Bantahan DPR Soal Penyelundupan Pasal di UU KPK
Anggota Komisi III Arsul Sani (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Permasalahan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masih belum selesai. Setelah sempat ditentang hingga menyebabkan aksi massa besar di gedung DPR, UU KPK ini tetap disahkan. 

Tiga mantan komisioner KPK periode 2015-2019 mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU KPK. Mereka adalah Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode Syarif. Gugatan ini diajukan karena UU KPK dianggap cacat formil dan cacat prosedural sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum. 

Dalam sidang perbaikan permohonan uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pada Rabu, 8 Januari. Kuasa hukum pemohon, Muhammad Isnur mengatakan, terjadi penyelundupan hukum dalam proses perencanaan dan pembahasan kedua UU KPK itu.

Selain itu, pihak pemohon juga mengklaim, sebagian besar anggota melakukan penitipan absen atau secara fisik tidak hadir dalam persidangan sehingga tidak sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR.

Anggota Komisi III Arsul Sani membantah, tuduhan kuasa hukum yang mengatakan bahwa DPR menutupi daftar hadir anggota saat proses pembahasan revisi undang-undang (RUU) KPK. Menurut dia, dari pihak komisioner KPK juga tidak ada yang datang meminta.

"Ngapain juga yang dipersoalkan absennya, berapa, ini berapa, uji formil terhadap UU itu selama ini belum ada yurisprudensinya di MK. Saya kira tidak, kalau pada saat itu mereka datang ke saya, saya kasih kok (daftar hadirnya). Saya kan anggota Panja RUU KPK juga. Enggak ada yang datang kok. Kan bisa dengan cara formal bisa juga informal," kata Arsul, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 9 Januari.

Arsul menjelaskan, seharunya pemohon tidak mempersalahkan proses berjalannya pembahasan hingga pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK. Sebab, yang diuji adalah materi bukan prosedurnya.

"Persoalannya untuk apa? kan harusnya uji materi di MK, itu fokusnya apa yang ada dalam pasal-pasal atau isi UU nomor 19 tahun 2019 bertentangan dengan norma yang ada di dalam UUD, kan fokusnya harus itu," jelasnya.

Arsul menjelaskan, kewenangan MK yang nanti memutuskan tuduhan tersebut. Ia juga mengatakan, sebagai termohon nantinya DPR juga akan menyiapkan bukti saat dimintai untuk memberikan keterang oleh MK.

"Komisi III tim kuasa hukum, itu nanti akan menyiapkan juga keterangan ketika MK sudah saatnya meminta keterangan DPR," tuturnya.

Sebelumnya, Kuasa Hukum Pemohon Muhammad Isnur menyebut DPR melakukan penyelundupan hukum dalam proses perencanaan dan pembahasan kedua UU KPK.

Penyelundupan itu salah satunya karena pembahasan UU KPK itu tidak lebih dari 14 hari. Pembahasan di DPR RI pun hanya lima hari dari 12-17 September 2019. Pihaknya juga menemukan fakta, pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR menggunakan naskah akademik fiktif dan tidak memenuhi syarat perencanaan perubahan UU KPK ini.

Kemudian kajian mengenai Dewan Pengawas KPK, penghapusan aturan KPK dalam pembentukan perwakilan dari provinsi, penghapusan tim penasihat KPK, kajian tentang pegawai KPK sebagai pegawai ASN, serta usia minimal komisioner KPK. Hal itu tidak disebutkan sama sekali dalam pembahasannya di dalam naskah akademik.