Dampak COVID-19, Terganggunya Sektor Perekonomian dan Sampai Berapa Lama Indonesia Bisa Bertahan
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Virus corona atau COVID-19 sebaranya terus meluas, termasuk di Indonesia. Penyebaran virus yang masif ini bakal memperlambat pertumbuhan ekonomi. Lalu, sektor manakah yang paling terganggu akibat COVID-19 ini?

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, semua sektor sudah terdampak akibat meluasnya penyebaran virus corona jenis baru ini. Setidaknya, ada lima sektor yang terganggu.

"Saya kira mulai terasa di banyak sektor, kalau kita lihat selain pariwisata tentu saja sektor perdagangan, transportasi, dan industri. Kalau di sektor lain tidak langsung tetapi punya efek besar itu adalah sektor keuangan," tuturnya kepada VOI, di Jakarta, Kamis, 19 Maret.

Namun, Tauhid mengatakan, yang paling tertanggung adalah sektor perdagangan. Sebab, dengan mewabahnya virus ini masyarakat semakin takut untuk mendatangi pusat perbelanjaan, sehingga pendapatan turun drastis.

"Perputaran uang (paling terganggu) di perdagangan, jelas pasti. Turun drastis karena sekarang orang tidak berani ekspektasi untuk membeli yang di luar kebutuhan pokok. Di samping karena harganya merangkak naik, orang juga akan mengubah planning-nya begitu," tuturnya.

Tauhid menjelaskan, saat ini masyarakat akan mengubah prioritasnya. Jika sebelumnya mereka masih memiliki niat untuk membeli sesuatu di luar kebutuhan pokok, kini masyakarat akan menyimpannya sebagai dana darurat.

"Misalnya, tadinya orang ingin beli motor. Tapi situasi seperti ini mereka butuh cadangan uang, karena harga akan naik atau bahan kebutuhan akan sulit dicari di pasar. Sehingga mereka akan coba punya likuiditas yang tinggi. Jadi mereka tidak berani beli produk lain," jelasnya.

Menurut Tauhid, dengan mewabahnya virus ini dampaknya sangat besar di sektor ekonomi. Banyak perusahaan yang keuntungannya turun drastis, bahkan rugi. Kemudian, di sektor keuangan juga mulai terdampak. Cicilan banyak yang tidak bayar ke sektor keuangan dan perbankan.

"Nah itu akan muncul kesulitan bahwa sekarang orang lebih senang memegang uang sifatnya tunai atau yang cepat dicairkan sehingga butuh likuiditas yang besar. Karena sekarang kebutuhannya untuk pangan, pokok, dan untuk kesehatan," ucapnya.

Bertahan

Seberapa lama dan kuatnya ekonomi Indonesia dapat bertahan? Tauhid mengatakan, dengan mewabahnya COVID-19 dan semakin luasnya penyebaran di wilayah Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Menurut dia, jika pemerintah tak mulai melakukkan sesuatu akan terjadi krisis.

"Menurut saya sudah pasti drop. Ini sudah mau krisis. Jadi kalau kita sekarang ini korbannya lebih dari 10, menurut saya kalau kita tidak sigap kita akan krisis. Karena kalau kita tidak bergerak, sebagian perekonomian Jakarta (turun) itu juga dampaknya sudah besar. Apalagi kalau kita tidak melakukkan satu hal yang penting untuk menurunkan dampak dari COVID-19," jelasnya.

Menurut Tauhid, jika berkaca pada jurnal luar mengenai perekonomian Indonesia seberapa lama bertahan. Kata dia, ada beberapa skenario. Salah satunya, bagaimana pemerintah pusat dapat mengatasi COVID-19, semakin lama penanganannya maka perekonomian nasional tak dapat bertahan lama.

"Tergantung bagaimana pemerintah menanganinya. Misalnya katakan kalau kita tidak melakukan apa-apa bulan Maret ini, bisa Juli hingga Agustus bisa baru selesainya. Ini totalnya bisa tiga sampai enam bulan ini memang agak lama," jelasnya.

Tak Cukup Sekadar Stimulus Jilid I dan II

Tauhid menulai, stimulus jilid I dan II yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup membantu perputaran ekonomi nasional bergerak. Apalagi, dampaknya sudah menyentuh semua sektor.

"Saya melihat masih kurang. Saya melihat tiga garis besar. Pertama, kita tidak ada memberikan pinjaman yang diberikan kepada sektor usaha. Termasuk bantuan untuk pinjaman murah untuk maskapai penerbangan, perhotelan, termasuk perusahaan-perusahaan yang terkena dampak secara langsung," jelasnya.

Kedua, lanjut Tauhid, bank sentral juga tidak memangkas suku bunga rendah. Menurut dia, dalam kondisi saat ini harusnya suku bunga rendah bahkan suku bunga pinjaman untuk kelompok masyarakat UMKM dan sebagainya nol persen.

"Ini kan tidak ada, suku bunga acuan 4,5 persen tetap tinggi. Bahkan bunga bank masih ada yang di atas 9 sampai 10 persen," ucapnya.

Kemudian, lanjut Tauhid, ketiga, pemerintah harus menyediakan anggaran bantuan sosial yang jumlahnya besar dan diberikan by name by address pada wilayah-wilayah yang masyarakatnya terdampak langsung.

"Misalnya yang jumlahnya besar untuk kebutuhan dia paling enggak satu bulan, ini kan tidak ada. Kalau ini tidak disediakan, nanti kalau ada lockdown mereka tidak punya uang sehingga mereka tidak punya akses untuk membeli makanan. Termasuk kesehatan," jelasnya.

Menurut Tauhid, ketiga hal di atas adalah sesuatu yang memang dibutuhkan di tengah mewabahnya COVID-19 ini. Tiga hal tersebut, katanya, merupakan pelajaran dari negara lain dalam menangani virus ini.

"Rata-rata itu yang dilakukan. Termasuk yang mungkin penting adalah pembayaran pajak, penangguhan bayaran pajak semua sektor, iuran dan sebagainya yang pemerintah harus tanggung dalam kondisi seperti ini. Sekarang orang tidak berpikir membayar pajak, menyalamatkan diri sendiri saja sedang susah terutama untuk dunia usaha yang lagi drop," tuturnya.

Dikutip dari kontan.co.id, dalam riset Moodys yang dikirim Selasa, 17 Maret, dipaparkan, industri yang memiliki eksposure besar atas corona virus dibagi menjadi tiga.

Pertama, industri terpapar cukup tinggi. Seperti, pakaian, manufaktur otomotif, suplaier otomotif, konsumer, gaming, pariwisata, maskapai penerbangan, ritel bukan makanan dan pengiriman secara global.

Kedua, industri yang terpapar sedang alias moderat. Di antaranya, minuman, kimia manufaktur, media, logam dan tambang, minyak dan gas, properti, agrikultur, perusahaan jasa, produsen baja sampai perusahaan teknologi hardware.

Ketiga, adalah perusahaan yang bergerak di industri yang terpapar sangat rendah. Seperti konstruksi, pertahanan, peralatan dan transportasi, rental, pengemasan, farmasi, real estate, ritel makanan, telekomunikasi hingga manajemen sampah.