Prestasi Liem Swie King Tak Membuatnya Kebal dari Diskriminasi Etnis Tionghoa
Lim Swie King (Foto: Instagram @liemswiekingsmash)

Bagikan:

JAKARTA - Legenda bulu tangkis keturunan etnis Tionghoa Liem Swie King lahir hari ini, 28 Februari, 64 tahun lalu atau tahun 1956 di Kudus. Kariernya meroket di tengah sentimen negatif warga mayoritas yang tergolong bumiputera atau pribumi terhadap etnis Tionghoa. Lim Swie King mencatat prestasi dan membawa harum nama bangsa Indonesia. 

Dia memulai debutnya pada tahun 70-an. Pada tahun itu, Indonesia berada di bawah kekuasaan rezim Soeharto atau orde baru (Orba). Menurut Irwanti Said dalam tulisan tinjauan sosiologisnya yang dimuat Jurnal Mimbar Kesejahteraan Sosial (2019) menjelaskan, wacana konflik etnis China dan Pribumi dimunculkan kembali pada saat rezim Soeharto. 

Pada zaman Orba, ada undang-undang diskriminatif seperti larangan penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan berbahas China lewat Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI No.02/SE/Ditjen-PPG/K/1988. Selain itu ada juga larangan agama, kepercayaan dan adat-adat istiadat China lewat Keputusan Presiden no. 14 tahun 1968. 

Memang sentimen negatif terhadap etnis China sudah berlangsung sejak masa sebelum kemerdekaan. Mengutip tulisan Hendri F. Isnaeni dalam Historia, sentimen itu masih terus berlanjut pasca kemerdekaan seperti yang terjadi di Tangerang pada tahun 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947.

Rasialisme terhadap etnis Tionghoa semakin menguat sejak 1965 karena Republik Rakyat China dianggap sebagai sponsor utama Gerakan 30 September 1965. Sejak peristiwa itu, segala sesuatu berbau Tiongkok diberantas. Sementara berbagai pembatasan mulai diberlakukan seperti pembatasan masuk perguruan tinggi, menjadi tentara, menjadi pegawai negeri sipil, dan sebagainya.  

Prestasi King

Kendati sentimen terhadap etnis Tionghoa masih bergejolak di masyarakat, Liem Swie King fokus berlatih bulu tangkis. Ia sudah bermain bulu tangkis atas sejak kecil atas dorongan orangtuanya. 

Kegemarannya bermain bulu tangkis semakin terasah ketika ia bergabung dalam Persatuan Bulu Tangkis Djarum empat tahun pasca Gestapu atau pada 1969. Di sana, King dikenal sebagai seorang atlet yang rajin berlatih. "Lintasan menanjak di daerah Colo dan Kaliyitno (Kudus) menjadi saksi kegigihan King," catat laman pbdjarum.org

Hasil latihan King berbuah manis. Pada usia 17 tahun, ia berhasil memulainya dengan menyabet medali emas PON. Sejak saat itu namanya mulai dikenal masyarakat nasional. Pada tahun 1973 ia kemudian dipanggil masuk pemusatan latihan nasional (Pelatnas) pada akhir tahun 1973. 

Namanya semakin terkenal di kalangan internasional setelah ia mampu menantang idolanya Rudi Hartono di final All England tahun 1976. Sejak saat itu, karier fenomenalnya meroket. Ia menjadi runner up All England secara beruntut pada 1976 dan 1977. 

Karirnya terus meningkat setelah itu, Swie King menjadi juara tahun 1978 dan 1979. Selain itu ia mengukir rekor sendiri menjadi "raja bulu tangkis" yang tak terkalahkan selama 33 bulan. 

Kepiawaiannya dalam mengayunkan raket, membuat Liem Swie King dijuluki the king of smash. Masih ditulis pbdjarum.org, Swie King memang memiliki smash khas yakni memukul bola dengan keras sambil meloncat. 

Prestasinya di dunia bulu tangkis hampir tak terhitung. Dalam laganya di piala Thomas misalnya, ia berhasil memboyong piala tersebut di tahun 1976, 1979, dan 1984 dari enam kali keikutsertaannya membela merah putih.

Swie King memutuskan untuk pensiun dari bulu tangkis setelah berkiprah selama 15 tahun. Usai gantung raket, ia tak meneruskan karirnya di bulu tangkis seperti atlet lain yang memilih untuk menjadi pelatih. Atlet asli Kudus ini memilih untuk menjadi pengusaha.

King tak kebal diskriminasi

Swie King mungkin bisa dibilang pahlawan karena telah membuat harum nama Indonesia di kancah internasional. Namun, rupanya hal itu tak cukup untuk menangkal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa khususnya Swie King. Begini ceritanya.

Mengutip Reformata edisi 1 April 2003, pada Maret 2003 usai reformasi, Swie King bersama anggota Komunitas Bulu Tangkis Indonesia yang dipimpin Tan Joe Hoek menemui Wakil Presiden Hamzah Haz untuk menyampaikan keluhan mengenai kewarganegaraan. Selain Swie King dan Joe Hoek ada juga legenda bulu tangkis lain seperti Hendrawan, Chandra Widjaya, dan Icuk Sugiarto. 

Para pahlawan Bulu Tangkis Indonesia itu terpaksa mengadu langsung ke wapres karena sudah lama mengalami dan menanggung perlakuan diskriminatif dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan administrasi kewarganegaraan.   

Dalam berbagai urusan administrasi kependudukan, mereka harus menyertakan surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok untuk tetap menjadi WNI.

"Mereka adalah nama-nama besar yang telah memberi sumbangsih bagi keharuman bangsa dan negar di masyarakat internasional, tetapi masih saja diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di negeri sendiri," tulis Reformata

Karena urusan kewarganegaraan tersebut, mereka menjadi kesulitan mulai dari masuk sekolah sampai melamar kerja. Mereka wajib menyertakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Padahal, hal itu sebenarnya cukup menyertakan Kartu Tanda Penduduk atau akte surat kenal lahir. 

Perlakuan yang dialami para pahlawan bulu tangkis itu mencerminkan bahwa mereka yang sudah mengharumkan bangsa pun tak kebal dari perlakuan diskriminatif. Padahal saat itu era Soeharto sudah bubar.