Lewat RUU Ciptaker, Kewenangan Sertifikasi Halal Lebih Baik di Pemerintah Bukan Ormas
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka ruang bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam menerbitkan sertifikat halal. Izin tersebut tertuang dalam Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Namun, aturan ini justru membuka ruang penyalahgunaan kewenangan. 

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat, meluasnya kewenangan pemberi sertifikasi halal ini justru akan menimbulkan dampak negatif. Sebab, akan membuka ruang penyalahgunaan.

"Tidak perlu (melibatkan ormas). Supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial juga. Kecemburuan dari lembaga lain. Ini kan jadi rebutan, seolah-olah kue yang nikmat. Jadi semua mengaku dirinya sah untuk melakukan uji produk halal dalam mengeluarkan sertifikasi halal," tuturnya, saat dihubungi VOI, Jakarta, Jumat, 21 Februari.

Menurut Trubus, lebih baik RUU Cipta Kerja ini mengembalikan kewenangan pemberian sertifikasi kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag). Sehingga, aturan yang melibatkan MUI sebaiknya dihapuskan.

"Maka demikian agar tidak timbul konflik kepentingan, lebih baik itu semua ditangani oleh pemerintah. Di dalam RUU Cipta Kerja ini lebih baik mengembalikan kewenangan sertifikasi halal kepada pemerintah. Mau tidak mau pemerintah harus siap, dalam hal ini kementerian agama yang punya domain," ucapnya.

Kerja sama penerbitan sertifikasi halal diatur dalam Pasal 49 angka 3 yang merevisi Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Pasal 49 angka 3 berbunyi:

Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7 (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:

a. kementerian dan/atau lembaga terkait;

b. LPH; dan

c. MUI.

(2) Selain bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJPH dapat bekerja sama dengan Ormas Islam yang berbadan Hukum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal tersebut menjelaskan, BPJPH dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal.

Sementara, di dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH) dalam melaksanakan kewenangannya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) hanya bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan MUI. Jadi ada aturan baru yakni ormas Islam yang berbadan hukum juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama oleh BPJPH.

"Saya khawatirnya muncul abuse of power penyalahgunaan wewenang, nanti munculnya maladministrasi, pungli, korupsi lah macam-macam. Jadi bukan produknya yang menjadi perhatian khususnya, malah beralih pada non-non produk itu. Jadi yang berbahaya bukan kualitas halalnya itu, akhirnya malah mengarah ke penyimpangan lain," ucapnya.

Anggota Komisi VIII Diah Pitaloka berpandangan, sertifikasi halal mesti jadi perhatian utama. Aturan ini, katanya, berangkat dari pengalaman di masyakarat yang menyebut proses pengurusan sertifikat halal membutuhkan waktu yang lama. Karenanya, Diah setuju dengan aturan ini.

"Kita itu berkaca dari pengalaman dan masukan dari masyarakat, ormas, maupun dunia usaha. Mereka semua sampaikan bahwa proses pengurusan sertifikat halal itu lama dan menguras energi maupun biaya. Pemerintah mau pangkas itu agar lebih mudah, secara prinsip DPR pasti mendukung," tuturnya.

Menurut Diah, hadirnya aturan ini berangkat dari masalah mendasar yakni peraturan yang tidak mempersulit ekonomi rakyat khususnya UMKM. "Prinsipnya birokrasi jangan berbelit, ringkas, cepat, dan bisa diakses semua masyarakat yang membutuhkan. Jangan dimonopoli (proses sertifikasinya). Itulah kenapa kemarin kita buat UU Jaminan Produk Halal," ucapnya.

Meski begitu, Diah mengatakan, Komisi VIII membuka diri untuk semua pihak memberi masukan soal sertifikasi halal. "Ormas maupun para ahli saya sangat mengharap kasih saran. Kalau memang ada yang ribet dan perlu dipangkas, usulkan saja. Kita mau masyarakat urus sertifikasi halal itu senang karena jadi nilai tambah ekonomi, bukan takut karena beban biaya atau takut dengan aturan yang ribet," tutur Diah.