Delapan Catatan YLKI di Balik Naiknya Tarif Ojek <i>Online</i> Jabodetabek
Konferensi pers YLKI bersama Kementerian Perhubungan terkait naiknya tarif ojol Jabodetabek. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perhubungan sepakat untuk menaikan tarif batas bawah ojek online dari Rp2.000 per kilometer (km) menjadi Rp 2.250 per km dan tarif batas atas dari Rp2.500 menjadi Rp2.650 per km. Sebelum resmi menyepakati kenaikan tarif, Kemenhub juga telah berkoordinasi dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengaku, juga sempat mengkritisi Kemenhub terkait dengan alasan dasar kenaikan tarif tersebut. Setidaknya, ada delapan catatan yang disampaikan pihaknya kepada Kemenhub.

"Kenaikkan tarif ojol ini bukan hanya setuju atau tidak setuju. Tapi kompromi untuk driver dan konsumen. Dalam pembahasan, memang dari besaran yang dilakukan hingga akhir, keputusan masih dalam koridor keterjangkauan konsumen," katanya, di Kantor Kementerian Perhubungan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa, 10 Maret.

Pertama, kata Tulus, YLKI mengingatkan Kemenhub untuk tidak menaikkan tarif ojol hanya karena desakan dalam bentuk unjuk rasa, yang dialamatkan kepada Kemenhub. Sebab, kebijakan publik tidak boleh berbasis tekanan.

"Dari sisi kebijakan jangan sampai dilakukan hanya karena aksi demonstrasi. Sebagai kebijakan publik itu enggak sehat. Kalau dilakukan karena adanya tekanan dari masa dan driver, ke depan saya kira jangan suka menekan. Massa menekan pemerintah, itu jadi preseden buruk. Kebijakan publik harus berbasis karena kebutuhan," jelasnya.

Kemudian, lanjut Tulus, catatan lainnya yakni tingkat keselamatan sepeda motor paling rendah baik untuk pribadi apalagi secara katagori angkutan umum.

"Ini roda dua di manapun tempatnya tingkat keselamatan rendah. Sekalipun di industri otomotif enggak ada untuk buat angkutan umum, munculnya ojek online itu kecelakaan sejarah, karena pemerintah terlambat merespon angkutan umum yang memadai dan manusiawi," katanya.

Ketiga, kata Tulus, dalam hal moda tranposrtasi khususnya ojol, skala pertama adalah mengutamakan aspek keselamatan bagi driver. Data Kemenhub dari Kepolisian dan Jasa Raharja, 70 persen kecelakaan menggunakan sepeda motor. "Kecelakaan lalu lintas di Indonesia 30 ribu per tahun," jelasnya.

Menurut Tulus, catatan keempatnya yakni mengenai pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa terhadap pengguna jasa. Ia mengatakan, fasilitas yang sempat baik di awal tidak bertahan hingga saat ini. Sehingga, Tulus meminta fasilitas masker dan shower cap diberikan kembali oleh pihak penyedia jasa.

"Karena itu kami minta kebijakan awal driver dibekali masker dan penutup kepala. Apalagi, saat ini lagi musim COVID-19. Mediator bisa jadi di ojol. Di Batam orang Singapura kena saat naik ojol dan driver ojol kena. Jas hujan juga penting. Jadi angkutan umum harus dibekali hal-hal perlindungan konsumen," terangnya.

Catatan kelima, kata Tulus, mengenai potongan dan segala macamnya. Keenam, untuk di kota besar seperti Jakarta ojol harus diposisikan sebagai transportasi pengumpan dari angkutan massal yang sudah siap seperti MRT, LRT, Trans Jakarta dan segala macam. "Ojol hanya pengumpan ke tranportasi massal," jelasnya.

"Ketujuh, dari sisi keselamatan dan pelayanan didorong salah satunya kualitas kendaraan dan driver. Kami menemukan driver disabilitas, ini baik untuk mengakomodir. Tapi jadi tidak safety diposisikan jadi driver. Pernah juga taksi online ada sopir yang pendengarannya kurang. Ini saya ngeri sekali. Kalau disabilitas jangan di garda depan," sambungnya.

Catatan kedelapan, kata Tulus, yang tidak kalah penting yakni dari sisi asuransi harus dijamin dengan asuransi yang ada. "Mimimal Jasa Raharja itu setiap transkasi konsumen dengan angkutan umum harsus dilindungi Jasa Raharja," tuturnya.