Asal Usul Hantavirus dari China dan Kenali Gejala Awalnya
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Belum tuntas memerangi wabah virus corona atau COVID-19 secara global, kini muncul virus baru dari China yakni Hantavirus. Namun apakah penyakit ini sama berbahayanya dengan COVID-19?

Beberapa hari lalu, seorang penumpang ditemukan meninggal di bus dan telah dites positif terkena virus yang ternyata sama sekali berbeda dari COVID-19, tetapi lebih fatal. Korban tak dikenal itu berasal dari provinsi Yunnan dan sedang melakukan perjalanan menuju tempat kerjanya di provinsi Shandong.

“Dia dites positif untuk #hantavirus. 32 orang lainnya di dalam bus diuji," kicau kantor berita pemerintah China, Global Times seperti dikutip dari USA Today.

Virus itu muncul dimulai tepat ketika China selesai dari karantina atau lockdown pandemi COVID-19. Hantavirus dengan sekejap menjadi topik perbincangan utama di media sosial Twitter, tak luput kabar itu juga memicu kepanikan di antara banyak orang di media sosial.

Namun, para ahli dengan cepat menunjukkan bahwa itu bukan virus baru dan diklaim tidak bisa ditularkan antarmanusia. Hantavirus sejatinya berasal dari hewan, terutama tikus.

"Hantavirus pertama kali muncul pada 1950-an dalam perang Amerika-Korea di Korea (sungai Hantan). Ini menyebar dari tikus. Jika manusia menelan cairan tubuh mereka. Penularan manusia ke manusia jarang terjadi," kicau ilmuwan Swedia Dr. Sumaiya Shaikh.

Perlu diketahui, Hantavirus dikontak melalui tikus rusa, jenis hewan pengerat yang sangat spesifik. Mereka cenderung tinggal di hutan pedesaan, dan penyakit yang mereka bawa ditularkan melalui air liur, urine, atau bahkan kotorannya. Jadi tidak perlu khawatir karena Hantavirus bukan fenomena baru, dan menanganinya tidak akan merepotkan seperti wabah COVID-19 saat ini. Terpenting, virus itu tidak dapat ditularkan di antara manusia.

"Tolong jangan panik, kecuali kamu berencana untuk makan tikus," tegas Dr. Shaikh.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengatakan, Hantavirus jarang terjadi tetapi menempatkan angka kematian pada 38 persen jika sudah masuk ke dalam tubuh manusia itu sendiri.

Gejala yang ditimbulkan dapat terjadi hingga delapan pekan setelah terpapar urine segar, kotoran, atau air liur dari tikus yang terinfeksi. Kadang-kadang juga dapat berasal dari gigitan tikus atau tikus yang terinfeksi.

Kendati demikian, gejala-gejala yang ditimbulkan mirip dengan gejala COVID-19, di mana penderita akan merasakan demam, sakit kepala, batuk dan sesak napas.

Sindrom paru Hantavirus menjadi penyakit yang pernah muncul sebelumnya di Amerika Serikat (AS) pada 1995, tetapi belum ada kasus yang diketahui menular antarmanusia.

"Tidak ada pengobatan khusus, penyembuhan, atau vaksin untuk infeksi Hantavirus. Pasien hanya akan sering membutuhkan perawatan intensif untuk membantu mereka melalui periode gangguan pernapasan parah. Karena itu, jika Anda telah berada di sekitar hewan pengerat dan memiliki gejala demam, nyeri otot dalam, dan sesak napas yang parah, segera temui dokter Anda," ungkap pihak CDC.

Menurut data CDC, sementara pada 1993 hingga 2017, hanya ada 728 kasus Hantavirus yang dikonfirmasi di AS, dan sebagian besar tidak fatal. Sebagai perbandingan, sejak akhir Januari, ketika kasus COVID-19 pertama yang diketahui telah diidentifikasi di AS, ada 46.805 kasus yang dikonfirmasi secara nasional, menurut Universitas Johns Hopkins.

Lainnya, pada Mei 1993, wabah Hantavirus terjadi di daerah antara Arizona, New Mexico, Colorado dan Utah. Wabah pada 2012 di Yosemite membuat 10 orang sakit. Di tujuh negara, 17 orang juga tercatat pernah terinfeksi dalam wabah ini pada 2017 silam.