Peleburan Dirjen PAUD dan Dikmas yang Bermasalah
Catatan akhir tahun pendidikan Indonesia (Diah Ayu Wardani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2019 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Desember lalu mencuat protes. Salah satunya adalah penghapusan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas).  

Dirjen yang membidangi PAUD melebur pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD & Dikdasmen). Sementara tak ada dirjen khusus bidang dikmas dalam perombakan struktur organisasi ini. 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menganggap pemerintah hanya mementingkan pendidikan formal di bangku sekolah. 

"Pendidikan untuk kelompok rentan (excluded groups) kian dipinggirkan dengan penghapusan Dirjen PAUD dan Dikmas. Penghapusan ini merupakan bencana bagi pendidikan kelompok marginal," tutur Ubaid dalam diskusi di kawasan Cikini, Senin, 30 Desember. 

Pasalnya, berdasarkan temuan advokasi JPPI di daerah, banyak kelompok-kelompok rentan dan marginal (pinggiran) banyak mengakses pendidikan melalui skema non-formal. Contohnya, seperti lembaga kursus, kelompok belajar, dan balai latihan. 

Program wajib belajar 12 tahun yang diutamakan oeh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebenarnya hanya salah satu dari target pendidikan. 

Ubaid melihat, target pendidikan lain tak cukup menarik untuk dilirik pemerintah. Hal ini berdampak pada merosotnya kualitas pendidikan di Indonesia, dibuktikan pada survei Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018. 

Peringkat Indonesia untuk kategori Membaca ada di 75 dari 80 negara, atau urutan 6 dari bawah. Indonesia hanya ada di atas negara-negara seperti Kosovo (baru merdeka tahun 2008), Filipina, Lebanon, Marcko. 

"Nilai PISA Indonesia yang dirilis tahun ini masih belum beranjak dari papan bawah. Bahkan, lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, 2012 dan 2015. Kemerosotan yang paling tajam terjadi di kemampuan membaca," tutur Ubaid. 

Sebenarnya, angka buta huruf di Indonesia sudah berkurang, menjadi sekitar 10 persen. Masalahnya, banyak orang yang tidak memahami apa yang mereka baca. 

"Maka itu, tak usah heran jika masih banyak masyarakat tidak bisa membedakan mana berita fakta dan hoaks, jadi salah informasi dan memicu emosi publik," jelas dia.