Sejarah <i>Klitih</i> dan Alasan Banyak Remaja Melakukan Kekerasan
Konfrensi pers pengungkapan kasus perilaku klitih pada 13 Januari (Foto: jogja.polri.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Tagar #DIYdaruratklitih melambung di Twitter, Selasa, 4 Februari. Klitih yang dimaksud adalah kejahatan jalanan, yang kebanyakan dilakukan oleh remaja dan meresahkan warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tagar #DIYdaruratklitih menjadi trending setelah lebih dari 30.000 twit muncul membicarakan klitih yang kembali terjadi beberapa waktu terakhir. 

Seperti dikutip kompas.com, hal itu terjadi karena beberapa kasus klitih muncul. Salah satunya, karena kasus klitih, nyawa seorang remaja bernama Fatur Nizar Rakadio (16) melayang pada Kamis, 9 Januari. Ia menjadi korban klitih di daerah Selopamioro, Imogiri, Bantul. 

Merebaknya fenomena klitih sampai mendesak Polda DIY menggelar Focus Group Discussion (FGD), hari ini, Selasa 4 Februari di Gedung Aston Soedjarwo. Dikutip dari situs resmi Polda DIY, forum yang diinisiasi oleh Ditbinmas Polda DIY dihadiri sekitar 179 orang yang terdiri dari narasumber dan peserta baik dari personel kepolisian maupun instansi lain.

Dari kegiatan FGD tersebut diharapkan muncul ide-ide atau masukan terkait penanganan kejahatan jalanan atau klitih. Sehingga fenomena klitih dapat ditekan seminimal mungkin demi terciptanya Yogyakarta yang aman, nyaman dan kondusif. 

Sejarah klitih

Menurut Ahmad Fuadi dkk dalam Faktor-faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), klitih mulanya hanya diartikan sebagai sebuah kegiatan jalan-jalan biasa yang dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Nglitih atau klitih dalam konteks kenakalan remaja adalah berkeliling dengan menggunakan kendaraan yang dilakukan sekelompok oknum kelompok pelajar dengan maksud mencari pelajar sekolah lain yang dianggap sebagai musuh. Klitih juga bisa diasumsikan sebagai mengitari kota tanpa tujuan.

Bila ditelusuri kapan pertama kali perkara klitih ada, menurut arsip Harian Kompas kejadian kriminal yang melibatkan remaja itu sudah muncul pada tahun 1990-an. 

Harian Kompas mencatat pada 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja di Yogyakarta. Pihak Polwil mengklaim sudah memiliki informasi soal keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan aksi kejahatan di Yogyakarta. 

Kemudian pada tahun 2000-an, fenomena tawuran mulai menjamur di Yogyakarta. Sampai-sampai membuat Wali Kota Yogyakarta saat itu Herry Zudianto geram.

Herry mengancam bila ada pelajar di sana yang terlibat tawuran maka akan dipulangkan ke orang tuanya, atau dikeluarkan sekalian. Imbauan itu sempat dinilai berhasil mengurangi aksi kekerasan remaja. 

Berkurangnya para pelajar yang keluyuran, membuat geng-geng pelajar lain yang nekat mencari keributan sulit mencari musuh. Dari situlah mereka kemudian melakukan kegiatan mencari musuh dengan mengelilingi kota secara acak.  

Alasan remaja melakukan hal itu

Bila dipikir secara rasional mungkin banyak orang yang menganggap aksi klitih merupakan kekonyolan semata. Selain membahayakan orang lain, juga membahayakan diri sendiri. Namun mereka yang kebanyakan para remaja akhir ini seolah tutup mata dan telinga. Lantas mengapa mereka mau melakukan hal yang bisa dibilang tidak ada gunanya tersebut?

Menurut penelitian Ahmad Fuadi dkk dalam Faktor-faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka dalam melakukan klitih. Di antaranya, adanya permasalahan dengan latar belakang keluarga, hubungan dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, dan karakter individu.

Salah satu narasumber yang mereka wawancara beralasan melakukan klitih karena ditinggal pergi ayahnya. Semenjak kepergian ayahnya, ia hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya. Kemudian, dia menjadi jauh dengan keluarganya, dan dekat dengan orang lain.

Oleh karena itu, si narasumber ini menjadi lebih sering di luar rumah menghabiskan waktu bersama teman-temannya ketimbang diam di rumah. Karena merasa sudah tidak diperhatikan lagi, hal itu memicu anak untuk melakukan tindakan kekerasan. Selain itu, latar belakang orang tua yang pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi pemicu mengapa anak (remaja) bisa terlibat klitih. 

Faktor kedua penyebab remaja berperilaku klitih karena hubungan dengan kelompok. Faktor ini mengungkap bahwa anak remaja membutuhkan "pengakuan" dari teman sejawatnya. Namun sayangnya pengakuan itu didapat dari hal-hal yang negatif. "Akan semakin mendapatkan nama yang bagus di lingkungan teman geng atau tongkrongan, ketika subjek berhasil melukai orang lain di jalan," tulis Ahmad Fuadi dkk (2019). 

Selain faktor hubungan dengan kelompok, aspek lingkungan juga mempengaruhi. Masih menurut penelitian Ahmad Fuadi dkk (2019), lingkungan yang cenderung membiarkan warganya, bisa membuat remaja bebas melakukan apa saja. 

Kemudian yang terakhir adalah faktor karakter pribadi itu sendiri. Mereka yang melakukan klitih, adalah kebanyakan mereka yang sulit mengendalikan emosi, mudah tersinggung ketika diganggu orang lain, dan cenderung agresif. Dari hasil penelitian itu, alasan mereka melakukan kekerasan salah satunya karena sebagai sarana pelampiasan karena ada masalah dengan orang tua dan balas dendam karena sudah diganggu oleh orang lain.