Melirik Senjata Tradisional Bernama Jamu untuk Melawan COVID-19
Ilustrasi foto (Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - "Sekarang, tamu-tamu saya, pagi, siang, dan malam saya beri minuman itu. Bukan teh, tapi saya ganti temulawak, jahe, sereh, kunyit, campur jadi satu."

Begitu ucap Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka acara The 2nd Asian Agriculture & Food Forum di Istana Kepresidenan, Jumat, 12 Maret lalu. Bagi Jokowi, jamu sebagai ramuan tradisional adalah kunci menjaga daya tahan tubuh serta meningkatkan imunitas, dua faktor penting untuk menangkal COVID-19.

Tak hanya sekali. Jokowi telah mempromosikan jamu sebagai ujung tombak agar terjaga dari COVID-19 berkali-kali. Bahkan, kalau dilirik beberapa hari ke belakang, Jokowi memberikan oleh-oleh jamu yang diramunya sendiri kepada tiga pasien COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh. Oleh Menteri Kesehatan, Jamu itu diberikan langsung kepada pasien COVID-19 kasus 01, 02, dan 03.

"Sekali lagi ucapkan syukur dengan sehatnya saudara kita, pasien 01, 02, dan 03. Saya ke sini sekalian membawa oleh-oleh dari Presiden, berupa jamu ramuan dari Bapak Presiden sendiri," tutur Terawan di RSPI Sulianti Saroso, Senin, 16 Maret.

Upaya Jokowi memperkenalkan jamu kepada warga negara Indonesia terhitung berhasil. Buktinya, hampir setiap pasar tradisional atau pun supermarket yang menjajakan rempah-rempah bahan dasar jamu, diserbu oleh warga. Alhasil, rempah-rempah sama langkanya dengan masker dan hand sanitizer.

Media Australia, abc.net menggambarkan kondisi ini. "Di Australia itu tisu toilet yang menjadi incaran. Tapi, di Indonesia, permintaan jahe dan rempah-rempah lain yang tiba-tiba melonjak tinggi di tengah wabah COVID-19."

Ilustrasi (Don Shin/Unsplash)

"Jamu"

Terkait istilah jamu, Achmad Sunjayadi dalam buku berjudul (Bukan) Tabu di Nusantara (2018), menjelaskan istilah jamu yang berasal dari singkatan dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu "djampi" dan "oesodo". Djampi bermakna penyembuhan dengan menggunakan ramuan obat-obatan beserta doa-doa (ajian). Sementara, "oesodo" memiliki arti kesehatan.

Achmad Sunjayadi menambahkan, jamu adalah ramuan tradisional yang semua bahan-bahannya dipetik langsung dari alam. “Jamu yang diolah secara tradisional menggunakan ramuan dari tumbuh-tumbuhan alam yang tumbuh dan ditemukan di Nusantara tanpa menggunakan bahan tambahan (zat kimia).”

Maka, sekalipun belum ada bukti ilmiah bahwa jamu mampu menangkal COVID-19, memori kolektif masyarakat Indonesia membawa jamu ke posisi penting dalam perlawanan COVID-19 hari ini. Bagaimana pun, jamu telah mendarah daging sebagai konsumsi herbal masyarakat Indonesia. Apalagi ketika pemanfaatan jamu dicontohkan oleh seorang presiden.

Kehadiran jamu di Nusantara telah ada sebelum era kolonial. Hal itu dibuktikan dengan adanya relief-relief di Candi Borobudur yang konon dibangun pada abad ke-9. Lebih detail, gambaran itu ditulis oleh pendiri Museum Indonesia, Jaya Suprana dalam buku "100 Tahun nusantara" (2000). Kisahnya diceritakan dalam tulisan berjudul Jamu: Masa Kini, Masa lalu dan Masa Depan.

Jaya Suprana mengungkap, jika orang-orang teliti terhadap relief-relief yang ada di Candi Borobudur, “kita dapat menemukan pohon kalpataru sebagai lambang kehidupan. Di dekat pohon kalpaltaru, tampil relief adegan orang-orang sedang meramu, menumbuk, memilis, sebagai proses mempersiapkan ramuan jamu.”

Menariknya lagi, dalam kelompok relief yang sama, ditemukan juga petunjuk penggunaan jamu untuk kaum dewasa dan anak-anak, disamping anjuran penggunaan jamu secara teratur dan berkesinambungan. Adanya relief tersebut menjadi bukti umur panjang jamu, bahkan sejak dahulu sebelum hadirnya industri jamu nasional nan modern.

Semula, jamu hanya diberikan para orang tua kepada anak-anak mereka untuk menjaga kesehatan. Ada pun jamu yang diberikan para istri kepada kepada suami biasanya memiliki khasiat sehat, bugar, dan perkasa secara seksual.

Disamping itu, para istri pun mengkonsumsi jamu untuk dirinya sendiri demi kesegaran, kecantikan, dan kebahagiaan seksual rumah tangga. “Pada mulanya, jamu dibuat secara individu sebagai produk do-it-by-yourself di setiap rumah tangga,” tulis Jaya Suprana.

Atas kebiasaan minum jamu itu lah, beberapa peneliti Eropa kemudian datang dan mempelajari jamu. Uniknya, penggalian informasi terkait jamu banyak didapat dari perempuan Indo-Eropa, penjual jamu di pasar mau pun dukun.

Jamu kemudian semakin populer saat orang-orang Eropa banyak yang melakukan kawin campur. Di situlah percampuran budaya, termasuk ilmu pengobatan asing nan modern dan lokal bertemu. Maka, kegemaran masyarakat Indonesia terhadap jamu pun menular, terbawa kepada mereka orang Eropa.

Buktinya, bisa dilihat pada abad ke-17, kala seorang doter VOC di Batavia, Jacobus Bontius, mulai menaruh perhatian pada jamu lewat hadirnya buku berjudul De dicina Indorum (1642). Ada juga Mevrouw J.M.C Kloppenburg-Versteegh (1862-1948) yang gemar mencatat obat-obatan tradisional, khususnya jamu pada abad ke-19.

Ia tak cuma menyimpan pengetahuan itu di otaknya saja. Mevrouw menelurkan sebuah mahakarya terkenal dan laris pada masanya; Indische planten en haar geneeskracht (1907).

Walau begitu, tak sedikit pula yang tak menyukai bahkan jengkel dengan popularitas jamu saat itu. Alasannya, klasik, yaitu sekat rasial antara mereka bangsa Eropa dan pribumi. Dampaknya, kebanyakan orang Eropa menjadi enggan mengonsumsi jamu. Karenanya, untuk beberapa dekade, jamu sempat tergantikan dengan pengobatan barat.

Padahal, jamu dan pengobatan barat justru bisa berkolaborasi alias dapat saling mengisi, mendukung dan melengkapi dalam rangka membantu orang-orang untuk dapat terus sehat. Pun di saat-saat ini, ketika ancaman penularan COVID-19 meluas. Jangan-jangan, jamu benar-benar kunci, asal pemerintah berani mengambil tindakan yang bernama "riset".