Menangkap Senyum Para Korban Banjir di Pengungsian
Kondisi pengungsian di Pengadegan, Jakarta Selatan (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA – Tiga hari sudah pascabanjir melanda Jakarta dan sekitarnya, akibat curah hujan ekstrem yang terjadi pada malam pergantian tahun 2020. Namun, hingga saat ini air belum juga surut. Pemukiman warga pun banyak yang masih terendam banjir. Salah satunya, di daerah Pengadegan Timur, Kalibata, Jakarta Selatan.

Hamparan permukiman yang berhiaskan air berwarna cokelat, terlihat begitu jelas ketika menginjakkan kaki di perkampungan ini. Puluhan warga terpaksa harus bertahan di pengungsian yang berlokasi di Rusunawa Pengadegan, karena ketinggian air di daerah ini masih sedada orang dewasa.

Kemarin kami melihat langsung keadaan pengungsi di sana. Saat melangkahkan kaki, bau harum wewangian khas bayi menyeruak di ruangan ini. Kasur lantai berjajar rapi dan penuhnya pengungsi adalah pemandangan yang langsung bisa terlihat. Tak ada sekat pemisah, mereka berbaur menjadi satu.

Guratan kesedihan terlihat jelas di sorot mata para pengungsi. Namun, canda tawa anak-anak di sini menjadi penawarnya. Keriangan mereka, seakan menghapus sebagian beban yang tengah dihadapi. Anak-anak di pengungsian memang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, yang mereka tahu hanya bermain.

Para pengungsi di posko Pengadegan Jakarta Selatan (Mery Handayani/VOI)

Di pengungsian, kami bertemu dengan Ayu (30), ia terpaksa harus membawa bayinya yang baru berumur 2 bulan ke pengungsian. Sang bayi nampak damai di dekapan ibunya, meski suasana pengungsian begitu bising, namun suara di sana tidak mengusik tidurnya.

Ayu tidak memiliki pengalaman banjir sebelumnya, ini kali pertama dirinya merasakan musibah banjir selama satu tahun lebih tinggal di Jalan Pengadegan Timur, RT 7/RW 1, Pengadegan, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.

Sebelum air masuk ke pekarangan rumah pada 1 Januari, pukul 15.00 WIB, Ayu beserta dua anaknya sudah dievakuasi ke pengungsian. Dua jam kemudian, air mulai terlihat dan dengan waktu yang singkat air sudah memenuhi permukiman warga di sana.

“Dari siang, Pak Lurah sudah memberikan peringatan untuk warga, sekitar pukul 12.00 WIB tetangga saya sudah mulai berkemas. Ini kan pengalaman pertama saya, beruntungnya suami saya cepat kemas-kemas barang, saya cuma mikirin anak-anak aja saat itu,” katanya, kepada VOI, di Pengungsian Rusunawa Pengadegan Timur, Jakarta, 3 Januari.

Saat sedang berbincang dengan Ayu, sepasang bola mata kecil mengamati kami. Ia seakan tertarik memperhatikan siapa lawan bicara Ayu. Perlahan dia mendekat, senyuman manis terukir di bibir kecilnya. Dinda nama bocah kecil itu.

“Ma.. balon,” ucapnya seraya berlari mengelilingi pengungsian dengan teman sebayanya yang ada di sana.

“Iya, hati-hati ya. Pelan-pelan,” jawab Ayu.

Pengungsian ini memang tak memiliki fasilitas untuk anak-anak seumuran Dinda. Hanya ada balon dengan tali sebagai pegangan yang tersedia. Bukan sesuatu yang aneh jika anak-anak di sini banyak yang sibuk dengan gawai di tangannya. Gawai seakan menjadi penolong orang tua mereka untuk menjaga mood anak-anak di pengungsian tetap baik.

“Kemarin sih ada perpustakaan keliling datang sebentar. Tapi kalau bantuan berupa trauma healing untuk anak-anak enggak ada sih. Tapi mereka sih tetap senang saja, Namanya anak-anak kan belum paham. Main lari-larian sama pengungsi lain juga udah seneng aja,” tuturnya.

Bantuan yang datang memang berlimpah, para pengungsi tak perlu berpikir akan kelaparan. Namun, barang-barang yang datang justru tidak ada yang diperuntulkan untuk bayi ataupun anak-anak. Seperti, popok, susu, ataupun mainnan.

Jika Ayu baru pertama kali menghadapi banjir, Ika (37) mengaku sudah berpengalaman merasakan banjir di Jakarta. Matanya berkaca-kaca saat menjelaskan bagaimana usahanya menyelamatkan barang-barang namun gagal, air yang masuk ke kediamannya justru sampai ke lantai dua rumahnya.

“Televisi, kulkas, saya bodo amat deh. Orang air cepat banget daripada anak saya mati. Hujan deras banget, perasan saya bakalan banjir. Tapi kata orang-orang enggak akan tinggi, soalnya sekarang akan ada pintu air yang bisa nyedot air dua tuh yang dari Pak Ahok. Mungkin enggak akan tinggi, eh ternyata malah makin parah,” tuturnya.

Menurut Ika, selama kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Jakarta, perkampungannya tidak pernah lagi dilanda banjir. Sebab, ada dua buah pompa air yang dipakai untuk mencegah air masuk kepemukiman warga.

Banjir di Pengadegan, Jakarta Selatan (Mery Handayani/VOI)

“Tiga tahun enggak banjir-banjir, ini baru banjir lagi. Dulu tuh enggak setinggi ini, karena ada mesin air yang buat nyedot itu. Sekarang tinggi banget. Ya Allah di mana-mana banjir,” ucapnya.

Ika tidak kuasa menahan air matanya, saat menceritakan keinginan sang anak untuk sekolah pada Senin mendatang. “Mah gimana ini masuk sekolah, enggak ada buku,” ujar Ika menirukan.

“Saya bilang, kita libur dulu Kak. Gimana mau sekolah, enggak ada seragam, enggak ada buku. Minta buku terus, makanya saya mau bilang butuh buku dan seragam sekolah. Gurunya udah mendata, siapa aja yang kebanjiran,” katanya.

Seperti diketahui, bencana alam banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya telah merenggut 46 nyawa. Berdasarkan data BNPB terbaru, jumlah pengungsi yang sempat turun kini kembali naik angkanya menjadi 173.064 orang.

Salah satu penyebab banjir kali ini adalah ketidakmampuan sungai-sungai menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Sungai sudah makin menyempit karena tumpukan sampah dan lain-lain, membuat air hujan yang harusnya mengalir lancar jadi meluap, tumpah dan menggenangi pemukiman warga.