Tanggungan Beban Molornya Pembahasan Anggaran DKI Jakarta
Rapat pembahasan anggaran di DPRD DKI Jakarta (Diah Ayu Wardhany/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Molornya pembahasan anggaran DKI punya dampak pada kerja-kerja eksekutif dan legislatif. Sekretaris Daerah DKI Saefullah melarang anak buahnya melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar provinsi hingga akhir tahun. 

Untuk saat ini, jajaran ASN hingga pejabat DKI harus memprioritaskan tahapan pengerjaan rancangan anggaran tahun 2020 hingga benar-benar disahkan. "Kami di eksekutif tidak ada izin keluar sebelum APBD beres. Jadi, semuanya harus hadir dan taat mengikuti jadwal itu dengan baik," ujar Saefullah dalam rapat bersama Badan Musyawarah di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin, 25 November. 

Larangan Pemprov senada dengan instruksi pada jajaran legislatif. Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi juga mengerangkeng anggota dewan agar tidak melaksanakan kunker. Padahal, anggota DPRD DKI Jakarta dijadwalkan akan melaksanakan dua kali kunjungan kerja sepanjang 2019, yakni 1 dan 2 Desember 2019. Rencana tersebut terpaksa dibatalkan.

"Kunker ditiadakan selama pembahasan anggaran menjelang sampai tanggal 30. Pokoknya kita maksimalkan APBD. Enggak ada kunker komisi, enggak ada kunker fraksi, (kunker) di-hold dulu," ucap Prasetio di tempat yang sama. 

Larangan kunker ini adalah risiko karena pembahasan rancangan anggaran daerah tahun 2020 sudah molor dari tenggat waktu. Pemprov DKI dan DPRD baru menyadari bahwa molornya pembahasan sejak awal bakal membuat mereka kerepotan. Padahal, pada awal pembahasan kebijakan umum anggaran-plafon prioritas anggaran sementara (KUA-PPAS) sejak 23 Oktober, Pemprov DKI dan DPRD kompak optimis akan mengetok anggaran sebelum 30 November. 

Namun, dalam perkembangannya, pengajuan anggaran yang sudah dibahas dalam KUA-PPAS ternyata defisit hingga Rp10 triliun. Penganggaran DKI yang diusulkan melonjak jadi Rp97 triliun. Padahal, berdasarkan hitungan rencana penerimaan keuangan di tahun 2020, Pemprov DKI hanya akan menerima pendapatan sebesar Rp87 triliun.  

Pembengkakan anggaran

Berdasarkan data yang diterima dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI, ada sejumlah mata anggaran belanja yang membengkak. Pembengkakan itu berada pada anggaran untuk menyubsidi premi 5,1 juta warga penerima bantuan iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Anggaran awal yang diusulkan sebesar Rp1,4 triliun untuk subsidi tersebut. Namun, Pemprov DKI kemudian mengusulkan tambahan anggaran Rp1,16 triliun dan totalnya menjadi Rp2,5 triliun karena naiknya iuran BPJS Kesehatan secara nasional mulai 2020. Kemudian, pembengkakan anggaran lain adalah gaji untuk tenaga penyedia jasa lain perorangan (PJLP) di lingkungan Pemprov DKI mengikuti kenaikan upah minumum provinsi (UMP).

Totalnya, ada kenaikan gaji PJLP sebesar Rp451 miliar. Tak hanya itu, ada juga kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang ditanggung Pemprov DKI sebesar Rp 275,99 miliar. DKI memerlukan tambahan waktu selama dua hari, pada 27 dan 28 November untuk menyisir ulang anggaran agar nominalnya bisa terpangkas sesuai angka pendapatan. 

Di sini, kerja DPRD dan Pemprov merancang anggaran makin padat. Pada 29 November DPRD dan Pemprov mengesahkan kebijakan umum anggaran-plafon prioritas anggaran sementara (KUA-PPAS) lewat MoU. Kemudian, tanggal 2 Desember Gubernur DKI Anies Baswedan menggelar pidato soal Rancangan Peraturan Daerah soal APBD. Pada tanggal 3 sampai 10 Desember, dijadwalkan pembahasan RAPBD dari tingkat komisi hingga pandangan akhir oleh DPRD. 

Pada 11 Desember, RAPBD disahkan. Kemudian, RAPBD dibawa ke Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi dalam 15 hari. Tahap akhir, RAPBD hasil evaluasi diketok menjadi Perda APBD 2020. Pemprov DKI dan DPRD terpaksa tak mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 106 PP 12/2019 menyatakan, kepala daerah dan DPRD wajib mengesahkan rancangan Perda APBD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai atau 30 November. 

Kemudian, mereka mencari ketentuan lain yakni Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yang menyatakan pengesahan rancangan perda tentang APBD punya tenggat waktu hingga sebelum dimulainya tahun anggaran 2020.

Sekretaris Daerah DKI Saefullah meminta pemakluman. Pasalnya, pembahasan rancangan sejak awal memang sudah molor dari jadwal karena ada pergantian periode DPRD DKI dari masa jabatan 2014-2019 ke 2019-2024. "Di tengah-tengah kan ada transisi DPRD. Sabarlah," kata Saefullah. 

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin menyatakan keputusan tersebut melanggar tahapan perencanaan keuangan daerah. Sebab, mereka menargetkan pengesahan RAPBD lewat dari 30 November. Meski begitu, Syarifuddin belum bisa memastikan adanya sanksi administratif dari Kemendagri kepada DPRD dan Pemprov DKI. Yang jelas, Syarifuddin mengakui Kemendagri bakal kerepotan mengevaluasi RAPBD DKI jika hanya memiliki waktu 15 hari. 

"Kalau pengesahan lebih dari 30 November, berarti kami mengevaluasi lambat juga paling sedikit 15 hari. Itu sudah lampu merah karena (evaluasi RAPBD) DKI tebal. Jangka waktu 15 hari untuk mengevaluasi (terasa) empot-empotan," tutur Syarifuddin.