Bagaimana Dua Negara <i>'Zero Case'</i> COVID-19 Menjaga Perbatasan
Ilustrasi foto (Aalok Atreya/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Ketika angka kasus COVID-19 melonjak di Asia Tenggara, Myanmar dan Laos melaporkan bahwa sejauh ini tidak menemukan satu pun kasus. Hal tersebut mencengangkan, mengingat kedua negara berbagi perbatasan yang cukup besar dengan China, tempat wabah tersebut bermula.

Kedua negara mengatakan semua orang yang diduga terinfeksi COVID-19 sejauh ini saat dites menunjukkan hasil yang negatif. Namun, akses peralatan pengujian yang mereka miliki sebenarnya terbatas, yang mana hanya melakukan sekitar 300 tes untuk populasi 60 juta orang.

Meski kasus COVID-19 di kedua negara masih nol, baik Laos dan Myanmar telah menutup perbatasan negara mereka. Kebijakan penutupan sekolah dan kesiagaan rumah sakit juga telah dilaksanakan.

Dr Reiko Tsuyuoka, pemimpin program darurat kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Laos, mengatakan bahwa ia harap jika pun ada kasus COVID-19, dapat dideteksi secepat mungkin. Jika diketahu sejak awal, otomatis penyebarannya akan mudah ditekan. 

Dengan bantuan WHO, Kementerian Kesehatan Laos telah mengembangkan sistem yang kuat untuk mendeteksi dan menanggapi ancaman kesehatan. "Kami memiliki laboratorium yang baik dan jaringan epidemiologis wabah terlatih yang tersebar di seluruh negeri," ujar Dr Reiko Tsuyuoka. 

Laos juga telah menguji hampir seratus orang untuk COVID-19. "Otoritas kesehatan di sini mengambil pendekatan yang ditargetkan untuk pengujian, karena stok alat pengujian negara sangat terbatas pada saat ini," tambahnya.

WHO telah membantu mempersiapkan peralatan pelindung kepada Laos untuk petugas kesehatan. Mereka menyumbang ventilator, dan peralatan laboratorium baru, serta menggelar kampanye kesadaran publik.

Dikutip dari The Straits Times, Senin 23 Maret 2020, Laos juga telah menutup semua sekolah dan tempat-tempat hiburan, serta menetapkan area karantina 14 hari pendatang dari negara-negara berisiko tinggi. Negara ini juga telah mencabut pembebasan visa.

Sementara, di Myanmar, 175 orang yang diduga terkena COVID-19 telah diperiksa pada Kamis 19 Maret malam. Hasil tes dari 157 orang dinyatakan negatif dan hasil untuk 18 lainnya sedang menunggu.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Myanmar, Dr Khin Khin Gyi, menekankan bahwa Myanmar belum ada laporan terkonfirmasi bahwa setiap kematian disebabkan oleh COVID-19. Pemerintah Myanmar juga melarang perayaan Thingyan atau perayaan tahun baru pada April untuk membatasi risiko penyebaran virus dari pertemuan massal seperti itu.

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dikritik juga sempat dikritik karena bertemu ratusan orang selama tur di daerah etnis minoritas di negara itu. "Kami tahu bahwa negara kami dapat memiliki COVID-19 kapan saja," kata Dr Khin Khin Gyi.

"Kami telah memeriksa orang-orang yang datang melalui bandara. Kami telah memeriksa orang-orang yang datang melalui perbatasan. Kami belum menemukannya (COVID-19) sejauh ini, tapi kami tetap bersiap." kata Dr Khin Khin Gyi. 

Perbatasan di sepanjang 2.200 kilometer Myanmar-China penuh dengan kelompok-kelompok bersenjata yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat. Mengingat, bentrokan militer yang terus-menerus dengan kelompok-kelompok pemberontak seperti tentara Arakan di Rakhine State, ada kekhawatiran mengenai apa yang bisa terjadi seandainya virus itu mulai menginfeksi ribuan penduduk desa yang terlantar dengan sedikit akses ke perawatan kesehatan.

Selain itu, Myanmar juga wajib terus mengawasi warga negaranya yang kembali dari negara lain yang pulang untuk perayaan tahun baru. Diperkirakan tiga juta warga negara Myanmar bekerja di negara tetangga Thailand, di mana terdapat 599 kasus COVID-19 yang telah dikonfirmasi.