Menyimak Rentetan Stimulus Tahap ke-II dari Pemerintah untuk Atasi Dampak COVID-19
Konferensi Pers tentang Stimulus Ekonomi Kedua Penanganan Dampak COVID-19, di Jakarta, Jumat 13 Maret. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa wabah virus corona atau COVID-19 telah manjadi pandemi. Kondisi tersebut mendesak pemerintah seluruh dunia untuk meningkatkan upaya pencegahan demi meminimalisir dampak ekonomi yang diakibatkan virus tersebut.

Pemerintah Indonesia, pada hari ini, Jumat 13 Maret, resmi merilis kebijakan stimulus tahap ke-II, yang mencakup bidang fiskal dan non fiskal untuk mengatasi dampak COVID-19.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, akibat mewabahnya COVID-19 ini dampak terhadap sektor ekonomi tentu tidak dapat dielakkan lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan akan terkontraksi semakin dalam.

"Untuk itu, pemerintah memerhatikan isu-isu yang memerlukan kebijakan khusus. Pemerintah akan keluarkan stimulus kedua untuk fiskal dan non fiskal," tuturnya, dalam Konferensi Pers tentang Stimulus Ekonomi Kedua Penanganan Dampak COVID-19, di Kanto Kemenko Perekonomian, Gambir, Jakarta, Jumat, 13 Maret.

Airlangga menjelaskan, isu-isu yang perlu penanganan khusus yakni ketersediaan stok dan pasokan pangan yang akan memengaruhi stabilitas harga pangan. Kemudian, pembatasan perjalanan dan mobilitas pekerja yang mempengaruhi sektor pariwisata dan transportasi.

Kemudian, lanjut Airlangga, disrupsi produksi, distribusi, dan rantai pasok yang mempengaruhi kinerja sektor manufaktur dan turunannya. Tak hanya itu, jatuhnya harga minyak dunia akibat pelemahan permintaan dan perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia juga menjadi sesuatu yang harus diperhatikan.

Stimulus Fiskal dalam Rangka Penanganan COVID-19

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dalam menyikapi perkembangan dampak COVID-19 terhadap perekonomian, pemerintah akan terus respons. Pada tahap pertama risiko terbatas hanya pariwisata, tetapi setelah satu bulan perkembangannya menjadi pandemi yang jelas memberi dampak risiko lebih besar.

"Situasi masih sangat dinamis. Kami akan terus terbuka terhadap situasi yang ada dan terus memitigasi minimalkan dampak, karena tidak bisa dihilangkan dampaknya. Baik untuk perusahaan, korporasi dan kepada masyarakat," tuturnya.

Pemerintah akan memberikan relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Relaksasi diberikan melalui skema PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100 persen atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai dengan Rp200 juta pada seluruh sektor industri manufaktur.

Sri Mulyani mengatakan, relaksasi ini juga termasuk kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) dan kemudahan impor tujuan ekspor industri kecil dan menengah (KITE IKM). PPh DTP diberikan selama enam bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020.

"Nilai besaran yang ditanggung pemerintah sebesar Rp8,60 triliun. Diharapkan para pekerja di sektor industri pengolahan tersebut mendapatkan tambahan penghasilan untuk mempertahankan daya beli," tuturnya.

Kemudian, lanjut Sri Mulyani, pemerintahan juga memberikan relaksasi pajak penghasilan pasal 22 (PPh 22) impor. Relaksasi diberikan melalui skema pembebasan PPh Pasal 22 impor kepada 19 sektor tertentu. Relaksasi ini berlaku untuk KITE, dan KITE IKM. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor diberikan selama enam bulan terhitung mulai bulan April hingga September.

"Total perkiraan pembebasan sebesar Rp8,15 triliun. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor. Perkiraan kami dari sisi PPh yang tidak akan dibayarkan, perusahaan diharapkan bisa memantain produksinya," tuturnya.

Sri Mulyani menjelaskan, untuk PPh 22 ini perusahaan yang akan melakukan impor barang tidak akan dikenakan pajak selama enam bulan. Relaksasi ini sifatnya hanya penundaan. Namun, setelah enam bulan jika pemerintah tidak memberikan perpanjangan relaksasi, maka perusahaan harus membayar pajak di bulan setelah relaksasi berakhir, termasuk penundaan selama enam bulan sebelumya.

"Kalau PPh 22 itu mereka impor dia langsung bayar. Sekarang kami tidak memungut sehingga tidak terkena lagi, tapi harus dihitung pada akhir tahun. Kalau ternyata pajak akhir tahunnya rendah itu mungkin malah dikembalikan," jelasnya.

Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, juga memberikan relaksasi pajak penghasilan pasal 25 (PPh 25). Relaksasi diberikan melalui skema pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu yang direkomendasikan oleh Kadin dan Apindo. Belaku tidak hanya untuk KITE, namun juga KITE-IKM selama enam bulan terhitung mulai bulan April hingga September.

"Total perkiraan pengurangan sebesar Rp4,2 triliun. Pemerintah akan memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost pemindahan negara asal impor dan ekspansi negara tujuan ekspor. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri dan diharapkan ekspor dapat meningkat," jelasnya.

Terkait dengan PPh 25, kata Sri Mulyani, sifatnya juga penundaan. Artinya, perusahaan atau badan yang sebelumnya melakukan pembayaran pajak dengan cara mencicil, selama enam bulan diberikan pembebasan sementara. Namun, saat nanti penghitungan tahunan akan dilihat jika perusahaan tersebut mengalami kerugian makan pajak tidak akan ditarik.

"PPh 25 itu korporasi setiap bulan menyicil pajak sesuai dengan estimasi mereka biasanya menggunakan base line tahun sebelumnya. Jadi kalau tahun lalu dia tinggi, maka dia harus mencicilnya tinggi. Jadi hari ini perusahaan tidak perlu lagi, nanti di akhir tahun dilihat kalau dia rugi ya tidak perlu bayar pajak. Jadi penundaan ini untuk perusahaan sangat membantu sekali," ucapnya.

Selain itu, kata Sri Mulyani, pemerintah juga memberikan relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Relaksasi diberikan melalui restitusi PPN dipercepat pengembalian pendahuluan bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama enam bulan, terhitung mulai bulan April hingga September. Total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp1,97 triliun.

"Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir, sementara bagi para non-eksportir besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp5 miliar. Dengan adanya percepatan restitusi, wajib pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya," terangnya.

Stimulus Non-Fiskal dalam rangka Penanganan COVID-19

Guna melengkapi paket kebijakan stimulus fiskal yang telah disampaikan, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah juga telah menyiapkan paket kebijakan non-fiskal yang bertujuan untuk lebih memberikan dorongan terhadap kegiatan ekspor-impor.

Pertama, kata Sri Mulyani, pemerintah akan melakukan penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan (Lartas) untuk aktivitas ekspor yang tujuannya untuk meningkatkan kelancaran ekspor dan daya saing. Dalam hal ini dokumen Health Certificate serta V-Legal tidak lagi menjadi dukumen persyaratan ekspor kecuali diperlukan oleh eksportir.

"Implikasinya, terdapat pengurangan Lartas ekspor sebanyak 749 kode HS yang terdiri dari 443 kode HS pada komoditi ikan dan produk ikan dan 306 kode HS untuk produk industri kehutanan," tuturnya.

Kedua, lanjut Sri Mulyani, penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan (Lartas) untuk aktivitas impor khususnya bahan baku yang tujuannya untuk meningkatkan kelancaran dan ketersediaan bahan baku.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (Mery Handayani/VOI)

Stimulus ini diberikan kepada perusahaan yang berstatus sebagai produsen dan pada tahap awal akan diterapkan pada produk Besi Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang selanjutnya akan diterapkan pula pada produk pangan strategis seperti garam industri, gula, tepung sebagai bahan baku industri manufaktur.

Terkait dengan duplikasi peraturan impor, Pemerintah juga akan melakukan penyederhanaan terutama pada komoditi, hortikultura, hewan dan produk hewan, serta obat, bahan obat dan makanan.

Ketiga, kata Sri Mulyani, percepatan proses ekspor dan impor untuk reputable traders, yakni perusahaan-perusahaan terkait dengan kegiatan ekspor-impor yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Pada prinsipnya, perusahaan dengan reputasi baik akan diberikan insentif tambahan dalam bentuk percepatan proses ekspor dan impor.

Insentif tambahan tersebut yakni penerapan auto response dan auto approval untuk proses Lartas baik ekspor maupun impor serta penghapusan laporan surveyor terhadap komoditas yang diwajibkan. Hingga saat ini sudah ada 735 reputable traders yang terdiri dari 109 perusahaan Authorized Economic Operator atau AEO dan 626 perusahaan yang tergolong Mitra Utama Kepabeanan atau MITA.

Keempat, katanya, peningkatan dan percepatan layanan proses ekspor-impor, serta pengawasan melalui pengembangan National Logistics Ecosystem (NLE). NLE merupakan platform yang memfasilitasi kolaborasi sistem informasi antar instansi pemerintah dan swasta untuk simplikasi dan sinkronisasi arus informasi dan dokumen dalam kegiatan ekspor atau impor di pelabuhan dan kegiatan perdagangan atau distribusi barang dalam negeri melalui sharing data, simplikasi proses bisnis, dan penghapusan repetisi, serta duplikasi.

Roadmap NLE mencakup antara lain integrasi antara INSW, Inaport, Inatrade, CEISA, sistem trucking, sistem gudang, sistem transportasi, sistem terminal operator, dan lainnya. Diharapkan dengan kehadiran NLE tersebut, dapat meningkatkan efisiensi logistik nasional dengan cara mengintegrasikan layanan pemerintah (G2G2B) dengan platform-platform logistik yang telah beroperasi (B2B).

Sekadar informasi, 19 industri yang mendapat relaksasi PPh 22 dan PPh 25 yakni:

1. Industri bahan kimia dan barang dari kimia

2. Industri peralatan listrik

3. Industri barang bermotor trailer dan semi trailer

4. Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional

5. Industri logam dasar

6. Industri alat angkutan lainnya

7. Industri kertas dan barang dari kertas

8. Industri makanan

9. Industri komputer, barang elektronik dan optik,

10. Industri mesin dan perlengkapan

11. Industri terkstil

12. Industri karet dan barang dari karet dan plastik

13. Industri furnitur

14. Industri percetakan dan reproduksi media perekaman

15. Industri barang galian bukan logam,

16. Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya

17. Industri bahan jadi

18. Industri minuman

19. Industri kulit dan barang dari kulit, serta alas kaki.