Resensi Buku <i>Bertarung Dalam Sarung</i> - Merawat Tradisi lewat Cerita Pendek
Buku Bertarung dalam Sarung (Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Zaman sekarang, mencari buku-buku bertema budaya itu agak sulit. Dicari-cari kadang tak kunjung menampakkan diri. Namun, sekalinya menampakkan diri, bisa jadi tak lagi ada yang tersisa di rak toko buku.

Maka, tak ada pikir ketika menemukan buku Bertarung Dalam Sarung karya Alfian Dippahatang. Buku ini menggabungkan narasi ala cerita pendek (cerpen) dengan sentuhan budaya. Ada 18 cerpen dalam buku ini. Buku yang dapat kami tamati dalam waktu kurang 24 jam.

Setelah selesai membaca habis buku dengan halaman berjumlah 150 ini, sebuah kesimpulan ditarik, bahwa ke-18 cerpen yang tulis, banyak memanfaatkan kekayaan budaya Tana Sulawesi Selatan sebagai elemen penting untuk membangun cerita demi cerita.

Dari 18 karya, setidaknya kekayaan budaya paling kental terasa saat membaca empat cerpen berjudul Ustaz To Balo, Bukan Sayid, Bissu Muda, dan tentu saja karya yang berjudul sama dengan buku, Bertarung dalam Sarung.

Ustaz To Balo. Dalam cerpen, ini penulis menekankan titik potret kesedihan terlahir sebagai manusia belang yang ada di Pegunungan Bulu Pao, yang terbentang melintasi wilayah Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Mereka biasanya memiliki kulit kaki, tangan, dahi, dan sekujur tubuh dipenuhi bercak putih yang menjadi pembeda dari kulit manusia pada umumnya. Keturunan mereka tak memiliki banyak pilihan kecuali hidup dengan nasib menjadi manusia belang.

Dalam Bukan Sayid, Alfian bercerita tentang perkara seorang anak keturunan Sayid, sebuah golongan berkedudukan sosial tinggi yang kerap dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Sebuah kedudukan terhormat yang sekaligus membuatnya menanggung kecewa karena orang tuanya menolak seseorang yang dia cintai dengan alasan bukan dari golongan Sayid.

Perbedaan strata inilah yang membuat orang yang dicintainya kemudian sadar sehingga berucap: Aku tak pernah menyerah, Bilang. Aku cinta padamu. Aku hanya berusaha sadar, bahwa kehidupan keluargaku beda dengan keluargamu.

Cerpen Bissu Muda akan membawa para pembaca merasakan fase paling nikmat. Pembaca akan dibawa mengikuti kisah pendeta Bugis kuno. Sang pendeta hidup dengan mimpi menunaikan ikrar sebagai Bissu, demi mewariskan takdir sebagai penjaga yang merawat budaya Bugis itu sendiri.

“Di tengah anggapan orang banyak bahwa ajaran Bissu cenderung dianggap sesat, menyimpang, membahayakan, hingga menyalahi agama," tertulis dalam halaman 139.

Pamungkas, Bertarung dalam Sarung. Dari seluruh kisah, cerita inilah yang mendapat label paling spesial. Betapa tidak, ritual bernama Sigajang Laleng Lipa sendiri merupakan sebuah budaya saling tikam menggunakan badik atau senjata warisan keluarga yang sebelumnya telah diberi mantra dalam satu sarung. Tradisi ini dilakukan ketika dua pihak tak menemukan titik temu dari sebuah masalah.

Oleh karenanya tradisi ini begitu spesial bagi para pembacanya. Spesial karena tradisi ini sungguh unik serta karena tradisi ini sudah jarang dan hampir tak lagi dimainkan. Selain itu, keistimewaan lain dari kisah ini adalah melihat kelihaian Alfian membumbui cerita, sehingga yang membaca akan terbawa  menikmati ketegangan mereka yang berseteru demi sebuah kehormatan, kebanggaan, dan ketenaran.

Itulah keempat cerpen yang paling banyak membawa elemen budaya ke dalam cerita. Selebihnya, cerita lain pun cukup menarik untuk disimak, terlebih beberapa cerita seperti Tangan Kanan Orang Toraja & Orang-orang dalam Menggelar Upacara, pernah menjadi jawara dalam ajang lomba menulis cerpen nasional.

Meski begitu, adapun kekurangan yang ditangkap, seperti beberapa cerita memuat unsur budaya ataupun lokalitas yang hanya terkesan sebagai tempelan. Seakan-akan cuma melakukan perubahan diksi dari bahasa Indonesia, ke bahasa daerah agar terdengar lokalitasnya.

Padahal, perkara budaya tidak bekerja seperti itu. Selain bahasa, budaya harusnya dikuatkan oleh unsur lainnya seperti kelengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, pendidikan, kepercayaan atau kesenian.

Selebihnya, karya ini banyak memberikan warna berbeda daripada karya-karya lainnya, yang sering kali membumbui ceritanya dengan narasi keluarga bahagia. Khusus di sini, peran orang tua dalam beberapa cerita sedikit memberi gambaran, bahwa sesungguhnya orang tua pun tak luput dari ketidaksempurnaan, karena kadang ada fase dimana orang tua memberikan luka dalam hati sang anak semenjak kecil.

Kiranya, itulah pengalaman yang mampu tertuang. Besar harapan, semakin banyak muncul penulis-penulis lainnya yang mampu membawakan cerita-cerita menarik tentang daerahnya, budayanya, serta bahasanya.

Tujuannya, tak lain supaya dapat menjadi pembelajaran penting bagi generasi penerus bangsa. Atau paling tidak, bisa menjadi selingan bacaan ditengah gemburan konten-konten video streaming dalam gadget masing-masing orang. Sebab, bagaimanapun kehidupan membutuhkan keseimbangan.

Judul Buku: Bertarung Dalam Sarung

Penulis: Alfian Dippahatang

Terbit Pertama Kali: Maret 2019

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Jumlah Halaman: 150