Murka atas RUU Omnibus Law di Hari Perempuan Internasional
Aksi perayaan Hari Perempuan Internasional di Jakarta (Diah Ayu Wardani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Massa perempuan berkumpul di depan Gedung Bawaslu RI, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, jelang akhir kegiatan Car Free Day (CFD), hari ini.

Mereka menggelar aksi peringatan Hari Perempuan Internasional, yang jatuh pada 8 Maret. Aksi mereka mengatasnamakan Gerak Perempuan. Namun, yang mereka lakukan bukan cuma kegiatan seremonial. Mereka menggelar aksi protes terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. 

Di titik kumpul awal depan Gedung Bawaslu, massa yang kebanyakan berusia muda tersebut memegang poster warna-warni. Tulisannya bervariasi, namun memiliki satu sikap menuntut kesetaraan gender dan perlindungan hak perempuan. 

Selang beberapa waktu, menyusul massa dari kalangan buruh perempuan di Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa bus dan membawa mobil komando. Mergabung dalam barisan massa Gerak Perempuan. Riuh tepuk tangan Gerak Perempuan kian menderu seiring banyaknya massa buruh yang bergabung. 

Aksi perayaan Hari Perempuan Internasional di Jakarta (Diah Ayu Wardani/VOI)

Di bawah terik siang hari, barisan mulai bergerak ke arah utara di jalan MH Thamrin dengan tujuan akhir Taman Pandang, Silang Monas Barat Laut. Aparat kepolisian mengamankan barisan dan melakukan pengaturan arus lalu lintas agar aksi ini berjalan lancar.

Dalam orasi di tengah pergerakan barisan, koordinator aksi sekaligus aktivis Lini Zurlia berujar, Omnibus Law RUU Ketahanan Keluarga yang sedang dirancang pemerintah dan DPR dianggap sebagai upaya kekerasan terhadap perempuan secara sistematis.

"Aksi yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional adalah perjuangan kelompok perempuan untuk haknya yang sejak lama tidak dilpenuhi. Ditambah ada kekerasan perempuan bersifat sistematis, aturan tersebut merugikan kaum perempuan sejak dalam rumah hingga kebebasan di ruang publik," orasi Lini di lokasi, Minggu, 8 Maret. 

Terdapat sejumlah pasal yang dianggap merugikan kaum perempuan dalam RUU Ketahanan Keluarga. Beberapa di antaranya adalah pengaturan soal penyimpangan seksual, kewajiban istri mengurus rumah tangga, dan soal sperma.

Di dalam bab penjelasan RUU Ketahanan Keluarga, sejumlah pasal membahas soal penyimpangan seksual, yang dalam penjelasannya dilekatkan dengan Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT), seperti Pasal 86 dan 87.

Pasal 86 menyebutkan: "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Sedangkan pasal 87 berbunyi: "Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Kemudian perdebatan publik terjadi pada Pasal 25 ayat (3) yang menyebut kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri, yakni:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aksi perayaan Hari Perempuan Internasional di Jakarta (Diah Ayu Wardani/VOI)

Selain mengatur soal penyimpangan seksual, RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur soal hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait sperma dan ovum rakyat Indonesia. Setidaknya, ada empat pasal dalam RUU yang mengatur terkait hal itu.

Pasal 26 ayat (1) menyebut pasangan suami istri berhak melakukan reproduksi. Kemudian pada ayat (2) diatur reproduksi bisa dilakukan secara alamiah dan menggunakan teknologi perantara.

"Setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah berhak memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dengan cara alamiah atau teknologi reproduksi bantuan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami-istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal," tulis RUU tersebut.

Kemudian, pasal 31 RUU itu melarang praktik jual beli sperma atau ovum untuk keperluan memperoleh keturunan. Pada ayat (2) juga melarang setiap orang untuk membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain untuk memperjualbelikan sperma ataupun ovum.

"Harusnya, negara menjalankan sistem berkeadilan gender yang mengedepankan pemenuhan hak asasi manusia sebagai landasan pembangunan," kata Lini. 

Sementara itu, Juru bicara kaum buruh, sekaligus Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, juga menolak kerugian yang didapatkan oleh kaum buruh perempuan ketika nanti Omnibus Law Cipta Kerja disahkan. 

"Aksi ini adalah kami kelompok gerak perempuan menuntut melawan kekerasan sistematis yang dilakukan negara kepada perempuan hari ini. Kita menolak dan meminta hentikan pembahasan Omnibus Law RUU cilaka karena aturan tersebut memonopoli kaum buruh dan tidak mengedepankan partisipasi publik," ungkap Nining. 

Dari 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal dalam omibus law ini, menjadi masalah ketika tidak satu pun pasal yang mencantumkan aturan cuti hamil-melahirkan, dan cuti haid. RUU ini dinilai akan mengancam dan merugikan kaum perempuan di lingkungan tenaga kerja Indonesia.

Saat ini, hak libur dan cuti diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mulai dari pasal 79, 81, 82, 83 dan 84. 

Sementara itu, pada draf RUU Cipta Kerja tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam lima pasal di atas. Draf RUU tersebut tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dari empat pasal itu, sebagaimana terjadi untuk pasal-pasal lain di seluruh bagian draf.

Aksi perayaan Hari Perempuan Internasional di Jakarta (Diah Ayu Wardani/VOI)

Dalam draf RUU Cipta Kerja, poin hak libur dan cuti hanya dibahas pada perubahan atas pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam draf RUU Cipta Kerja, ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

"Perempuan semakin dilegitimasi dengan sistem magang dan kontrak yang semakin dibebaskan kepada perusahaan. Rakyat tak lagi memiliki kepastian kerja karena sistem semakin fleksibel. Buruh bisa saja di-PHK kapanpun," kata Nining. 

Dalam RUU Cipta Kerja, ada pemanis yang ditawarkan pemerintah. Bentuk dari pemanis adalah uang bonus yang setara dengan lima kali gaji bagi seluruh pekerja resmi.

Namun, Nining merasa hal tersebut tidaklah bisa menutupi ketidakpastian pemenuhan hak kerja buruh dalam RUU Cipta Kerja. "Itu miris. Selama ini, buruh buktinya tidak dilindungi. Harusnya berikan hak kerja yang layak dulu baru ada tambahan uang pemanis," tutup dia.