Jelang Pilkada 2020, Mungkinkah Politik Uang Menghilang?
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyinggung soal politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Tahun ini, sejumlah daerah akan menggelar pilkada. 

Bagi Mahfud, politik uang atau money politic bukanlah barang baru, sebab sudah terjadi ketika calon kepala daerah dipilih DPRD yang terjadi pada Orde Baru. Kini, pola politik uang itu berganti karena sistemnya juga berubah. Praktik ini sekarang tidak dilancarkan ke DPRD, tapi ke pimpinan partai. Pemberian uang ke pimpinan partai, kata Mahfud, adalah mahar politik.

"Dulu money politics dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD sekarang berpindah ke pimpinan partai. Ndak bayar ke DPRD, bayar ke Partai, mahar namanya. Ini terus terang saja, begitu. Apa betul? Ya betul, ya betul lah. Wong sudah dimuat di koran begitu," kata Mahfud dalam sambutannya di acara yang digelar di Hotel Grand Paragon, Jakarta Barat, Senin, 24 Februari.

Dia pun berharap pola seperti ini tidak ada lagi. "Mari kita sekarang mencari keseimbangan baru," ujarnya.

Diketahui, praktik mengenai mahar politik memang kerap terjadi saat menjelang pemilihan umum terutama pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif. Motifnya pun sama seperti apa yang dikatakan Mahfud, mereka yang gagal maju akan buka-bukaan terkait praktik mahar politik tersebut.

Di tahun 2018, misalnya, La Nyalla Mataliti mengatakan, adanya praktik mahar politik atau politik uang kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk maju ke Pilkada Jawa Timur. La Nyalla mengatakan, Prabowo sempat menanyakan kesediaannya membayar Rp200 miliar untuk mendapatkan izin jadi calon kepala daerah.

"Karena di belakang saya banyak didukung pengusaha-pengusaha muslim," kata La Nyalla saat membeberkan soal praktik mahar politik yang menimpanya itu di tahun 2018.

Selain itu, mantan Ketua PSSI ini juga membeberkan pernah dimintai uang oleh Prabowo lewat Ketua DPD Gerindra Jatim, Supriyanto sebesar Rp40 miliar. Alasannya, uang itu akan digunakan sebagai uang operasional. Meski awalnya dia mengaku kaget dan menganggap soal mahar itu hanya bercanda, namun belakangan Prabowo menagih uang itu.

Belakangan, pernyataan La Nyalla ini hilang dan tak ada kelanjutannya. Sebab, saat dipanggil dan akan diperiksa oleh Bawaslu terkait pernyataannya, La Nyalla berkali-kali mangkir. Selain itu, dia mengklarifikasi uang Rp40 miliar yang diminta Prabowo bukanlah mahar politik melainkan hanya sebagai dana saksi.

Soal pembayaran mahar politik ini juga sempat berhembus di Partai Hanura yang diketuai Oesman Sapta Odang. Kader partai yang berasal dari Papua, Yan Mandenas mengaku dimintai uang untuk jadi calon Bupati Biak Numfor. Dia mengaku punya bukti komunikasinya dengan seorang pengurus Hanura. Yan juga sempat bertemu dengan OSO dan dimintai mahar sebesar Rp350 juta untuk satu kursi.

Belakangan, Yan urung maju sebagai calon Bupati Biak Numfor. Sementara OSO menyebut, mahar politik sebenarnya sah saja bila masuk ke dalam kas partai bukan masuk ke kantong pribadi.

"Mahar politik itu kalau ada mekanisme partai, sah saja, tapi harus masuk ke partai, enggak boleh masuk ke kantong sendiri. Haram itu," ujar OSO saat dimintai tanggapannya soal isu mahar politik di partainya.

Rahasia umum yang terus berulang

Politik uang yang bergeser jadi mahar politik, menurut pengamat politik dari LIPI Aisyah Putri Budiarti (Puput) merupakan rahasia umum yang kerap berulang tiap pemilu akan digelar.

Mahar politik ini biasanya diberikan agar calon mendapat restu dari ketua umum parpol untuk maju dalam pemilihan tersebut. Sebab, saat ini, rakyat menjadi penentu terpilih atau tidaknya calon kepala daerah itu.

Akibatnya, kini proses pemberian mahar dilakukan terhadap ketua umum partai politik dengan tujuan agar calon bisa maju dalam pilkada maupun pileg. Namun, Puput menyebut, tak semua partai menerapkan mahar politik. 

"Tidak dapat dipukul rata bahwa mahar politik ini pasti terjadi dalam setiap perhelatan Pilkada ataupun Pileg. Sangat mungkin ada pengecualian, dimana ada juga calon yang kapasitas dan popularitasnya dipilih partai untuk didukung tanpa mahar apapun," kata Puput sama dihubungi VOI lewat pesan singkat, Senin, 24 Februari.

Meski praktik ini terus terjadi, namun Puput menilai, pemberian mahar politik atau praktik politik uang ini sejatinya bisa dihentikan jika ada kemauan dari semua pihak. Termasuk partai politik sebagai kendaraan calon yang akan berlaga di pilkada. 

Katanya, ada beberapa cara untuk menghentikan munculnya mahar politik. Di antaranya, memberi jeda selama 2,5 tahun terhadap pemilu tingkat nasional dan daerah.

"Tujuannya agar ada efek ekor jas antara partai dengan kandidat di Pilpres maupun Pilkada. Selain itu, ada efek reward -penghargaan- bagi partai, kepala daerah, maupun presiden yang baik dan punishment -hukuman bagi yang buruk," ungkap Puput sambil menambahkan praktik ini bisa memberikan motivasi bagi partai untuk memilih kandidat kepala daerah yang mampu bekerja dan bukan hanya mengandalkan mahar politik untuk dapat maju.

Selain soal jeda 2,5 tahun, dia juga menilai, pemerintah mesti mulai mempermudah peluang pencalonan independen dalam pemilihan umum. Tujuannya, agar kompetisi berbasis kapasitas semakin tinggi. Jika sudah begini, maka partai mau tak mau memilih kandidat terbaik mereka untuk berkompetisi dan menang. Sehingga, potensi mahar politik pun berkurang.

Terakhir, Puput menilai, harus ada sanksi tegas terkait transaksi mahar politik. Menurutnya, mahar politik kerap disembunyikan oleh partai sebagai dana saksi. Padahal, dana ini sebenarnya tak diatur secara baku dalam internal partai.

"Karena itu, ke depannya perlu ada aturan yang jelas untuk memaknai persoalan mahar politik ini. Sehingga kemudian bisa dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum guna menekan praktiknya," kata dia.