Melihat Kesiagaan Hong Kong dan Ketenangan Jepang dalam Menyikapi Pandemi COVID-19
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Hong Kong dan Jepang sebagai negara dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi memiliki cara penanganan yang sangat berbeda dalam menghadapi penyebaran COVID-19. Melansir dari CNN, perbedaan terlihat mulai dari pengawasan di bandara sebagai pintu masuk penyebaran virus, hingga sikap masyarakat dan pemerintah.

Pengawasan di Bandara

Hong Kong : Setelah turun dari pesawat, penumpang langsung dibawa ke area karantina untuk melewati beberapa cek kesehatan dan keamanan. Tes yang dilakukan adalah suhu tubuh, pengisian formulir untuk memastikan mereka tidak pernah bepergian ke China, Italia, Korea Utara, hingga daerah-daerah terdampak virus corona lainnya.

Sejak Kamis, 19 Maret, pendatang bahkan diberikan gelang elektronik dan harus karantina selama 2 pekan. Alarm gelang tersebut akan berbunyi ketika mereka meninggalkan rumah atau hotel mereka.

Meskipun Hong Kong berbatasan langsung dengan China, jumlah kasus di kota padat penduduk ini masih terbilang rendah, yaitu 256 kasus positif dan 4 meninggal dunia. Meskipun ada kenaikan kasus secara signifikan, mayoritas kasus berasal dari pelancong internasional yang baru datang dari negara-negara terdampak virus.

Jepang : Aktivitas bandara Narita berjalan seperti biasa, pengecekan terhadap penumpang bahkan terkesan dilakukan dengan tergesa-gesa oleh 10 petugas karantina. Ada penumpang yang tidak sempat diperiksa.

Pengecekan suhu tubuh dilakukan melalui kamera thermal scanner, sehingga kurang efektif diterapkan khususnya di malam hari, dimana para penumpang menggunakan jaket tebal karena kini Jepang tengah mengalami musim semi.

Petugas karantina juga memberikan formulir dalam bahasa inggris untuk meminta pemegangnya tinggal di rumah selama 14 hari, mengecek suhu tubuh setiap hari, dan menghindari transportasi publik.

Ada beberapa permintaan yang sifatnya tidak mengikat. Pendatang diberikan beberapa protokol, namun tidak ada larangan spesifik sehingga mereka masih dapat bepergian dengan bebas. 

Sikap masyarakat dan pemerintah

Hong Kong : Mayoritas penduduk Hong Kong menggunakan masker bila melakukan aktivitas di luar rumah. Pemerintah Hong Kong pun telah menutup sekolah-sekolah, perpustakaan publik dan museum-museum, dan menyuruh masyarakatnya bekerja dari rumah sejak bulan Februari, begitu ada beberapa kasus positif COVID-19.

Bagi Hong Kong, hal ini jelas membuktikan bahwa mereka telah belajar banyak dari pandemi SARS pada tahun 2003, di mana 300 warga Hong Kong meninggal dunia. Hong Kong jelas menunjukkan sikap siaga dan tak ingin mengambil resiko.

Jepang : Di Tokyo, beberapa sekolah telah tutup, beberapa pertemuan telah dibatalkan, kebanyakan bar dan restoran masih buka, banyak orang yang masih menggunakan transportasi publik, dan orangtua masih mengajak anak-anaknya bermain di luar, biasanya tanpa masker. Tidak ada tanda-tanda panic buying, dilihat dari masih banyaknya ketersediaan tisu toilet di rak-rak supermarket.

Negara-negara lain kini telah mendeklarasikan status darurat dan menerapkan kebijakan lockdown, namun Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan situasi di Jepang tidak membutuhkan status darurat.

Menurutnya, Jepang belum menerapkan lockdown karena kasus yang masih terhitung sedikit bila dibandingkan dengan negara lain. Hingga berita ini ditulis, total kasus positif COVID-19 di Jepang telah mencapai 965 kasus dan 40 meninggal dunia.

Langkah pencegahan dilakukan dengan melakukan tes kepada 14.525 orang, bahkan ada beberapa yang dites hingga beberapa kali. Selain itu, dilansir dari The Guardian, dokter-dokter Jepang kini tengah mengembangkan penggunaan obat flu Avigan yang telah diberikan kepada 70 pasien COVID-19. 

Pemerintah Jepang kini berencana akan meningkatkan kapasitas tes menjadi 8 ribu orang perhari mulai akhir bulan Maret nanti. Hasil tes massal nanti akan menjadi tolak ukur untuk membuktikan Jepang pantas sebagai contoh Negara yang tenang dan berhasil dalam menghadapi COVID-19, atau justru sebaliknya.