Koreksi DPR untuk <i>Typo</i> di RUU Cipta Kerja
DPR (Irvan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seakan tidak percaya adanya kesalahan penulisan, di salah satu pasal dalam draft rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Sebab kesalahan ketik atau yang lebih dikenal typo itu telah menimbulkan polemik di masyarakat. 

Anggota Komisi III Arsul Sani pun menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki kesalahan pada substansi penulisan di beberapa pasal yang bermasalah. Bila perlu pasal yang salah ketik untuk dihapus dari draft RUU tersebut.

"Saya kira tidak salah ketiklah. Sebab, kalau salah ketik itu misalnya harusnya 'katanya' ada, menjadi tidak ada. Itu menjadi salah ketik atau harusnya bisa menjadi tidak bisa, atau seharus tida bisa tapi terketik bisa. Nah itu salah ketik," tutur Arsul, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 19 Februari.

Sekjen PPP ini mengatakani, frasa yang tertuang di dalam pasal 170 draf RUU Cipta Kerja tidak dapat dinilai salah ketik. Sebab, setidaknya ada lebih dari satu ayat yang terkait di dalam pasal tersebut.

Pasal 170 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menjadi pembicaraan publik lantaran secara terstruktur menyatakan pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP). 

Pasal 170 Ayat 1 dalam RUU Cipta Kerja itu berbunyi: "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini." 

Kemudian, pada Pasal 170 Ayat 2 disebutkan bahwa perubahan ketentuan diatur dengan peraturan pemerintah. Ayat berikutnya menyatakan dalam rangka penetapan peraturan pemerintah, pemerintah dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Meksi begitu, Arsul mengatakan, draf tersebut masih dalam bentuk RUU yang masih dapat diubah. Ia mengaku, berterima kasih bahwa para ahli hukum, elemen masyrakat sipil, dan media mengingatkan 'keberadaan' pasal ini.

"Sangat bisa, bukan dihapus barangkali nanti kita ubah. Kan kalau sebuah RUU begitu masuk nanti sudah di tetapkan oleh rapat Bamus. Nantikan itu diputuskan mau dibahas di mana, di Baleg atau misalnya Pansus atau lintas komisi. Kita lihat," tuturnya.

Anggota Komisi III Arsul Sani (Mery Handayani/VOI)

Tarik dan Hapus Pasal 170 Cipta Kerja

Anggota Komisi XI Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan, pemerintah jangan paksakan usulan yang kesalahannya fatal. Terkait pasal 170 Cipta Kerja, tidak masuk akal alasan salah ketik. Sesungguhnya itu jelas memang keinginan pemerintah.

"Kalau memang kemudian pasal itu salah fatal maka hapus saja. Namun, akui pasal itu memang keinginan pemerintah sejak awal, tetapi ternyata menubruk hirarki perundang-undangan. Tidak perlu terus cari-cari alasan pembenaran seolah-olah seluruh masyarakat tidak mengerti," tutur Didi.

Didi mengatakan, logika dan akal sehat masyakarat Indonesia sangat mudah melihat suatu yang salah dalam pasal tersebut. Apalagi, jika melihat pasal 170 yang terdapat tiga ayat di dalamnya.

"Apakah salah ketik sepanjang itu? Salah ketik dalam bentuk 1 pasal dan 3 ayat ? Salah ketik biasanya tidak substantif. Padahal jelas isi pasal ini sangat substantif. Jadi clear dan jelas itulah keinginan sesungguhnya pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja tersebut," jelasnya.

Wasekjen Parati Demokrat ini menyarankan, agar pemerintah tak lempar batu lalu sembunyi tangan. Artinya, tidak usah lagi mencari pembenaran. Maka, langkah terbaik adalah tarik kembali dan segera hapus pasal itu.

"Akui secara ksatria memang itulah keinginan sesungguhnya dari pemerintah yang kemudian ternyata keliru fatal. Selanjutnya rumuskan ulang sehingga menjadi RUU yg lebih baik. Jika ini dilakukan jauh lebih elok dan terhormat," tuturnya.