Mempertanyakan Sikap Prabowo yang Memilih Santai Hadapi Gangguan China
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketegasan Prabowo Subianto saat masa kampanye sebagai calon presiden (Capres) Pemilu 2019 dinantikan saat ini, ketika menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) di kabinet kerja Jokowi jilid II. Terlebih, dalam kasus gangguan China di laut Natuna, Kepulauan Riau.

Saat masa kampanye, Prabowo dinilai tegas. Bahkan, sampai melakukan aksi gebrak podium saat orasi di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin, 4 April 2019. Salah satu yang memancing aksinya itu adalah isu antek asing.

Sikap Prabowo yang memilih santai menanggapi gangguan China di Natuna dipertanyakan beberapa pihak. Sikap itu dianggap lembek. Sebab, hal ini berbanding terbalik dengan sikapnya semasa kampanye.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan, sikap Prabowo itu adalah bagian dari upaya diplomasi yang tengah dilakukan. Sebab, tahap pertama mengatasinya dengan diplomasi.

"Kan tegas tidak selalu perang, ketika ada sengketa seperti Natuna ada jalur diplomasinya," katanya, saat dihubungi, di Jakarta, Selasa, 7 Januari.

Menurut Ferry, langkah selanjutnya yang harus didukung yakni memperkuat angkatan laut untuk menjaga wilayah Indonesia.‎ Khususnya di perairan laut Natuna.

"Ini menurut saya perlu didukung dengan upaya diperkuat armada angkatan laut, dalam rangka menjaga wilayah Indonesia," tuturnya.

Pemerintah Harus Tindak Tegas Pengganggu Kedaulatan Teritori Negara

Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Mardani Ali Sera minta pemerintah untuk tegas tindak pengganggu kedaulatan wilayah NKRI. Ia menganggap konflik Indonesia-China di wilayah Natuna merupakan hal yang serius.

Mardani mengatakan lautan Natuna adalah wilayah kedaulatan Indonesia sesuai ketetapan United Convention for The Law of Sea (UNCLOS) PBB.

"Lautan Natuna merupakan bagian dari NKRI, dan tidak akan pernah bisa di aneksasi China. Pemerintah Indonesia tidak perlu takut gangguan macam ini," ucap Madani.

Di samping itu, politisi PKS ini minta pemerintah tidak hanya menggunakan cara-cara diplomasi bila China tetap bersikeras menolak layangan protes dari Indonesia.

"Segala cara harus digunakan untuk mempertahankan kedaulatan wilayah nasional, bisa gunakan cara total football bila jalur diplomasi tidak mempan juga,” tuturnya.

Menurut dia, pemerintah Indonesia dalam hal ini menteri pertahanan (Menhan) harus memperkuat keamanan di berbagai wilayah laut yang berpotensi konflik. Termasuk di wilayah Natuna, agar tidak terjadi gangguan ancaman seperti ini dari negara lain.

"Tujuannya untuk memperkuat keamanan militer, pemerintah bisa pertama menggunakan Deterrence; selanjutnya menggunakan Defence; kemudian menggunakan Compellence; Terakhir bisa menggunakan aliansi dan balance of power," katanya.

Seperti diketahui, klaim China atas perairan itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Bahkan, kepulauan yang oleh China disebut Nansha itu juga memiliki nama lain, yakni Kepulauan Spratly.

Sidang sengketa yang digelar di Den Haag, Belanda, pada Juli 2016 telah memutuskan China tidak memiliki landasan hukum atas klaim tersebut. Laut China Selatan adalah bagian dari Samudera Pasifik yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan.

Dengan luas mencapai 3,5 juta kilometer persegi, perairan ini menjadi jalur utama bagi sepertiga pelayaran dunia. Selain itu, perairan ini juga punya potensi perikanan, serta cadangan minyak dan gas bumi yang besar.