Tidak Pulangkan WNI Eks ISIS, Efek Jera Bagi yang Main-Main dengan Negara
Diskusi tentang WNI eks ISIS (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Cerita soal warga Indonesia yang ingin berperang bersama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) untuk menegakkan negara Islam  kerap didengar publik di media sosial. Dan jika nantinya pemerintah memutuskan untuk tidak memulangkan warga Indonesia eks ISIS, itu artinya pemerintah tidak main-main dengan siapa pun yang memusuhi negara.

Hal ini disampaikan oleh Anggota DPR RI Komisi I Willy Aditya yang juga lebih setuju jika pemerintah tidak memulangkan 660 warga Indonesia eks kombatan ISIS untuk memberikan efek jera.

"Ketika mereka tidak bisa pulang, ketika status kewarganegaraannya sudah stateless, biarkan mereka menjadi pencari suaka. Walaupun nanti keputusan politik menjadi berbeda, tapi ketika itu terjadi, mereka akan sadar, publik akan melihat, dunia akan melihat bahwasannya, ini lho hukuman bagi mereka yang bermain-main," kata Willy dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 9 Februari.

Willy juga mengatakan, warga yang kini berada di Timur Tengah dan ikut berperang bukan lagi Warga Negara Indonesia (WNI) karena hilangnya kewarganegaraan mereka secara otomatis setelah bersedia berjuang untuk Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.

Ucapannya ini, kata Willy, didasari dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 23 poin d dan e yang mengatur soal kehilangan status warga negara. Dalam undang-undang ini, dia menjelaskan, seseorang dapat kehilangan status kewarganegaraan mereka jika masuk dalam dinas tentara asing tanpa meminta izin dari presiden terlebih dahulu.

"Mereka itu sudah eks WNI. Karena undang-undang secara tegas menyatakan bahwa seorang kombatan yang memperjuangkan negara lain maka gugur kewarganegaraannya. Lalu mereka juga sudah lima tahun di luar Indonesia. Itu juga gugur," jelas dia.

Tidak bisa hitam putih dalam memutuskan

Sementara dalam diskusi yang sama, Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ahmad Taufan Damanik justru menilai wacana pemulangan ratusan WNI eks kombatan ISIS itu tak bisa diputuskan secara hitam dan putih. Alasannya, tak semuanya punya latar belakang yang sama mengingat ada warga yang memang secara sukarela bergabung tapi ada juga yang hanya ikut karena anggota keluarga.

Sehingga perlu ada kecermatan dari pemerintah dalam mengurus mereka. Apalagi, ada juga anak-anak yang ikut ke Timur Tengah dan bergabung karena orang tua dan mereka tak memahami apa itu ISIS.

"60 persen itu anak-anak di bawah 12 tahun. Jadi apakah sama dengan kombatan yang sangat ideologis anti apapun dengan Indonesia. Kan beda," ujar Taufan.

Dia pun menilai, jika nantinya pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan pemulangan sebenarnya tak ada masalah. Terpenting, menurut Taufan harus jelas dasar atau landasan hukumnya atas pengambilan keputusan itu.

"Sepanjang landasan hukumnya jelas, internasional juga bisa memahaminya ya enggak ada masalah. Itu pilihannya," katanya.

Taufan tak menampik jika keputusan soal tidak dipulangkannya WNI eks ISIS tersebut bisa menuai kritik. Sehingga gerak pemerintah harus benar-benar terukur tapi tak boleh terlalu berlarut-larut.

"Pemerintah harus cermat tapi enggak boleh berlama-lama.... Ini bukan isu kemanusiaan tapi isu hukum," tegas Taufan.

Dia juga mengingatkan misalnya 660 warga Indonesia eks ISIS tak dipulangkan bukan artinya pemerintah bisa lepas tangan. Mengingat, ratusan orang itu merupakan warga Indonesia. Namun terkait prosedur, Taufan menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah Indonesia.

Sedangkan perwakilan pemerintah yang hadir dalam diskusi tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin menilai bahwa tidak bisanya kembali ke Indonesia bagi WNI eks ISIS yang kini berada di Timur Tengah merupakan bagian dari risiko yang harus mereka hadapi akibat perbuatan mereka.

Sebab, suka atau tidak suka keputusan untuk meninggalkan Indonesia dan membela ISIS diambil oleh para WNI itu diambil secara sadar dengan harapan mencari jalan jihad menuju surga.

"Jadi maksudnya begini, siapa-siapa yang pergi dan mengatasnamakan dirinya untuk kesenangan dirinya, untuk memilih ideologinya, kemudian pergi dan keluar dari Indonesia, kemudian menempuh jalan surgawinya, tempuh lah jalan itu," ujar Ali.

Sehingga, apapun risiko yang nantinya terjadi, termasuk tidak dipulangkannya mereka harus dijalani para WNI atas keputusan mereka memilih ISIS.

"Kau selamat atau kau tidak selamat, itu urusanmu. Jangan lagi membebani negara dan pemerintah serta rakyat Indonesia dengan rencana pemulanganmu," tutupnya.