[FILM] Wregas Bhanuteja | Tentang Bermain dengan Ketidaklaziman
Wregas Bhanuteja (Yudhistira Mahabharata/VOI)

Bagikan:

Lazim tak lazim adalah permainan bagi Wregas Bhanuteja. Lihat saja bagaimana ia berkarya dan mendistribusikan film-filmnya. Bahasa sinema yang ditutur Wregas kerap kali mempertanyakan hal yang senada. Pertanyaan tentang kelaziman manusia-manusia yang hidup dalam putarannya. Wregas bergerilya di luar putaran itu. Jalan panjang menuju kedamaian dan penerimaan

Bukan kibul jika banyak orang memandang Wregas sebagai salah satu sutradara yang paling pandai membangun karakter di dalam filmnya. Kami meyakini itu kala menemui Wregas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu, 12 Februari. Tepat jam 12, matahari tepat bergolak di atas kepala, kala Wregas muncul dari salah satu sudut di Galeri Sisi dan menyapa satu per satu dari kami berlima.

Tak hanya sapaan, Wregas juga bertanya banyak hal tentang kami. Wregas memiliki hasrat untuk mendalami orang-orang yang ia temui. Tak terasa seperti basa-basi. Malahan, kami curiga ada perpustakaan besar berisi karakter-karakter manusia di dalam kepala Wregas, yang siap ia ramu menjadi cerita di salah satu filmnya. Bukan apa-apa, Wregas jelas memahami psikologi manusia.

Pemahaman itu menjadikan Wregas sineas yang memiliki kepekaan untuk mengendus tema-tema yang kontradiktif dengan kehidupan manusia pada umumnya. Karya Wregas konsisten mempermainkan kelaziman hidup manusia dengan cara mengangkat ketidaklaziman ke dalam filmnya. Sebut saja film pendek rilisan 2014, Lemantun. Lewat film itu, Wregas mengangkat kisah tentang lemari yang jadi warisan bagi sebuah keluarga.

Atau Prenjak (In the Year of Monkey). Film yang berhasil memenangi penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique, Cannes, tahun 2016. Dalam Prenjak, Wregas mengangkat kisah Diah (Rosa Sinegar), seorang perempuan yang hidup sebagai orang tua tunggal dengan menjual batang korek api kepada teman lelakinya, Jarwo (Yohanes Budyambara). Korek api seharga Rp10 ribu itu digunakan Jarwo untuk mengintip vagina Diah yang mengangkang di kolong meja perburuhan.

Tangkap layar trailer Prenjak (YouTube/Ersya Ruswandono)

Pun dengan rilisan terakhirnya yang berjudul Tak Ada yang Gila di Kota Ini. Film yang dibintangi Oka Antara (Marwan) dan Sekar Sari itu boleh-boleh saja disebut sebagai kritik keras terhadap kemanusiaan. Sebagaimana banyak yang menyebut Prenjak sebagai puisi tragis para perempuan. Tapi, satu benang merah yang tak mungkin dipungkiri adalah ketiganya mengangkat kehidupan manusia yang jauh dari lazim. Benang merah yang Wregas sebut sebagai "permainan".

 "Menurut saya, ini semua adalah sebuah bentuk behavior atau perilaku yang tidak pernah dilakukan manusia pada kehidupan sehari-harinya, gitu. Itu sesuatu yang di luar norma, gitu. Sesuatu yang di luar kebiasaan. Nah, saya menyebut sesuatu yang di luar itu adalah sebuah permainan. Sebuah games. Untuk mempertanyakan, sebetulnya apa sih yang disebut normal, apa yang disebut dengan tatanan yang disebut wajar atau perilaku manusia sehari-hari itu, apakah itu sesuatu yang baik kah? Saya pengin mempertanyakan itu, dengan cara menawarkan sebuah bentuk games yang seperti di film-film saya ini."

Wregas Bhanuteja

Jika ada benang merah lain yang mempertalikan tiap-tiap karya Wregas, itu adalah penerimaan. Selain menyindir kelaziman, film-film Wregas sejatinya kerap bermakna keikhlasan atau penerimaan. Nilai ini lekat dibawa Wregas sejak ia dipukau film Hero rilisan 2002 karya sutradara China, Zhang Yimou. Film yang dibintangi aktor legendaris Jet Li itu mengajari Wregas nilai-nilai penerimaan dan kedamaian.

Nilai penerimaan yang dipertontonkan Zhang Yimou menyatu selaras dengan pribadi Wregas yang tumbuh di tengah budaya Jawa. Nilai itu yang kemudian turut memengaruhi serat-serat pesan dan siraman moral yang kerap dituangkan Wregas dalam karya-karyanya. Lembusura, Lemantun, hingga Prenjak, menurut Wregas adalah bentuk penerimaan terhadap kondisi yang tak mungkin diubah.

"Nah, acceptance ini mungkin yang saya ambil. Kok saya mendapatkan irisan yang sama dengan kultur saya di Jawa, di mana ada istilah 'nerimo'. 'Nerimo' itu artinya menerima. Menerima segala kondisi dan berpasrah dan menjalani hari ke depan itu dengan penerimaan."

"Lembusura, itu adalah penerimaan terhadap bencana hujan abu akibat letusan gunung vulkanik. Lemantun adalah penerimaan ketika dia menjadi satu-satunya yang tidak bisa membawa pulang warisan ibunya. Dan Prenjak menjadi bentuk penerimaan ketika sang ibu ini harus menghidupi anaknya sendirian tanpa suami. Semuanya adalah bentuk penerimaan.

Mendalami film

Tak hanya nilai moral tentang penerimaan. Hero juga memberi perspektif baru bagi Wregas tentang film. Bahwa formulasi Hollywood bukan segala-galanya. Bukan apa-apa. Sebelum Hero, Wregas mengaku referensi tontonannya hanyalah film-film Hollywood. Sang ayah adalah sosok yang berjasa memperkenalkan Wregas dengan perspektif segar film Asia.

Hero, di mata Wregas adalah suguhan yang berisi pemikiran mendalam serta cerita yang amat kuat. Selain itu, Zhang Yimou dianggap Wregas berhasil menyuguhkan aspek artistik yang amat menawan lewat film kolosal berlatar masa Kerajaan China. Suguhan yang tak cuma istimewa, tapi juga jadi pendorong hasrat Wregas untuk terjun mendalami produksi film.

 "Mulai semenjak itu, saya mulai memiliki perspektif baru bahwa film itu tidak melulu harus seperti formula-formula yang ditawarkan Hollywood sebelumnya. Ada formula lain yang bisa dipakai juga. Salah satunya yang ditawarkan Zhang Yimou ini dalam film Hero. Mungkin bisa dibilang pertama kali saya tertarik untuk mengeksplor gaya tutur atau bahasa sinema adalah Zhang Yimou ini."

Wregas Bhanuteja

Debut Wregas sebagai sutradara ia lakoni saat masih duduk di bangku kelas 2 SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Saat itu, Wregas membuat sebuah film berjudul Muffler. Tahun 2009, film itu bahkan dikompetisikan secara nasional di sebuah festival film bertajuk "Tawuran" yang diselenggarakan oleh Yayasan Konfiden (Komunitas Film Independen). Sejak itu, Wregas sadar film adalah hidupnya.

 "Di titik itulah saya merasa pengin, kayak sepertinya saya pengin mendalami film lebih lanjut. Sepertinya kok ini adalah satu bidang yang saya bercapek-capek itu enggak apa-apa. Saya meluangkan, memberikan banyak waktu saya untuk itu tuh sesuatu yang enggak masalah."

Wregas Bhanuteja

Pendalaman itu serius Wregas lakoni dengan masuk ke Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Meski sempat ditentang orang tua, Wregas berhasil membuktikan bahwa ia berada di jalur yang tepat. Di sekolah film, Wregas mematangkan diri.

Tanpa mengecilkan sineas yang tak makan bangku sekolah perfilman. Tapi, sebagaimana diungkap Wregas, sekolah film memberi banyak nilai tambah bagi siapa pun yang ingin menekuni industri olah gambar dan suara. Nilai tambah yang dimaksud jelas adalah kurikulum. Kurikulum adalah anak tangga yang mengantarkan setiap kepala di sekolah film untuk mendalami sinema dan berbagai hal yang menyertainya.

Dari sisi sejarah, filosofis, psikologis, hingga berbagai muatan teknis. Selain itu, ekosistem yang terbangun otomatis di sekolah film juga jadi faktor yang amat membantu perkembangan karier seorang sineas di level profesionalnya.

Wregas Bhanuteja (Yudhistira Mahabharata/VOI)

 "Yang mungkin bisa kita lakukan sekarang sebagai mahasiswa film dan orang yang belajar film, tentu saja adalah bermain-main dengan semua sejarah itu, dengan teori itu. Mengambil, mencomot, terus kemudian memodifikasi, membuat twist dengan estetika atau pola pikir yang menurut kita cocok dengan kita."

Wregas Bhanuteja

Ke festival

Bukan cuma soal tema. Ketidaklaziman Wregas juga terwujud lewat pilihannya berpesan via film pendek. Pilihan yang membawa Wregas ke panggung-panggung festival, baik lokal ataupun internasional. Berbagai penghargaan dimenanginya. Selain Prenjak yang sukses di Cannes, Lemantun juga berhasil menyabet trofi Piala Maya 2015 untuk Film Cerita Pendek Terpilih.

Seperti dibahas di atas, sejak debut lewat Muffler, Wregas telah memilih jalan festival. Di level internasional, festival pertama yang diikuti Wregas adalah Berlin International Film Festival (Berlinale) tahun 2015. Kala itu, film yang diikutsertakan Wregas adalah Lembusura. Festival demi festival beriring sambutan yang makin hangat terhadap karyanya, mendorong semangat Wregas ke titik yang lebih dahsyat. Jam terbang membuat mentalnya terasah.

Wregas Bhanuteja di Cannes Film Festival 2016 (Twitter/@wregas)

Di sisi distribusi, festival film memberikan kesempatan bagi Wregas untuk menyampaikan pesan --yang dituang lewat film-- kepada seluas-luasnya khalayak. Selain itu, festival film juga memberikan impresi terhadap Wregas dan karyanya. Hal penting yang perlu dipupuk untuk menjaga produktivitasnya dalam industri film.

"Kalau saya, secara mental, tentu saja saya menjadi semakin bersemangat dan tentu saja semakin pengin bikin film lagi dan berkarya. Tapi, kalau dilihat dari sisi distribusi film maupun strategi untuk bikin film berikutnya, festival itu sangat membantu."

"Untuk yang pertama, karya kita semakin dikenal oleh para produser di seluruh dunia, baik itu dari Prancis, Jerman, Italia, Amerika, sehingga mereka pun menjadi memiliki pengetahuan akan keberadaan kita sebagai sutradara dan karya-karyanya. Dan membuka peluang untuk mereka bekerja sama atau co-producing untuk proyek film panjang saya berikutnya."

Lima kalimat di belakang jadi kata kunci penting terkait langkah Wregas ke depan. Saat ini, Wregas mengaku tengah mempersiapkan proyek film panjang pertamanya. Tak merinci, Wregas menyebut proyek itu masih dalam proses penggodokan. Sebuah debut yang pasti dinantikan. Bukan hanya bagi penikmat film, tapi juga untuk Wregas sendiri.

Pencarian kedamaian

Begitulah film untuk Wregas. Baginya, film bisa dijadikan sebagai alat kritik, dapat juga jadi corong berargumen atau sekadar media untuk bercerita, menghibur ataupun sebagai pengembangan dari sebuah karya seni lain. Setiap sineas memiliki kemerdekaan menentukan jalan mana yang ingin diambil. Kemerdekaan sebebas jalan yang Wregas ambil untuk memaknai sebuah film.

 "Kalau seorang pemahat patung, gitu ya, dia punya alat pahat dan juga bahan baku untuk membuat patungnya ini bisa berupa marmer, bisa berupa tanah liat, bisa berupa batu yang dia temukan di sungai. Sama halnya juga seperti film. Alatnya sudah jelas. Audio dan visual. Tapi, tinggal kembali lagi apa yang mau kita shape, apa yang mau kita pahat dari alat tersebut."

Wregas Bhanuteja

Bagi Wregas sendiri, film adalah hal yang amat personal dan spiritual. Film mengajarkan Wregas berbagai kenyataan tentang kompleksitas hidup. Menggeluti film, bagi Wregas adalah mendalami kehidupan yang hari ke hari menguji cara pandang sekaligus menjejalinya beragam makna. Maka, eksplorasi pada medium film, bagi Wregas adalah pencarian akan kedamaian.