Romantisme hingga Pengakuan Sosial dalam Sejarah Panjang Tradisi Mudik
Gambaran situasi mudik dengan kereta api di Nusantara (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - "Hal yang konkret yang dapat dilakukan bersama antara stakeholders adalah larangan pemberlakuan tradisi 'mudik bareng' tahun ini. Apalagi, biasanya mudik bareng sangat identik dengan pengumpulan massa yang tinggi, baik di saat pemberangkatan, di perjalanan dan juga di tempat tujuan," ucap Kastorius Sinaga, Kamis, 26 Maret.

Pria yang menempati posisi sebagai Staf Khusus Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian itu mengungkap larangan mudik harus diambil sebagai langkah mencegah penyebaran COVID-19 yang semakin hari semakin meningkat angka penularannya. Bayangkan, saat tulisan ini dibuat, ada sekitar 1.046 kasus positif COVID-19 dengan angka kematian mencapai 87 orang.

Kastorius menambahkan, imbauan dari pemerintah tentang physical distancing masih perlu dilakukan untuk menekan penyebaran virus tersebut. Imbauan ini pun sudah dicanangkan Kemendagri ke berbagai daerah. Berdasarkan keputusan tersebut, mudik yang sudah menjadi tradisi turun menurun masyarakat di Indonesia, khusus tahun 2020, diimbau tak dilangsungkan.

Dalam bahasa romantisasi, tahun ini akan banyak keluarga yang harus saling menahan rindu karena tak dapat bersilaturahmi dengan sanak famili. Tapi, apalah rindu. Keselamatan bersama harus jadi hal utama. Tak cuma perkara rindu, memang. Bagaimana pun, mudik adalah tradisi panjang yang tercatat dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia.

Ilustrasi foto kemacetan (Sumber: Kementerian PUPR)

Tradisi mudik di Nusantara

Sejarawan JJ Rizal yang dihubungi VOI, Jumat, 27 Maret, mengungkap tradisi mudik sebagai tradisi orang kota. Dalam artian, mudik hadir bersamaan dengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad ke-19. “Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah momen saat kembali ke desa disebut 'mudik'.”

Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama Batavia dan berstatus Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet orang-orang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. “Tak ayal, jumlah urbanisasi yang besar membuat Batavia, terutama Jakarta, jadi identik dengan mudik,” kata Rizal.

Namun, Jika dilirik ke belakang, istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Setiap daerah pun memiliki bahasa sendiri dalam menyebut tradisi mudik. Bagi masyarakat di Jawa, mudik berasal dari kata 'mulih disik' yang berarti pulang sejenak.

Gambaran mudik di Nusantara (Wikimedia Commons)

Namun, bagi masyarakat Betawi, mereka mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik (kampung)'. Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) juga mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau minang.

Ia menjelaskan, “Bagi orang minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah 'pulang basomo'.”

Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, mudik jadi simbol pengakuan sosial. Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen mudik, para perantau bagai pahlawan. Kendaraan-kendaraan para pemudik ditempeli stiker akan disambut di perbatasan provinsi oleh voorijder.

“Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ‘Ayo ke rantau mengubah nasib,’ kira-kira begitu lah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.”

Saking populernya mudik, Komaruddin Hidayat dalam tulisan di E-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015), menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Mudik, baginya adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis, yang mampu menembus waktu yang panjang

Tak hanya itu, Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu 'homo festivus', yakni makhluk yang senang festival. Karenanya, Komaruddin mengatakan, “... dengan begitu banyak festival, termasuk festival yang bernuansa keagamaan. Ramai-ramai merayakan Lebaran Idul Fitri bisa juga tergolong festival. Pada setiap festival, ada pola yang ajeg, yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen-momen tertentu, beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.”

“Ada lagi yang mengatakan, manusia itu makhluk peziarah. Wanderer or traveler being, yakni senang melakukan perjalanan atau jalan-jalan. Setiap datang hari libur, agenda utamanya jalan-jalan, rekreasi,” tambahnya.

Gambaran mudik di Nusantara (Wikimedia Commons)

Setali dengan itu, Rektor Institut Sosial dan Budaya (IISBUD) Sumbawa Besar Miftahul Arzak, yang dihubungi VOI beberapa waktu lalu mengungkap hal yang sama. Miftah memandang mudik sebagai langkah untuk balik ke tanah kelahiran. “Orang yang merasa diri mudik itu adalah orang-orang yang merasa bahwa tanah yang dipijak saat ini bukanlah yang kekal melainkan sementara. Maka, mereka perlu balik ke daerah asal atau kelahiran dalam jangka waktu tertentu.”

Oleh sebab itu, orang-orang yang melakukan tradisi mudik sudah tentu memiliki ragam tujuan. Kadang Mudik dimaknai sebagai bentuk pengakuan dirinya ke tanah asal, kadang pula sebagai bentuk rindu akan hangatnya suasana di kampung halaman yang tiada dua.

“Atas dasar itu, jelas sudah alasan kenapa kadang ada orang-orang yang berlomba untuk balik ke tanah kelahirannya. Entah mudik digunakan sebagai lambang dari kesuksesan seseorang di tanah rantau, atau hanya sebagai bentuk ke rinduan akan tanah kelahiran. Yang jelas dari semuanya ialah moment silaturahmi lah yang dinanti-nanti,” tutup Miftahul Arzak.