Terendamnya Jakarta saat Banjir Dikarenakan Minimnya Kawasan Resapan Air
Evakluasi korban banjir Jakarta (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Hujan deras yang mengguyur Jakarta disaat malam pergantian tahun baru, menyebabkan 130 titik se-Jabodetabek terendam banjir. Banjir kali ini disebut juga sebagai salah satu musibah banjir terbesar di Jakarta dan sekitarnya.

Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong menjelaskan, banjir yang merendam Jakarta dan sekitaranya disebabkan banyak faktor. Salah satunya, berkurangnya sumber resapan air.

"Ya banyak faktor, curah hujan juga tinggi. Kemudian juga sebagain resapan tanah sudah berkurang," katanya, saat ditemui di Kantor KLHK, Gedung Manggala Wanabakti, Gatot Subroto, Jakarta Barat, Senin, 6 Januari.

Tidak hanya sumber resapan air yang berkurang. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat, hingga 2013 permukaan tanah di Jakarta sudah turun 40 meter dari asalnya, khususnya di Jakarta bagian utara yang telah terakumulasi sejak puluhan tahun lalu.

Meski begitu level penurunan permukaan tanah di Jakarta sempat mengalami perbaikan sekitar tahun 2013 sampai 2018. Hal ini terlihat dari volume kepadatan tanah yang berhasil ditekan pada kisaran angka 35 meter pada tahun 2018.

Dari hasil pemantauan dengan GPS Geodetic, laju penurunan tanah di Jakarta Utara mencapai 12 cm setiap tahunnya. Jika dibiarkan bukan tidak mungkin Jakarta akan tenggelam secara harafiah.

Saat ini Jakarta sedang mengalami fenomena land subsidence, merupakan istilah yang diartikan sebagai peristiwa penurunan permukaan tanah. Dalam kasus terparah, land subsidence bisa menyebabkan permukaan tanah ambles. Hal ini membuat kota Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah secara berkala yang saat ini mencapai 12 cm per tahun di Jakarta Utara.

Pembangunan yang masif di Jakarta tidak hanya menyebabkan berkurangnya sumber resapan air. Namun, juga turut serta menyumbang angka penurunan permukaan tanah. Faktor ini lah yang turut menyebabkan banjir terparah melanda Jakarta dan sekitarnya beberapa waktu lalu.

Tidak hanya Jakarta, sumber respan air di Puncak, Bogor dan Depok juga mengalami penurunan. Minimnya resapan air tersebut dikarenakan banyaknya bangunan yang berdiri di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS).

"Sumber resapan berkurang. Karena banyak bangunan-bangunan dan seterusnya. Juga kurangnya kesadaran masyakat (tentang lingkungan)," jelasnya.

Posisi Jakarta berada diurutan paling bawah setelah Bogor dan Depok. Untuk menghindari banjir di Jakarta sebagai dataran yang paling rendah, kata Alue, juga harus dilakukan pembenahan lahan dibagian hulu.

"Yang jelas penertiban yang selama ini melanggar kawasan hutan. Itu perlu ada penegakan hukum juga. Sehingga terutama di daerah-daerah Puncak yang harusnya dari daerah tangkapan air untuk pencegahan longsor dan sebagainya," jelasnya.

Menurut dia, harus ada koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat dalam mengantisipasi bajir. Selain itu, juga untuk mencari permasalahan bersama.

"Harus ada lah itu. Koordinasi dulu mengidentifikasi masalah pengguna ruang, dan penambahan kawasan hutan," jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kemen PUPR tengah menjalankan proyek strategis yakni Bendungan Ciawi dan Sukamahi. Kedua bendungan ini diharapkan bisa cepat rampung demi mengatasi banjir di Jakarta.

Pantauan udara banjir di Jakarta (Mery Handayani/VOI)

Normalisasi atau Naturalisasi yang pas diterapkan di Jakarta?

Alue mengaku, dirinya tidak ingin mendikotomikan kedua konsep tersebut. Sebab, menurut dia, baik naturalisasi maupun normalisasi adalah konsep yang bagus. Namun, harus didukung dengan sektor sosial.

"Saya tidak mau mendikotomikan antara naturalisasi dan normalisasi. Sepanjang dua pendekatan itu berjalan bagus dan cocok ya tidak apa-apa. Artinya pendekatan fisik itu harus didukung oleh sosial," katanya.

Selain itu, Alue juga mengingatkan, agar tidak perlu memperdebatkan mana yang terbaik dari kedua konsep itu untuk diterapkan di Jakarta. Menurutnya, dalam penerapan konsep normalisasi atau naturalisasi sungai maupu kali harus juga melihat dari karakteristik daerahnya.

"Kita jangan mengdikatomikan dua hal itu lah. Artinya apapun upaya yang dilakukan itu perlu. Kalau daerah yang bisa dinomalisasi ya dinomalisasi, daerah yang harusnya dinaturalisasi kan daerah-daerah puncak naturalisasi," jelasnya.