Efektifkah Sertifikat Bebas COVID-19 Bagi Pendatang dari Luar Negeri?
Wakil Presiden Ma'ruf Amin (Instagram @kyai.marufamin)

Bagikan:

JAKARTA - Pasca ditemukannya dua orang yang untuk pertama kalinya terjangkit COVID-19 akibat kontak dari warga negara Jepang di dalam sebuah kegiatan, pemerintah bakal meminta sertifikat bebas virus corona untuk warga negara asing yang ingin masuk ke Indonesia dengan tujuan menekan penyebaran virus.

Hanya saja, mewajibkan hal tersebut bagi yang akan masuk ke Indonesia tampaknya tak akan begitu efektif. Mengingat bisa saja saat dalam perjalanan dan sampai di tempat tujuan, pelancong tersebut baru menunjukkan gejala COVID-19 seperti demam, sakit tenggorokan, dan lesu.

Awalnya pernyataan soal sertifikat ini disampaikan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Hanya saja, dia mengatakan akan ada sertifikasi bukan meminta sertifikat bagi mereka yang akan masuk ke Indonesia. Alasannya, agar ada langkah pengawasan terhadap penyebaran virus tersebut.

"Bahkan mungkin juga kita akan menerapkan sertifikasi bebas korona, dan kita juga akan meneliti jejak perjalanan kemana saja dia dan dari mana saja," kata Ma'ruf kepada wartawan, Rabu, 4 Maret di Kantor Wapres, Jakarta.

Memperjelas maksud Ma'ruf, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan sertifikat ini bukan akan dikeluarkan oleh pemerintah melainkan oleh negara-negara yang menjadi pusat penyebaran virus tersebut, seperti Korea Selatan, Jepang, Iran, dan Italia.

Hanya saja saat ditanya lebih jauh soal sertifikat tersebut, mantan Panglima TNI ini ogah menjawab lebih lanjut. Sebab dirinya belum tahu detil dari sertifikat tersebut.

"Aku kurang mengerti pastinya. Tapi ada pernyataan dari otoritas kesehatan bahwa yang bersangkutan tidak dalam keadaan sakit, selama kurun waktu sekian hari," jelas Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 4 Maret sambil menambahkan selain sertifikat bebas COVID-19, pemerintah bakal mengecek riwayat perjalanan mereka yang akan masuk ke Indonesia.

Keefektifan surat bebas COVID-19

Meski pemerintah seakan begitu yakin dengan adanya sertifikat sehat itu, angka penyebaran virus COVID-19 bisa ditekan tapi menurut Peneliti bidang mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi (LIPI), Sugiyono Saputra sertifikat tersebut tak akan begitu bermanfaat untuk menekan peredaran COVID-19. Karena masa inkubasi virus tersebut kini lebih panjang dari perkiraan awal atau sekitar 20 hari.

"Pasti ada rentang waktu ketika melakukan pemeriksaan COVID-19 dengan jadwal travelingnya. kalaupun hasilnya negatif, bisa saja dalam rentang waktu itu, orang tersebut baru terinfeksi dan ini tidak terantisipasi." kata Sugiyono kepada VOI lewat pesan singkat, Kamis, 5 Maret.

Memang pengujian bisa dilakukan sehari atau dua hari sebelum keberangkatan. Namun, jika dia penyakit asimtomatik atau penyakit yang tidak disadari oleh pasien maka hasil yang muncul di awal bisa saja tidak akurat.

"karena hasil pengujian akan memberikan false negatif yang besar," ungkapnya.

Sehingga, daripada mengambil risiko dengan tetap menerima kunjungan dari warga negara asing atau warga Indonesia yang baru berasal dari luar negeri, seharusnya pemerintah menutup akses masuk sementara bagi mereka yang baru melakukan perjalanan.

"Dengan melarang sementara pendatang atau WNA saya kira akan lebih efektif untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Indonesia," tegasnya sambil menambahkan sudah ada beberapa negara seperti Singapura, Australia, dan Amerika melakukan hal tersebut sebagai langkah mencegah penyebaran virus tersebut.

Apa yang disampaikan Sugiyono ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah. Sebab, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menyatakan Indonesia tertutup bagi warga negara asing baik pelancong maupun yang transit dari Iran, Italia, dan Korea Selatan.

Secara spesifik dia menyebut daerah yang dilarang tersebut adalah meliputi Kota Qom, Teheran, dan Provinsi Gilan di Iran; wilayah Lombardy, Veneto, Emilia-Romagna, Marche, dan Piedmont di Italia; dan wilayah Daegu dan Provinsi Gyeongsang. Sementara bagi wilayah lain, tetap diperbolehkan masuk asal memiliki sertifikat sehat yang dikeluarkan dari otoritas kesehatan setempat.

"Tanpa surat keterangan sehat dari otoritas yang berwenang maka para pendatang dan travellers tersebut akan ditolak masuk atau transit di Indonesia,” kata dia.

Sementara untuk warga Indonesia, tetap diperbolehkan masuk asalkan telah menjalankan pemeriksaan tambahan di bandar udara. Ia mengatakan kebijakan ini berlaku mulai Minggu 8 Maret pukul 00.00 WIB dan bersifat sementara dan dapat disesuaikan menurut perkembangan di lapangan.

Diketahui, tiga negara yang penduduknya dilarang masuk atau transit itu memang menjadi zona merah penyebaran COVID-19 di dunia. Italia misalnya, saat ini menjadi negara terbesar dengan jumlah kasus mencapai 3.853 orang dan 148 orang meninggal. Adapun mereka yang sembuh jumlahnya mencapai 414 orang.

Selanjutnya Iran menjadi negara dengan korban corona terbesar di Timur Tengah. Sampai saat ini kasus virus COVID-19 di Iran mencapai 3.513, dengan 107 orang meninggal dan yang sembuh mencapai 739 orang.

Terakhir adalah Korsel, di Asia, negara ini menjadi negara yang mencatatkan kasus COVID-19 terbanyak setelah China. Di negeri gingseng ini ada 6.088 kasus infeksi dan 35 orang yang meninggal. Sementara mereka yang disembuhkan sampai saat ini 41 orang.

Ucapan Ma'ruf membuat panik

Terkait dengan pernyataan Ma'ruf yang mengatakan bakal ada sertifikasi bebas COVID-19, Tenaga Ahli Madya KSP Erlinda kembali meluruskan jika sertifikasi itu dikeluarkan oleh negara asal pelancong bukan Indonesia yang mengeluarkan. 

Dia juga mengatakan, setelah Ma'ruf menyatakan soal sertifikasi, hotline untuk informasi terkait COVID-19 dihubungi terus dihubungi masyarakat yang meminta agar mereka harus mempunyai surat bebas corona.

"Nah, ini yang kami harus luruskan. Iya, ini yang kami harus luruskan bahwa negara tidak mengeluarkan itu," ujar Erlinda ketika lewat sambungan telepon dalam sebuah acara di Jakarta, Kamis, 5 Maret.

Sehingga jika masyarakat bersikeras meminta sertifikat atau surat itu kepada otoritas kesehatan Indonesia tentunya tidak tepat. Mengingat yang mengeluarkan surat bebas COVID-19 dikeluarkan oleh negara yang terdapat kasus penularan virus tersebut.

Diberitakan sebelumnya, dua WNI dinyatakan terjangkit virus COVID-19 setelah melakukan kontak dengan seorang warga negara Jepang. Temuan tersebut merupakan kasus pertama di wilayah Indonesia, yang selama ini pemerintah mengaku belum ada penyebaran virus.

Dua orang ini mempunyai hubungan keluarga sebagai ibu dan anak. Setelah dinyatakan positif terjangkit COVID-19, keduanya kini dirawat di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta untuk diisolasi sesuai dengan aturan yang ada.