Setelah Putusan MK, <i>Leasing</i> Masih Bisa Tarik Kendaraan dari Debitur Macet
Ilustrasi kendaraan bermotor. (Foto: Usnplash)

Bagikan:

JAKARTA - Perusahaan leasing (multifinance) masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur tanpa melalui pengadilan negeri (PN) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Fidusia. Putusan MK tersebut justru memperjelas Pasal 15 Undang-undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cedera Janji antara Debitur dan Kreditur.

“Jadi, leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan. Dengan catatan, prosedur sudah dijalankan,” ujar Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dalam acara Infobanktalknews Media Discussion di Jakarta, Senin, 10 Februari.

Menurut Suwandi, saat ini ada simpang-siur pendapat di masyarakat pasca-putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia. “Bahwa seolah-olah pemegang hak fidusia --perusahaan leasing-- tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri,” jelas Suwandi.

Padahal, lanjut dia, sejatinya tidak demikian. Perusahaan leasing masih bisa menarik kendaraan dari debitur macet tanpa pengadilan. “Keputusan MK itu tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Ada ruang lebar untuk mengeksekusi jaminan debitur macet,” tegasnya.

Dalam putusan MK disebutkan, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanprestasi. Sepanjang pemberi hak fidusia atau debitur telah mengakui adanya “cedera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate executie).

Putusan MK itu juga menyatakan, mengenai wasprestasi antara pihak debitur dan kreditur harus ada kesepakatan terlebih dahulu untuk menentukan kondisi seperti apa yang membuat wanprestasi. Jadi, ada perjanjian sebelumnya, berapa pinjamannya, berapa bunga yang harus dibayar, termasuk jangka waktunya. Juga batas waktu pembayaran angsuran, bagaimana jika tidak membayar angsuran, dan berapa dendanya.

Debitur Nakal

Meski pasca-putusan MK tentang Fidusia ini masih bisa menarik kendaraan, pihak leasing akan lebih hati-hati dalam mengeksekusi hak fidusianya. Leasing sepertinya juga akan akan lebih selektif dalam memberikan pembiayaan. Menaikkan down payment (DP) dan memperketat manajemen risiko, adalah dua kemungkinan yang akan diambil.

“Hal ini dilakukan agar terhindar dari jebakan debitur sontoloyo, yakni debitur yang tidak mau membayar utangnya, tapi masih tetap ingin menguasai kendaraannya yang belum lunas dibayar,” ujar Eko B. Suprianto, Chairman Infobank Institute.

Selama ini bisnis model perusahaan leasing hanya mengandalkan uang muka, dengan jaminan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) atas nama debitur. Bayangkan, hanya bermodal uang muka 10 persen atau lebih kecil, seseorang sudah bisa membawa kendaraan, meski BPKB sebagai jaminan atas nama debitur. Jika terjadi wanprestasi, maka kreditur akan mengeksekusi sebagai pemegang fidusia.

Permasalahan muncul ketika debitur tidak membayar angsuran dan macet. Dan, dalam praktiknya terkadang melibatkan pihak ketiga untuk menarik kendaraan hingga terjadi ekses. Namun, terkadang debitur macet ini sulit dihubungi dan tidak kooperatif dan mempertahankan kendaraannya, padahal dia telah lalai membayar kewajibannya. Ada juga, debitur macet justru minta perlindungan “LSM” agar tidak dikejar pihak ketiga.

Selama ini perusahaan leasing mengklasifikasi empat kategori debitur yang macet: (1) nasabah ada, unit (sepeda motor/mobil) ada; (2) nasabah ada, unit (sepeda motor/mobil) tidak ada; (3) nasabah tidak ada, unit (sepeda motor/mobil) ada; (4) nasabah tidak ada, unit (sepeda motor/mobil) tidak ada.

Nah, untuk kategori 2, 3, dan 4 tentu tidak bisa lewat pengadilan, padahal para debitur ini macet dan belum lunas, kemudian menimbulkan kerugian bagi leasing. Ini bisa karena ada unit yang hilang, dijual atau digadaikan.

Kalau pun terpaksa harus melalui pengadilan, dalam jangka pendek MK seharusnya menyurati seluruh pengadilan yang menyangkut kasus fidusia untuk diberikan penetapan secepatnya.

“Tidak bertele-tele hanya urusan sepeda motor yang terkadang sudah dipreteli. Atau, jika perlu, amandemen UU Fidusia untuk menyesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah ini. Atau, ada baiknya diikutkan dalam omnibus law sektor keuangan,” jelas Eko.

Dukungan kepada industri multifinance diperlukan agar iklim usaha penuh kepastian dan market friendly bagi tumbuh kembangnya industri multifinance yang akan berdampak positif bagi perekonomian.

“Ingat, industri multifinance tidak berdiri sendiri. Ada perbankan, ada indutri otomotif serta subsektor indutri pendukung yang tak hanya urusan Rp443 triliun yang jadi portofolio sektor otomotif ini,” ujar Eko.

Eko berharap industri keuangan, termasuk multifinance, jangan berjuang sendiri. OJK sebagai regulator harus memberi dukungan bagi berkembangnya multifinance ini. “Setidaknya, jangan selalu menyalahkan multifinance jika terjadi sengketa antara debitur macet dan leasing,” tegasnya.

Menurut Eko, jika terjadi perlambatan di industri multifinance, sektor otomotif juga terkena dampak dan pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Industri yang berhubungan dengan otomotif akan terkena dampak. Efeknya juga bisa ke sektor perbankan, yang selama ini memberikan kredit.

Penyaluran pembiayaan perusahaan multifinance hingga Juni 2019 mencapai Rp463,38 triliun atau tumbuh sekitar 4,47 persen dari Juni 2018 yang mencapai Rp443,54 triliun.

Sebanyak 22 persen di antaranya disalurkan untuk kendaraan bermotor roda dua dan 41,6 persen untuk kendaraan roda empat. Sisanya disalurkan untuk barang konsumsi lainnya, barang produktif, infrastruktur, jasa, serta piutang usaha.

Untuk aset, total aset perusahaan multifinance di Indonesia tumbuh sebesar 2,77 persen pada Juni 2019 (year on year/yoy). Total aset pada Juni 2018 tercatat Rp499,3 triliun, sedangkan pada Juni 2019 sebesar Rp513,2 triliun. Non performing financing (NPF) perusahaan multifinance masih terjaga, yaitu pada kisaran 2,75-2,89 persen.