Ambisi 100 Hari Napoleon Bonaparte Yang Berujung Kekalahan
Napoleon Bonaparte di atas kudanya (Sumber: hussars.com)

Bagikan:

JAKARTA - Peristiwa revolusi Prancis yang meletus pada 1789 berhasil meruntuhkan rezim monarki absolut yang berkuasa selama beradab-abad. Pascarevolusi, salah seorang pemimpin Prancis Napoleon Bonaparte punya ambisi untuk meruntuhkan kerajaan-kerajaan lain di daratan Eropa. Era Bonaparte pun diwarnai dengan penuh peperangan.

Merangkum Tempo edisi 26 Juli 2010, Napoleon Bonaparte, pria keturunan bangsawan yang lahir di Kota Ajaccio, Korsika pada 15 Agustus 1769 merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah Prancis dan Eropa. Karier militer Bonaparte cemerlang. Pada umur 20 tahun, ia sudah menjadi letnan dua artileri dan mengambil peluang dalam situasi chaos politik untuk melesatkan kekuasannya di Prancis, hingga ia menjadi Kaisar Prancis dari tahun 1804 sampai 1814. 

Saat menjadi kaisar, Bonaparte terus mengembangkan wilayah kekuasaannya. Pada 1810, hampir seluruh Eropa sudah berada di bawah kekuasannya. Sebagian pendapat menyatakan, Bonaparte punya ambisi untuk menyebarluaskan ide demokrasi liberal ke seluruh Eropa. Namun ketika Bonaparte hendak menginvasi Rusia, serangannya gagal karena rasa percaya diri yang terlalu tinggi.

Kesempatan itu segera dimanfaatkan koalisi kerajaan-kerjaan Eropa untuk bersekutu melawan Bonaparte. Koalisi itu pun berhasil menggulingkan Bonaparte di tahun 1814. Selanjutnya, Bonaparte diasingkan ke Pulau Elba.

Napoleon Bonaparte (hussars.com)

Ambisi 100 hari

Pada 26 Februari 1815, Bonaparte melarikan diri dari pengasingan di Pulau Elba. Kemudian, pada hari ini, 20 Maret, dua abad lalu atau tepatnya tahun 1815, Bonaparte kembali ke Paris. Menurut penulis sejarah Napoleon Bonaparte, Richard Moore, lewat situsnya "Napoleonic Guide", dua bulan setelah kembali ke Prancis, Bonaparte berhasil mengumpulkan sekitar 280 ribu pasukan.

Gerakan Bonaparte sejak kembali dari pengasingan sampai perang dimulai dikenal dengan peristiwa "100 Hari". Pasukan yang Bonaparte kumpulkan merupakan persiapan perang terakhirnya di Waterloo yang kemudian dikenal dengan peristiwa Perang Waterloo. 

Begitu mendengar kabar Bonaparte melarikan diri, koalisi kerajaan Eropa yang teridiri dari Inggris, Belanda, Rusia, Prusia, dan Austria memanas. Mereka menyatakan Bonaparte melanggar hukum dan langsung membentuk kekuatan gabungan yang disebut Koalisi Ketujuh yang dipimpin Duke of Wellington dari Inggris dan Gebhard von Blucher dari Prusia.

Pasukan tersebut bergerak ke selatan hingga Waterloo yang saat itu masih wilayah Kerajaan Belanda, di dekat Belgia. Pasukan yang dipimpin Duke of Wellington dari Inggris berjumlah 110 ribu orang, sementara dari Prusia siap diberangkatkan 120 ribu orang. Pasukan itu membuat Bonaparte merasa terancam, sehingga ia memutuskan untuk menyerang mereka duluan sebelum dua pasukan itu bergabung.

Richard Moore bilang, pasukan Bonaparte bergerak dengan kecepatan menakjubkan. Mereka menyerang Belgia dengan 125 ribu pasukan dalam upayanya untuk mencegah pasukan Wellington dan pasukan Prusia bergabung. Bersama dua jenderal utamanya, Ney dan Grouchy, Bonaparte bergerak mendahului musuh hingga ke Mons, lalu ke Charleroi, Belgia selatan, sampai mencapai puncaknya pada pertempuran Waterloo. 

Namun, upaya Bonaparte menembus pertahanan pasukan Inggris tak berhasil. Di saat yang bersamaan, pasukan Prusia juga kadung tiba. Mereka bergabung dan menyerang pasukan Bonaparte hingga mereka mundur tak teratur. Menurut sejarah, pasukan Bonaparte kalah dalam pertempuran Waterloo.

Kendati Bonaparte banyak berkiprah di medan perang, ia nyatanya juga banyak menciptakan tata kelola negara. Ia mewariskan sistem satuan metrik yang kita pakai sekarang. Warisan Napoleon yang paling besar bagi kehidupan bermasyarakat adalah "Kode Napoleon", yang berisikan tata kehidupan sipil.

Inti perundangan di dalamnya mengatur secara jelas dan sistematis hak-hak pribadi dan kepemilikan. Rumusan itu pertama kali diterapkan di Prancis, kemudian digunakan juga di seluruh tempat yang pernah ditaklukkan Bonaparte. Kumpulan aturan ini, di antaranya mendukung persamaan hak sipil, sehingga mempercepat berakhirnya feodalisme di Eropa.