Pengerjaan Omnibus Law yang Terburu-buru dan Berisiko
Gedung DPR RI. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Draf rancangan undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja belum juga diterima DPR. RUU ini masih jauh dari pembahasan, meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan harus diselesaikan secepat mungkin. Namun, melebur banyak UU menjadi satu tidak lah mudah.

Ahli Hukum Bivitri Susanti mengatakan, jika berkaca dari kacamata hukum melebur 79 UU dengan jumlah pasal terdampak mencapai 1.229 dan masih mungkin bertambah, tidak dapat dilakukan secara cepat.

Namun, Bivitri menegaskan, UU adalah produk dari DPR, di mana langkahnya adalah politis. Jika bicara politis maka menurutnya tidak bisa memakai hitungan hukum. Apalagi,kata Bivitri, sebelumnya DPR mampu merombak RUU KPK dengan waktu yang sangat pendek.

"Menurut saya sih enggak akan cukup tapi saya enggak tahu. Begini, kita tahu waktu Revisi Undang-Undang (RUU) KPK itu (hanya membutuhkan) 13 hari bisa. Jadi saya kira kalau kita udah bicara politik, kita tidak bicara hitung-hitungan hukum. Tapi normalnya tidak akan cukup," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Sabtu, 1 Februari.

Bivitri menilai, bukan tidak mungkin RUU Cipta Lapangan Kerja akan berakhir seperti RUU KPK. Apalagi, mayoritas anggota DPR adalah pendukung Jokowi.

"Tapi kita tahu 74 persen anggota DPR adalah pendukung Pak Jokowi. Dan ada praktik-praktik yang tidak baik dari anggota DPR yang mungkin saja sekarang dilakukan lagi. Jadi ya enggak tahu saya belum bisa prediksi," ucapnya.

RUU Cipta Lapangan Kerja adalah hajat setiap rakyat yang bekerja. Karena itu, Bivitri mengatakan, seluruh masyarakat tidah boleh lengah. Jalannya proses pembahasan harus selalu dipantau.

Apalagi, kata Bivitri, di dalam UU nomor 12 tahun 2011 secara jelas disebutkan pembuatan UU harus ada partisipasi publik. Jadi masyarakat harus mengawal tidak hanya untuk RUU Cipta Lapangan Kerja, tapi juga untuk semua UU, karena itu akan mengatur kita semua.

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja atau UU 'sapu jagat' belum dibahas, namun gelombang penolakan sudah begitu nyata. Bivitri menilai, penolakan ini juga berangkat dari tidak transparan pemerintah.

"Kita semua juga tahu bahwa pemerintah sangat tertutup. Sehingga kita tidak ada yang punya draf resminya," ucapnya.

Sebetulnya, meski RUU Cipta Lapangan Kerja ini drafnya belum diserahkan ke DPR, menteri yang bertanggung jawab dalam hal ini Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sudah menyambangi DPR. Saat itu dikatakan, tujuannya untuk menyamakan persepsi terkait RUU tersebut.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, tujuan menteri-menteri menyambangi DPR untuk memastikan RUU Cipta Lapangan Kerja ini dapat berjalan mulus tanpa penolakan fraksi-fraksi. Sehingga sejak awal dipastikan prosesnya akan cepat.

"Jadi saya kira komunikasi politik dengan DPR untuk tujuan itu. Bagaimana bisa proses pembahasan tidak terlalu bertele-tele karena meladeni satu, dua fraksi di DPR. Sehingga sejak awal memiliki persepsi yang sama dalam hal-hal krusial, sehingga akan memudahkan proses pembahasannya," tuturnya.

Meski Jokowi sudah meralat waktu yang awalnya 100 hari menjadi hadiah untuk lebaran. Namun, jika dilihat tidak ada perubahan waktu yang siginifikan. Total waktu yang dibutuhkan tetap tidak jauh dari angka 100, mengingat hanya tinggal empat bulan menuju waktu tersebut.

"Saya kira mungkin bahasa kasarnya ugal-ugalan. Itu dia Jokowi punya ambisi menyelesaikan secara cepat dan dia memastikannya dalam genggamannya pendukung dia semua. Sehingga apapun yang sudah ada di dalam draf itu tidak ada yang akan banyak diprotes oleh DPR," tuturnya.

RUU Cipta Lapangan Kerja akan sangat berpotensi mendapat penolakan. Risiko yang dihadapi pemerintah tidak sedikit, jika proses pembahasannya hanya mementingkan waktu dan mengesampingkan kepentingan masyarakat.

"Risiko yang paling besar akan ada gelombang protes dari buruh, kelompok sipil yang menentang UU ini. Jika suara-suara kritis yang muncul dari masyarakat sekarang ini tidak diberikan ruang dalam proses pembahasannya. Tidak transparan, tapi kalau pun transparan tetap ngotot tidak mau mendengarkan itu juga akan mendapat pelawanan," tuturnya.