Westerling Pembantai Warga Sulawesi yang Dilindungi Belanda
Raymond Pierre Paul Westerling (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - "Kalau hanya senyum yang engkau berikan, Westerling pun tersenyum, oh singgahlah sayang pesawat tempurku, mendarat mulus di dalam sanubariku". 

Kalimat di atas adalah penggalan lirik lagu Pesawat Tempur karya Iwan Fals. Ada kata Westerling dalam lirik tersebut. Kata itu merujuk pada seseorang yang melakukan pembantaian rakyat Indonesia, dan tak diadili hingga hari ini.

Adalah Raymond Pierre Paul Westerling, seorang pasukan Belanda pada Perang Dunia II. Dia memulai kariernya militernya saat bergabung bersama Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL). Kedatangannya ke Indonesia untuk misi agresi Belanda. Dia datang meninggalkan luka dan kenangan buruk bagi rakyat Indonesia, khususnya Sulawesi.

Saat itu, tentara AFNEI dan NICA dalam posisi kewalahan melawan gerilya yang dilakukan pemuda Sulawesi seperti Wolter Mongisidi, Andi Selle, Andi Sose, Ali Malaka dan lain-lain. Pihak sekutu akhirnya mendatangkan bala bantuan Depot Special Troops (DST), semacam pasukan khusus Belanda. 

Mereka datang ke Makassar dengan kekuatan 123 orang, yang dipimpun Raymond Paul Pierre Westerling, pada 5 Desember 1946. Tujuannya untuk melawan gerilyawan juga siapapun yang coba berontak dengan Belanda. 

Mereka langsung bergerak agresif melakukan pendudukan wilayah di Sulawesi. Gerakan Westerling dalam melawan gerilyawan ini juga dibarengi dengan pembantaian rakyat setempat yang mencoba melawan maupun menyembunyikan keberadaan gerilyawan. 

Pembantaian dilakukan bertahap, dimulai pada 11-16 Desember 1946 di Makassar. Lalu, pada 17-31 Desember 1946 di Gowa, Takalar, Jeneponto, Polombangkeng, Binamu. Kemudian, pada 2-16 Januari 1947 di Bantaeng, Gantaran, Bulukumba, Sinjai. Selanjutnya, 17 Januari-5 Maret 1947 di Maros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Pare-pare, Polewali Mandar, Sidenreng, Rappang dan Suppa. Bahkan di Suppa, rajanya juga ikut terbunuh oleh Westerling dan pasukan DST-nya.

Manuver Westerling di Sulawesi sejak 11 Desember 1946-5 Maret 1947 memakan korban berjumlah 40.000 jiwa terdiri dari kalangan militer dan masyarakat. Untuk menghindari pengusutan dan tuntutan ke pangadilan militer internasional, Westerling dinonaktifkan dari KNIL. 

Kini untuk mengenang peristiwa pembantaian oleh Westerling dan pasukan DST di Sulawesi, dibangun monumen 40.000 jiwa, batalyon 40.000 jiwa & nama jalan 40.000. 

Setelah melakukan pembantaian di Sulawesi dan dinonaktifkan, Westerling sembunyi. Di masa persembunyiannya ini, dia mengumpulkan kekuatan baru. Westerling kembali muncul membuat kekacauan dengan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), mereka menyerang TNI di Bandung, Jawa Barat, pada 23 Januari 1950.

Berjumlah 500 pasukan, APRA yang dipimpin Westerling bergerak mulai dari sepanjang jalan Cimahi. Mereka meneror rumah-rumah penduduk, kantor polisi di sepanjang jalan raya seperti Cimindi, Cibereum dan beberapa lainnya.

Selain itu mereka membuat kepanikan rakyat. Toko-toko ditutup, jalanan jadi sepi, dan tak ada orang yang berani keluar rumah.

Di Banceuy, seorang perwira TNI yang mengendarai Jeep dan tak bersenjata, diadang kemudian ditembak mati. Mayatnya ditinggalkan terkapar begitu saja.

Pasukan APRA juga membabi buta menembaki para anggota Divisi Siliwangi. Kejadian ini memakan korban 79 anggota Divisi Siliwangi. Dalam penyelidikan kepolisian pada awal 1955, ada temuan tambahan korban sebanyak 15 prajurit, bahkan salah satu di antaranya berpangkat kapten.

Latar belakang aksi brutal APRA yang melakukan gerakan sparatis guna mewujudkan berdirinya negara Pasundan. Jika negara Pasundan ini bisa berdiri, maka APRA sebagai angkatan perangnya. Ada juga yang menyebutkan jika APRA yang diketuai Westerling adalah upaya kudeta Bung Karno.

Setelah melakukan kerusuhan di Bandung, rencana Westerling selanjutnya adalah membunuh Sultan Hamengkubuwono IX dan Bung Hatta. Tapi rencana Westerling gagal karena ia telah diburu TNI. Dia pergi ke Jakarta dan kabur menuju Singapura lewat pelabuhan Tanjung Priok. 

Di pelabuhan Tanjung Priok, Westerling kabur dengan bantuan kapal Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Mendapat kabar tersebut, Pemerintah Indonesia meminta kepada Singapura untuk mengekstradisi Westerling kembali Indonesia untuk diadili.

Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pimpinan Pengadilan Tinggi Singapura Hakim Evans, menolak permintaan Indonesia untuk melakukan esktradisi. 

Westerling pun berhasil kembali ke Belanda. Ini yang dijadikan lirik Iwan Fals, 'Westerling tersenyum'.

Namuan pemerintah Indonesia tetap meminta Kerjaan Belanda mengekstradisinya ke Indonesia, pada 12 Mei 1952. Permintaan itu sia-sia, karena Mahkamah Agung Belanda tidak mengabulkannya. 

Belanda mencoba mengadili Westerling

Westerling diseret ke pengadilan Belanda. Tapi justru dibebaskan sehari setelahnya dengan putusan bahwa ia tidak bersalah atas sepak terjangnya selama bertugas di Indonesia. 

Panda Nababan, wartawan Sinar Harapan, berhasil mewawancarai Westerling di Amsterdam pada tahun 1979. Saat itu, Westerling berumur 60 tahun. 

Selama diberhentikan dari tentara, Westerling menjual buku dan mendirikan percetakan kecil untuk menghidupinya. Saat wawancara, Westerling tak merasa bersalah, malahan ia bangga dengan sepak terjangnya di Indonesia. Ia juga membantah membantai 40 ribu orang Sulawesi. Westerling mengklaim ia hanya membunuh 3.000-4.000 orang pada waktu operasi militer itu. 

Panda Nababan juga mewawancarai Duta Besar Indonesia di Belanda yang bertugas kala itu, menanyakan perihal upaya ekstradisi Westerling ke Indonesia. Duta Besar beralasan hal itu berbahaya, karena dapat merusak hubungan internasional, mengingat Belanda juga adalah ketua Inter Governmental Group of Indonesia (IGGI). 

Sebuah lembaga konsorsium yang didirikan di Amsterdam pada Februari 1967, terdiri dari negara-negara pendonor yang kerap memberikan pinjaman utang kepada Indonesia.

Dikutip dari Historia.id, upaya yang lebih keras dalam mengekstradisi Westerling pernah diusulkan Menteri Penerangan (1968-1973) Laksamana Madya Udara Boediardjo, dan tokoh Tentara Pelajar yang kemudian menjadi Menteri Penerangan (1964-1966) Achmadi. Mereka ingin menculik Westerling, tetapi misi tersebut bocor.

Usulan lain juga pernah muncul dari kalangan saudagar Bugis, yang rela menyewa pembunuh bayaran dengan bayaran sekitar 10 ribu dolar AS. Para saudagar Bugis merasa menjadi korban paling besar pembantaian Westerling, karena lokasinya di Sulawesi.

Semua upaya ekstradisi dan mengadili Westerling gagal, pada 28 November 1987, ia mati dengan tenang. Dia dikuburkan di kota kecil Purmerend, 20 kilometer dari Kota Amsterdam.

Sulitnya Westerling diadili atas tindakan kejahatan perangnya tak lepas dari dugaan keterlibatan pemerintahan Belanda yang melindunginya. Dugaan ini masuk akal karena manuver politik keluarga Kerajaan Belanda di Indonesia yang kerap terjadi.

Misalnya, saat pemerintah Belanda melakukan pembantaian di Sulawesi dan kasus APRA di Jawa Barat. Semuanya didalangi Pangeran Bernhard, yang berambisi agar Belanda tetap memegang kendali di Indonesia. Dia juga punya rencana melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada 1950. 

Karenanya, yang dilakukan Westerling salah satunya untuk merongrong kekuasaan Presiden Soekarno dan disinyalir atas instruksi langsung dari Pangeran Bernhard. Hal ini di kutip dari pemberitaan sebuah media Belanda salah satunya BN DeStem edisi 30 November 2009, "Bernhard wilde coup in Indonesië" (Bernhard menginginkan ada kudeta di Indonesia). 

Sementara itu, dikutip Tempo edisi 12 September 2013, setelah 26 tahun kematian Westerling, pada tahun 2013, pemerintah Belanda menyatakan permohonan maaf atas pembantaian Westerling. Mereka juga memberikan kompensasi kepada keluarga korban sebesar 20 ribu euro atau setara dengan 243 juta rupiah per orang. 

Tulisan ini mengutip dari utas akun Twitter @mazzini_giusepe