta hal ini juga diantisipasi KPU.

"Kalau misalnya pada akhirnya diundurkan sampai setahun, saya kira pasti ada perubahan pada data pemilih. Kita enggak tahu kan nanti berapa yang memasuki umur 17 tahun. Itu konsekuensi teknis yang perlu diantisipasi terutama oleh KPU," jelas Doli. 

Dampak penundaan pilkada ini juga berpengaruh pada bakal calon kepala daerah dan partai politik pengusung, serta bakal calon independen. Pengamat politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno menganggap, para peserta pilkada belum menerima dampak dari penundaan Pilkada 2020. Adi melihat penundaan ini sebagai keuntungan bagi para calon peserta pilkada.

"Belum ada dampak kepada kandidat dan parpol. Sebab, sejauh ini masih dalam tahap penjajakan koalisi untuk daftar ke KPU. belum ada cost (pengeluaran) politik yang signifikan untuk dikeluarkan," ujar Adi kepada VOI

"Justru, penundaan ini menguntungkan bagi parpol dan kontestan. Sebab, mereka mendapat banyak penambahan waktu untuk melakukan sosialisasi terhadap calon yang mereka usung," tambah dia.