Lapangan Banteng yang Langgeng dalam Kemasyhuran
Lapangan Banteng (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - "Kita ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng? Kalau kita satu bangsa yang berjoang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-Vivere Pericoloso.”

Begitulah penggalan pidato Sukarno, Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri) pada 17 Agustus 1964. Kegemaran bung karno menyebut Indonesia yang kuat sebagai 'Bangsa Banteng' lah yang disinyalir menjadi alasan dirinya setelah kemerdekaan mau mengubah lapangan yang dulunya bernama Waterlooplein menjadi Lapangan Banteng.

Terkait Lapangan Banteng sendiri, jikalau ditelusuri, sudah tentu memiliki sejarah panjang. Bahkan, jauh sebelum Bung Karno menyerukan kata, “Kita adalah bangsa banteng, yakni bangsa yang pemberani,” Lapangan Banteng sudah lebih dulu eksis. Gambaran tersebut didapat dari jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam bukunya, Saudagar Baghdad dari Betawi (2004).

Alwi mengatakan, banteng bukan hanya karena ia merupakan semangat dari patriotisme bangsa Indonesia, tetapi juga mempunyai kisah tersendiri. “Dulu lapangan tersebut pernah ada bantengnya. Ketika dibuka pada 1648, lapangan ini masih disebut Lapangan Paviljoen (Paviljoenvield) milik Anthonie Paviljoen Sr.”

Sebelumnya, pada 1644 Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Joan Maetsuijker memberitakan, dia bersama tiga ratus orang pernah berburu banteng di lapangan yang sebagian masih berupa hutan belukar itu. Bukan cuma banteng yang menjadi buruan, ada pula harimau, babi dan berbagai satwa lain yang berkeliaran.

Oleh sebab itu, lapangan tersebut sempat dikenal sebagai tempat berburu serdadu Belanda. Alhasil, aktivitas berburu sempat didukung oleh pemerintah kolonial. Hal itu dikarenakan setiap satwa yang berhasil diburu akan digiring menuju pintu gerbang kota Batavia untuk dikenakan pajak sebanyak sepuluh persen.

Setelah sempat berpindah tangan, tanah tersebut kemudian menjadi milik dari Gubernur Jenderal VOC Jenderal Van Overstraten pada 1797. Sampai kemudian, terjadi sebuah pertentangan hebat dalam tubuh VOC, sehingga lapangan tersebut disita oleh Marsekal Guntur Herman WIlliam Daendels --pengganti Overstraten-- yang membuat pemiliknya cuma mendapat ganti rugi sebanyak 10.000 ringgit.

“Lapangan Singa”

Nasib lapangan tersebut akhirnya menjadi jelas ketika Daendels mulai memindahkan pusat pemerintahan yang semula di Oud Batavia --Batavia lama atau kawasan Kota Tua-- ke kawasan Nieuw Batavia Weltevreden, wilayah sekitar Lapangan Banteng. 

Oleh karena itu, lapangan tersebut difungsikan menjadi suatu kamp militer. Sementara, wilayah sekitar lainnya dijadikan pemerintahan Hindia-Belanda. Masyarakat Hindia pada masa itu banyak yang menyebut lapangan ini dengan sebutan Lapangan Singa.

Hal itu karena ditengah lapangan terdapat tugu peringatan yang merupakan monumen singa untuk memperingati peristiwa Waterloo (1815) yaitu kekalahan Napoleon di Belgia. Untuk itu, kadang pula lapangan ini disebut juga dengan nama Waterlooplein.

Beruntungnya, gambaran akan suasana lapangan saat bernama Waterlooplein sempat diabadikan oleh serdadu belanda, H.C.C Clockener Brousson dalam buku yang memuat catatan perjalanannya di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 berjudul Batavia Awal Abad 20 (2004).

Brousson saat itu sedang menanti pemandunya yang bernama Abdulah untuk berkeliling di Waterlooplein sembari menikmati udara sejuk dan menikmati musik-musik populer dari Eropa plus sepasukan pikker (kelasi) yang berdansa di tengah orang-orang.

Brousson mengungkap, “Suasana di sana sangat ramai, para pemain musik berdiri membentuk lingkaran besar di tengah lapangan rumput. Di depan mereka, masing-masing ada tempat membaca notasi. Di sekeliling mereka sudah berjejal para serdadu, perwira rendahan, dan beberapa letnan dengan pakaian putih,” tertulis.

Selebihnya, dirinya melihat para kelasi mengenakan seragam khusus di tempat tropis yang cerah nan indah. Adapula terlihat penduduk pribumi, prajurit perempuan, beberapa orang tionghoa, noni-noni Indo muda dan langsing, serta para gadis Indo-Eropa yang cantik. Semua hadir di pesta itu.

“Musik mengalun, mereka membawa zaagman kapel, musik yang cukup populer di resimen ketujuh Amsterdam. Saya nikmati permainan bagus mereka. saya pun tidak mengira jika mereka pemain musik dari Batavia. Mereka pasti korps musik terbaik di seluruh timur,” tutur Brousson.

Lapangan Banteng di Masa Lampau (Wikimedia Commons)

Tak hanya Brousson, AWP Weitzel penulis buku Batavia In 1858 (1860) berucap hal yang sama. “Korps musik garnisun Batavia yang tersusun dengan terlatih baik itu mempergelarkan beberapa repertoir yang indah dengan sangat baik.”

Selain tempat menonton musik, sempat pula lapangan tersebut menjadi tempat berlangsungnya latihan dan upacara militer. Johan Fabricius, dalam buku berjudul Mayor Tjanje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19 (1979), mengungkap Lapangan Banteng pernah dijadikan tempat upacara militer yang dipimpin oleh Augustijn Michiels atau yang akrab disapa Mayor Tjanje (kapten Kaum Papang), seorang tuan tanah kaya raya di Batavia.

“Defile Korps Papanger di Lapangan Banteng. Ribuan penduduk pribumi menonton di tepi, sambil mengobrol, dan bersenda gurau. Atau membeli jajanan di warung kecil sekitar,” kata Johan.

Masyhur hingga kini 

Pada perkembangannya, semasa Jepang mulai menguasai Indonesia, patung singa dan patung perunggu Jan Pieterszoon Coen (pendiri Batavia) yang ikonik itu diratakan dengan tanah. Kemudian, barulah setelah kemerdekaan, keduanya diganti dengan Monumen Pembebasan Irian Jaya yang mulai berdiri pada tahun 1963.

Menariknya, Lapangan Banteng yang terkenal teduh sempat pula menjadi terminal bus yang penuh dengan hiruk pikuk serta deru suara mesin bus di nyalakan. Untungnya, pada tahun 1981 kemudian dialihkan menjadi taman umum oleh pemerintah DKI Jakarta.

Lapangan Banteng kini semakin digemari kaum muda untuk membunuh waktu. Kemasyhuran Lapangan Banteng juga membuatnya kerap disebut dalam beberapa novel yang terbit di era 1980-an. Salah satunya adalah novel karya wartawan senior yang juga sastrawan, Arswendo Atmowiloto yang berjudul Dua Ibu (1981). Berikut penggalannya:

“Menjadi bagian dari cita-citaku yang belum terlaksana untuk bisa mencapai Lapangan Banteng tanpa bantuan orang lain. Selain itu, dari Katedral, bisa pergi ke Pasar Baru. Beli bakso dan pulangnya beli bakpao,” tulis Arswendo.