Melihat Perjuangan Bawah Tanah Sutan Syahrir
Sutan Syahrir (Foto: commons wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Sutan Syahrir adalah salah satu perintis berdirinya Republik Indonesia dan merupakan perdana menteri pertama Indonesia. Ia lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat hari ini lebih dari seabad lalu tanggal 5 Maret 1909. Syahrir adalah tokoh pahlawan nasional yang dikenal dalam perjuangan bawah tanahnya.

Mengutip laman kemdikbud.go.id, ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ia mempunyai saudara perempuan yang bernama Rohana Kudus.

Syahrir memang berasal dari keluarga dari keluarga berada. Ayahnya menjabat sebagai penasihat Sultan Deli dan juga kepala jaksa atau landraad pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat sekolah dasar.

Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, ia kemudian masuk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama atau SMP. Di sini ia banyak membaca buku-buku asing terbitan Eropa dan juga karya-karya sastra dari luar. 

Tamat dari MULO pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung.

Menurut sejarawan Des Alwi, nasionalisme Sutan Syahrir tumbuh pertama kali ketika mendengar pidato Dr. Tjipto Mangunkusumo. Saat itu Tjipto tengah berpidato di alun-alun Bandung. 

Awalnya Syahrir, kurang menyukai bergaul dengan kaum "pemberontak". Namun, karena kawan sekelasnya, Boediono membujuk dan mengajaknya jalan-jalan, dari situ kemudian ia mulai tertarik dengan semangat kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan. Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun dalam dunia politik. 

Dia dikenal sebagai penggagas dalam berdirinya Jong Indonesia (Himpunan Pemuda Nasionalis) pada 20 Februari 1927 yang kemudian mengubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Organisasi itu kemudian menjadi penggerak dimulainya Kongres Pemuda Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 

Bernapas di bawah tanah

Tak seperti Soekarno maupun Hatta yang berjuang terang-terangan, Syahrir lebih bergerak di bawah tanah. Rosihan Anwar dalam bukunya Sutan Sjahrir: negarawan humanis, demokrat sejati yang mendahului zamannya (2011), sampai menyebut Syahrir bernapas "di bawah tanah."

Pada saat Jepang pertama kali menduduki Nusantara misalnya. Tindakan pertama fasis Jepang pada saat itu adalah menyegel pesawat radio. Informasi dari luar negeri diputus sehingga orang Indonesia berada dalam kegelapan informasi. 

Namun Syahrir yang kala itu memiliki pesawat radio gelap yang tidak disegel Jepang, secara diam-diam mendengarkan siaran radio Sekutu. Ia berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendengarkan radio demi mencari informasi-informasi terbaru tentang Jepang dan dunia internasional.

Kemudian gerakan bawah tanah Syahrir lainnya yakni memimpin suatu gerakan di bawah tanah. Ia mengadakan diskusi-diskusi politik dengan generasi muda. 

Syahrir sadar gerak-geriknya sering diawasi. Paslnya ia banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Ia juga menerima banyak tamu dari berbagai kalangan. 

Seperti misalnya dari daerah Maluku, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Mereka yang datang mulai dari kurir, buruh-buruh minyak, sampai orang-orang pemimpin gerakan. 

Selain itu Sutan Syahrir berkecimpung dalam aksi pendidikan ‘melek’ huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat). 

Senja kala Syahrir

Menjelang kemerdekaan, Syahrir adalah salah seorang yang punya sikap seperti golongan muda: mendesak kemerdekaan secepatnya. Bahkan anggota gerakan di bawah tanah pimpinan Syahrir di daerah, disiagakan untuk memproklamasikan sendiri kemerdekaan apabila hal itu gagal dilakukan di Jakarta. 

Setelah Indonesia merdeka, Syahrir menjadi Perdana Menteri pertama. Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir kemudian diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. 

Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Namun pada tahun 1951 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. 

Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita strok. 

Lalu kemudian Syahrir diizinkan untuk berobat ke Swiss. Syahrir akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.