Pakar Hitung Risiko Ekonomi Jika Pemerintah Tetap Lamban Tangani COVID-19
Gedung Bursa Efek Indonesia (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Wabah virus corona atau COVID-19 berpeluang besar membawa resesi global tahun ini. Di negara sumbernya, China, penyebaran COVID-19 sudah menurun tajam. Proses recovery ekonomi domestik pun mulai berjalan. Namun, luar China, penyebaran wabah justru tengah mengalam eskalasi.

Wabah COVID-19 juga menyebabkan meningkatnya kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian ekonomi. Hal tersebut tercermin dari indeks pasar modal di berbagai belahan dunia yang turun tajam. Tak hanya itu, harga sejumlah komoditas juga mengalami penurunan sebagai respons terhadap melemahnya permintaan global. Di antaranya, harga minyak mentah yang sudah anjlok di bawah 25 dolar AS.

Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan stimulus ekonomi untuk mengatasi tekanan ekonomi dari anjloknya harga minyak dunia dan dampak dari pandemi COVID-19. Lalu, apa yang dapat menyelamatkan ekonomi domestik di tengah pandemi virus tersebut?

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini juga akan sangat dipengaruhi seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh penyebaran wabah COVID-19 dan seberapa cepat respons untuk menanggulanginya.

Konsumsi swasta, kata Faisal, yang menyumbang hampir 60 persen pergerakan ekonomi nasional, dipastikan akan mengalami kontraksi. Penjualan retail, baik di pasar tradisional dan pasar modern dipastikan turun. Bahkan, sebelum kasus COVID-19 teridentifikasi di Indonesia, data Indeks Penjualan Riil yang dikeluarkan Bank Indonesia sudah menunjukkan kontraksi 0,3 persen pada bulan Januari 2020.

Faisal mengatakan, penjualan mobil selama Januari dan Februari pun turun 2,4 persen years on years (YOY). Indikasi turunnya konsumsi swasta juga diperlihatkan oleh anjloknya perjalanan wisata, baik domestik atau pun asing.

BPS mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara turun 7,62 persen pada Januari 2020 dibandingkan Desember 2019. Sementara, wisatawan Nusantara turun 3,1 persen pada periode yang sama. Tekanan pada konsumsi swasta ini dipastikan akan lebih dalam pada bulan Maret dan juga bulan-bulan berikutnya.

Menurut Faisal, penurunan pertumbuhan ekonomi global, khususnya negara-negara tujuan ekspor dan pelemahan harga-harga komoditas akan memberikan tekanan pada ekspor Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada ekspor jasa, khususnya jasa perjalanan atau pariwisata. Apalagi, negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah menjadi pusat pandemi yang telah melampaui kasus yang terjadi di China.

Di sisi lain, sebagai akibat turunnya kegiatan ekonomi domestik, kegiatan impor, khususnya bahan baku dan modal juga mengalami kontraksi dibanding tahun lalu. Dengan demikian, penurunan ekspor juga akan dibarengi dengan penurunan impor, sehingga pengaruh net-ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini relatif kecil, sebagaimana tahun lalu yang memberikan kontribusi -0,5 pesen terhadap PDB.

"Satu-satunya yang berpotensi menopang ekonomi domestik tahun ini adalah belanja pemerintah. Penanganan COVID-19 mengharuskan pemerintah bekerja all out untuk menyediakan berbagai paket kebijakan baik untuk mengobati pasien COVID-19 (kuratif) dan mencegah eskalasi penyebaran virus tersebut (preventif)," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Minggu, 29 Maret.

Faisal menjelaskan, stimulus fiskal juga menjadi kunci utama dalam meredam dampak negatif terhadap ekonomi, terutama bagi pelaku usaha dan kelompok masyarakat yang terkena dampak paling besar. Seperti diketahui, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk meredam dampak kepanikan masyarakat, terutama investor terhadap pandemi COVID-19.

Caranya, dengan menurunkan suku bunga (BI 7-Day Reserve Repo Rate) hingga 50 BPS selama 2020 ini menjadi 4,5 persen, melonggarkan giro wajib minimum, dan melakukan intervensi pasar valas untuk meredakan pelemahan rupiah. Meski demikian, Faisal mengatakan, kepanikan investor di pasar modal yang memicu meningkatnya net selling asing membuat rupiah terdepresiasi hingga 16 persen (YTD) pada 27 Maret. Rupiah bahkan menjadi mata uang yang terdepresiasi paling dalam di antara mata uang negara-negara ASEAN.

Prediksi

CORE, kata Faisal, memastikan prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Jika pemerintah melakukan langkah-langkah yang lebih ‘ketat’ untuk menekan penularan wabah ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah China, maka puncak tekanan ekonomi diperkirakan akan terjadi pada kuartal kedua. Setelahnya, pada kuartal ketiga dan keempat akan masuk masa pemulihan.

"Dengan skenario paling optimis tersebut, CORE Indonesia memprediksikan ekonomi Indonesia secara kumulatif tumbuh di kisaran -2 persen hingga 2 persen," tuturnya.

Akan tetapi, menurut Faisal, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi jika penyebaran COVID-19 di Indonesia berlangsung lebih dari dua kuartal dan negara-negara yang menjadi mitra utama ekspor Indonesia juga mengalami hal serupa. Dalam kondisi tersebut, tekanan permintaan domestik dan global akan lebih lama, sehingga sangat kecil peluang ekonomi akan tumbuh positif.

"Selain melemahkan pertumbuhan ekonomi, pandemi ini juga berpotensi mendorong peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat jumlah penduduk di sekitar garis kemiskinan yang masih sangat tinggi, meskipun persentase penduduk di bawah garis kemiskinan mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir," jelasnya.

Faisal mengatakan, per Maret 2019, penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia mencapai 66,7 juta orang, atau hampir tiga kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (golongan miskin dan sangat miskin). Sebagian besar dari golongan ini bekerja di sektor informal, termasuk yang mengandalkan upah harian.

Apabila penanganan pandemi berlangsung lama, kata Faisal, periode pembatasan dan penurunan mobilitas orang akan semakin panjang. "Akibatnya, golongan rentan miskin dan hampir miskin yang bekerja di sektor informal dan mengandalkan upah harian akan sangat mudah kehilangan mata pencaharian dan jatuh ke bawah garis kemiskinan," tuturnya.