Melihat Kecenderungan Pemerintah yang Bikin Aturan Semaunya
Suasana kota Jakarta (unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Belakangan ini, publik kerap dibuat bertanya-tanya dengan kebijakan rencana kebijakan yang sedang digodok oleh pemerintah. Tak jarang mereka membuat kebijakan tanpa mengikutsertakan masyarakat di dalamnya.

Bukan hanya asumsi, sebab hal ini sudah terbukti beberapa kali pemerintah abai mendengar masukan publik terkait rancangan perundangan. Pertama, adalah soal revisi UU KPK yang kini sudah diatur dalam UU KPK 19/2019. Revisi yang dianggap melemahkan gerak lembaga antirasuah ini tetap disahkan meski kerap ditolak oleh publik.

Penolakan revisi UU KPK dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) serta RUU yang kontroversial lainnya sebenarnya cukup masif. Sebab, mahasiswa dari berbagai universitas di berbagai wilayah Indonesia turun ke jalan melakukan aksi. Akibatnya, RKUHP urung dilakukan namun RUU KPK saat itu kemudian disahkan.

Hal yang tak jauh berbeda juga dilakukan oleh pemerintahan 2019-2024. Mereka seakan sengaja memancing publik untuk bereaksi. Sebab, baru tiga bulan berjalan, sejumlah aturan yang tak sesuai kebutuhan rakyat muncul.

Adapun undang-undang yang dimaksud adalah RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang disebut merugikan kaum buruh dan sempat salah ketik saat draf atau rancangannya diajukan ke DPR RI. Selain RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu, ada juga RUU Ketahanan Keluarga yang dianggap sebagai bentuk negara mengintervensi ranah privat seseorang.

Adapun pengusul RUU ini merupakan lima anggota dewan, yaitu Sodik Mudhajid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.

Menanggapi kesan sewenang-wenangnya pemerintah dalam membuat perundangan, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menyebut ada teori yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini, yaitu teori dari Lord Acton (1834-1902) yang menulis: Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.

"Kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. But absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan yang absolut, maka penyalahgunaan kekuasaannya pun akan besar," kata Ujang dihubungi oleh VOI, Jumat, 28 Februari.

Dia menilai, pemerintah yang serba maunya sendiri, jika berkaca dari teori yang ada maka bukan tak mungkin menjadi pemerintah yang korup pada masa selanjutnya. "Pemerintah yang semaunya akan cenderung korup," tegasnya.

Agar pemerintah yang korup ini tak terjadi, peneliti LIPI Aisah Putri Budiarti (Puput) ada sejumlah langkah yang harus diambil. Pertama, sebagai pemegang mandat, Presiden Joko Widodo harusnya memastikan pemerintahannya tak membuat aturan yang seenaknya dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

"Jika hal ini dilakukan maka beberapa kontroversi yang ada tidak akan terjadi, misalnya penilaian bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja hanya menguntungkan pengusaha atau investor," ungkap Puput saat dihubungi lewat pesan singkat.

Selain itu, sebagai kepala negara, harusnya Jokowi memastikan segala aturan yang akan dibuat melalui proses riset terlebih dahulu. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), menurut Puput, harusnya membuat draf atau rancangan yang benar-benar melalui proses riset dan diskusi dengan masyarakat atau publik.

Tujuannya, agar rancangan perundangan yang diserahkan ke DPR RI benar matang dan tak bermasalah secara substansi dan sesuai keinginan rakyat. "Hal ini tentu tak hanya berlaku bagi pemerintah tapi juga parlemen DPR, karena DPR kan juga berhak mengusulkan sebuah UU seperti RUU Ketahanan Keluarga," kata peneliti tersebut.

Aksi buruh menolak RUU Cipta Kerja. (Mery Handayani/VOI)

Keseriusan, kata Puput menjadi salah satu hal yang penting bagi pemerintah untuk menunjukkannya pada publik. Termasuk saat memasukkan RUU ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas.

Jangan sampai, kejadian seperti RUU Ketahanan Keluarga yang sempat menghebohkan namun belakangan fraksi pengusulnya kemudian menarik diri. Sebab ketika satu rancangan perundangan masuk ke dalam prolegnas prioritas, maka, harus diketahui secara jelas melalui riset terkait urgensi dan substansinya.

Tak hanya menyinggung soal riset, Puput juga menyinggung soal pentingnya naskah akademik terkait rancangan undang-undang. Kata dia, pemerintah tak bisa lagi menganggap remeh naskah tersebut.

"Pemerintah dan parlemen tidak bisa lagi menganggap remeh proses penyusunan naskah akademik yang jadi cikal bakal sebuah RUU. Apalagi di tengah keterbukaan informasi dan kondisi saat ini dimana publik semakin melek informasi," tutupnya.